Akhir-akhir ini ramai dibicarakan soal postingan seseorang mengaku lulusan Universitas Indonesia (UI) menolak gaji Rp 8 juta. Meski hingga saat ini postingan itu tidak diketahui kevalidannya karena identitas pengunggah postingan belum diketahui, toh postingan itu tetap ramai diperbincangkan.
Sejumlah tokoh kondang mulai dari artis Dian Sastro, politikus Fahri Hamzah hingga budayawan Sujiwo Tedjo turut berkomentar.
Bicara soal gaji ini, saya jadi teringat gaji saya pertama kali menjadi wartawan di Solo pada tahun 2012. Ya, nasib membawa saya menjadi wartawan di sebuah media online lokal di Kota Solo, Jawa Tengah. Media saya saat itu pun bisa dibilang belum begitu populer dan baru berdiri beberapa tahun.
Saya melamar menjadi wartawan ke media itu setelah sebelumnya diberi informasi dari seorang wartawan media lain yang menjadi mentor saya saat tergabung dalam pers kampus. Niat saya memang ingin mempraktikkan ilmu kewartawanan setelah tak banyak lagi aktivitas di pers kampus. Cari pengalaman begitulah. Karena itu saya tak terlalu berpikir soal berapa gajinya nanti.
Di sisi lain, saya saat itu juga belum lulus kuliah. Saya masih menjadi mahasiswa semester 4 di sebuah kampus swasta di Solo. Jadi, kalau ada peluang praktek menjadi wartawan di media beneran dengan status saya yang masih mahasiswa, mengapa tidak?
Setelah satu pekan saya memasukkan lamaran, tidak disangka ternyata saya mendapatkan panggilan kerja. Saya kemudian diminta untuk datang ke kantor media itu untuk wawancara. Kantor media lebih mirip sebuah rumah. Ada tulisan di dinding dekat pintu masuk,' Bukan Warnet'.
Belakangan setelah saya kerja di situ, saya dapat cerita banyak orang salah masuk ke kantor media itu dan mengiranya sebagai warnet. Padahal itu kantor media online.
Di akhir sesi wawancara, saya dinyatakan lulus dan besok langsung mulai bisa bekerja. Saya diberi penjelasan gaji yang saya terima total sekitar Rp950 ribu. Terdiri gaji pokok Rp500 ribu dan bonus mencapai target Rp200 ribu. Ditambah uang transport BBM 1 liter per hari. Jika ditotal, kira-kira Rp950 ribu.
Jujur saya sempat kaget ketika diberitahu nominal gaji ini karena menurut saya tidak besar untuk gaji wartawan. Di luar ekspektasi saya. Tapi kemudian saya tetap menerimanya. Dengan pertimbangan saya masih mahasiswa. Pimpinan saya pun tak keberatan dengan status mahasiswa itu.
Saya juga berani menerima besaran gaji ini karena kalau sore hari saya membuka usaha warung HIK di Karanganyar, kabupaten yang berada di timur Kota Solo. Sejatinya, inilah pekerjaan yang sebenarnya. Saya memulai usaha warung HIK ini setahun selepas SMA karena saya tak bisa kuliah karena tak punya biaya. Dengan dibantu adik saya yang juga masih sekolah, 6 tahun berjualan, saya bisa membeli sepeda motor dan bisa kuliah dengan uang keringat sendiri. Saya lulus S1 di tahun 2014.
Berjalan beberapa bulan, saya memilih menutup usaha jualan saya dan fokus menjadi wartawan sambil kuliah meski gaji wartawan tak besar. Saya tak sanggup lagi menjalani double job. Pagi menjadi wartawan sambil kuliah dan sore jualan hingga malam.
Meski awalnya berat, perlahan gaji saya mengalami kenaikan. Kabar baik datang, kebijakan perusahan, gaji karyawan dinaikkan sesuai UMR, sekitar Rp1,2 jt saat itu. Sedikit lega. Selepas itu gaji saya naik sedikit atas dasar pertimbangan masa kerja. Jika dibanding dengan media lain di Solo saat itu, besaran gaji saya lumayan bisa bersaing meski tak besar.
Gaji saya itu kemudian stuck hingga kemudian saya resign dari perusahaan itu dan pindah ke media lain. Saya pindah karena ada peluang dan pertimbangan gaji. Kini, saya menganggap gaji saya cukup. Tentu ada yang gaji wartawan media lain yang lebih besar. Tapi saya tak ingin membandingkan. Karena ada teman-teman saya yang gajinya lebih kecil dari saya.
Saya harus bersyukur, apalagi saya bukan lulusan UI. Saya hanya lulusan dari kampus kecil di Solo.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews