Perkara surat berbalas atau tidak, bahwa setiap surat akan menemukan takdirnya sendiri. Tak perlu gembira berlebihan jika berbalas, tak perlu kecewa juga jika dianggap angin lalu.
Sebelum ada surat elektronik, berkirim surat yang kita tulis sendiri, kirimkan sendiri lewat kantor pos atau titip ke teman agar disampaikan ke tujuan, adalah pekerjaan literasi yang mengasyikkan.
Pada masa remaja tahun 80an dulu, menulis surat untuk pacars (plural) dengan menulis artikel untuk dikirim ke media sama banyaknya. Kalau para mantan itu bersatu lalu berinisiatif mengumpulkan surat-surat yang pernah saya tulis, mungkin bisa jadi kitab tersendiri.
Pada masa lalu pula, surat-menyurat antara RA Kartini dengan Abendanon bisa menjadi buku, surat-surat yang pernah ditulis Muhammad Hata atau Soekarno yang ditujukan kepada orang-orang tertentu juga bisa jadi buku.
Tak pelak lagi, dalam surat tersimpan sejarah, pesan-pesan berharga yang terkait dengan konteks masa di mana surat itu ditulis. Di dalam surat tersemat pemikiran dan harapan seseorang, maka ia juga mengabarkan intelektualitas sekaligus suasana hati penulisnya.
Pendeknya, surat tidak bisa dianggap perihal sederhana. Menulis surat jauh lebih keren dari sekadar membaca dipandang dari balik kacamata literasi.
Apa inti pesan dari sebuah surat? Dari sudut pandang ilmu komunikasi, si komunikator atau penulis surat dalam hal ini, ingin pesannya sampai, dibaca dan kemudian dibalas oleh si komunikan atau penerima pesan.
Dulu saat remaja, saya sudah mengantisipasi dua kemungkinan atas takdir surat yang saya layangkan kepada seorang gadis; berbalas atau tidak berbalas. Jika berbalas, ada celah di mana saya bisa masuk, minimal saya bonceng dia pakai Vespa. Saya bahagia. Jika tidak berbalas, surat saya dianggapnya sebagai angin lalu. Saya agak kecewa.
Tetapi itu tadi, karena saya sudah mengantisipasi kemungkinan terburuk saat surat tidak berbalas, saya mencoba berdamai dengan hati agar tidak terlalu kecewa, apalagi sampai marah-marah. Ya, sudah, itulah takdir surat saya, begitu saya mengobati rasa kecewa.
Pernah suatu waktu saya naksir perempuan satu sekolah dan berkirim surat. Tetapi perempuan yang saya tembak itu bukan seangkatan, bukan pula adik kelas, tetapi kakak kelas hahaha... Sebenarnya sih intinya memuji dia saja, karena wajahnya seperti Sherley Malinton.
Saya memang agak tidak tahu diri, padahal dia ini anak perempuan berada, ke sekolah saja sering diantar sopir pakai mobil, sementara saya biasa pakai angkutan pedesaan warna kuning.
Surat saya tidak berbalas. Saya agak retak hati bercampur malu. Suatu waktu saat bertemu di kantin, di depan teman-temannya, secara tak terduga dia memuji saya, "Wah, suratmu bagus, asyik bacanya...." Alamak!
Kini, sejak surat elektronik (e-mail) lahir seiring merebaknya penggunaan Internet, menulis surat tidak seasyik masa lalu. Tidak ada tantangannya. Tidak ada masa-masa hati dagdigdug menunggu jawaban sampai sekian pekan.
Sekarang, siapa saja bisa berkirim surat kepada siapapun hanya dengan membuka ponsel, menulis pesan, maka saat itu pulalah surat sampai di tangan tujuan. Bahkan lewat aplikasi percakapan (chat), jawaban bisa diperoleh saat itu juga (real time).
Tetapi percayalah, surat konvensional yang dimasukkan ke dalam amplop sebagaimana yang pernah saya lakukan pada masa lalu, kemudian langsung dikirimkan sendiri saat ini masih dianggap efektif dan memberi kepastian bahwa surat yang ditulis di atas kertas itu sampai ke tujuan.
Perkara surat itu berbalas atau tidak, 'kan tadi sudah saya katakan bahwa setiap surat akan menemukan takdirnya sendiri. Tak perlu gembira berlebihan jika berbalas, tak perlu kecewa juga jika dianggap angin lalu.
Namanya juga suratan tangan alias takdir.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews