Suratan Tangan Sebuah Surat

Perkara surat berbalas atau tidak, bahwa setiap surat akan menemukan takdirnya sendiri. Tak perlu gembira berlebihan jika berbalas, tak perlu kecewa juga jika dianggap angin lalu.

Sabtu, 5 Februari 2022 | 09:16 WIB
0
125
Suratan Tangan Sebuah Surat
Surat (Foto: kompasiana.com)

Sebelum ada surat elektronik, berkirim surat yang kita tulis sendiri, kirimkan sendiri lewat kantor pos atau titip ke teman agar disampaikan ke tujuan, adalah pekerjaan literasi yang mengasyikkan.

Pada masa remaja tahun 80an dulu, menulis surat untuk pacars (plural) dengan menulis artikel untuk dikirim ke media sama banyaknya. Kalau para mantan itu bersatu lalu berinisiatif mengumpulkan surat-surat yang pernah saya tulis, mungkin bisa jadi kitab tersendiri.

Pada masa lalu pula, surat-menyurat antara RA Kartini dengan Abendanon bisa menjadi buku, surat-surat yang pernah ditulis Muhammad Hata atau Soekarno yang ditujukan kepada orang-orang tertentu juga bisa jadi buku.

Tak pelak lagi, dalam surat tersimpan sejarah, pesan-pesan berharga yang terkait dengan konteks masa di mana surat itu ditulis. Di dalam surat tersemat pemikiran dan harapan seseorang, maka ia juga mengabarkan intelektualitas sekaligus suasana hati penulisnya.

Pendeknya, surat tidak bisa dianggap perihal sederhana. Menulis surat jauh lebih keren dari sekadar membaca dipandang dari balik kacamata literasi.

Apa inti pesan dari sebuah surat? Dari sudut pandang ilmu komunikasi, si komunikator atau penulis surat dalam hal ini, ingin pesannya sampai, dibaca dan kemudian dibalas oleh si komunikan atau penerima pesan.

Dulu saat remaja, saya sudah mengantisipasi dua kemungkinan atas takdir surat yang saya layangkan kepada seorang gadis; berbalas atau tidak berbalas. Jika berbalas, ada celah di mana saya bisa masuk, minimal saya bonceng dia pakai Vespa. Saya bahagia. Jika tidak berbalas, surat saya dianggapnya sebagai angin lalu. Saya agak kecewa.

Tetapi itu tadi, karena saya sudah mengantisipasi kemungkinan terburuk saat surat tidak berbalas, saya mencoba berdamai dengan hati agar tidak terlalu kecewa, apalagi sampai marah-marah. Ya, sudah, itulah takdir surat saya, begitu saya mengobati rasa kecewa.

Pernah suatu waktu saya naksir perempuan satu sekolah dan berkirim surat. Tetapi perempuan yang saya tembak itu bukan seangkatan, bukan pula adik kelas, tetapi kakak kelas hahaha... Sebenarnya sih intinya memuji dia saja, karena wajahnya seperti Sherley Malinton.

Saya memang agak tidak tahu diri, padahal dia ini anak perempuan berada, ke sekolah saja sering diantar sopir pakai mobil, sementara saya biasa pakai angkutan pedesaan warna kuning.

Surat saya tidak berbalas. Saya agak retak hati bercampur malu. Suatu waktu saat bertemu di kantin, di depan teman-temannya, secara tak terduga dia memuji saya, "Wah, suratmu bagus, asyik bacanya...." Alamak!

Kini, sejak surat elektronik (e-mail) lahir seiring merebaknya penggunaan Internet, menulis surat tidak seasyik masa lalu. Tidak ada tantangannya. Tidak ada masa-masa hati dagdigdug menunggu jawaban sampai sekian pekan.

Sekarang, siapa saja bisa berkirim surat kepada siapapun hanya dengan membuka ponsel, menulis pesan, maka saat itu pulalah surat sampai di tangan tujuan. Bahkan lewat aplikasi percakapan (chat), jawaban bisa diperoleh saat itu juga (real time).

Tetapi percayalah, surat konvensional yang dimasukkan ke dalam amplop sebagaimana yang pernah saya lakukan pada masa lalu, kemudian langsung dikirimkan sendiri saat ini masih dianggap efektif dan memberi kepastian bahwa surat yang ditulis di atas kertas itu sampai ke tujuan.

Perkara surat itu berbalas atau tidak, 'kan tadi sudah saya katakan bahwa setiap surat akan menemukan takdirnya sendiri. Tak perlu gembira berlebihan jika berbalas, tak perlu kecewa juga jika dianggap angin lalu.

Namanya juga suratan tangan alias takdir.

***