Benarkah Tak Ada Pribumi?

Yang pasti, diskursus tentang DNA ini harus tetap dibuka, jangan dikunci dengsn asal percaya pada temuan sains

Selasa, 22 Oktober 2019 | 20:13 WIB
0
485
Benarkah Tak Ada Pribumi?
Pribumi (Foto: sendika.web.id)

Sains memang berjasa membantu kita memahami realitas diri, fenomena kehidupan dan dinamika jagat raya. Tapi pendaoat para saintis tidaklah begitu saja bisa kita terima dan percaya begitu saja sebagai kebenaran absolut. Bagaimanapun itu adalah satu hipotesa berdasarkan temuan-temuan empirik tertentu.

Pernyataan bahwa tidak ada pribumi di Indonesia, didasari teori uji genetika dengan hipotesa bahwa semua homo sapiens berasal dari Afrika. Termasuk leluhur Indonesia yang konon pertama kali bermigrasi ke Indonesia sekitar 50.000 tahun silam. Ini mengabaikan realitas bahwa sejarah di Indonesia telah mulai jauh sebelum itu. Sejarah Harjuna Sasrabahu, Rahwana hingga Angling Dharma, telah muncul sebelum era yang dianggap era kemunculan perdana manusia di Nusantara.

Sayangnya, para sejarawan dengan pendekatan empirik tak punya kemampuan mengakses bukti pernyataan ini, termasuk entah bagaimana, tak bisa mengungkapkan usia sebenarnya dari sebagian relief di Candi Sukuh sebagai salah satu jejak peninggalan Harjuna Sasrabahu.

Sementara pendekatan spiritual dengan membaca achasic record dan menelusuri jejak energi setiap artefak, tak bisa dijangkau oleh para saintis dan sangat niscaya dianggap hanya halusinasi.

Saya berpegang pada realitas bahwa homo sapiens tak hanya berasal dari Afrika. Di segenap benua dan pulau-pulau utama ada bibit manusia tersendiri. Proses migrasi terjadi di fase berikutnya dan memungkinkan terjadinya silang genetika yang menciptakan homo sapiens dengan ras hibrida.

Di Indonesia, tetap ada ras pribumi. Tapi yang punya DNA murni pribumi tetap ada. Sementara mayoritas adalah manusia hibrida. Saya pribadi, jelas bukan orang dengan darah pribumi asli. Entah bagaimana, sejauh saya baca sendiri DNA saya, yang dominan justru DNA Tionghoa, menyusul DNA Eropa, baru minoritasnya DNA Jawa dan India.

Ini berbeda dengan ayah saya yang 70% Jawa dan 30% Arab, Ibu saya 90% Sunda dan 10% China. Nah, saya baca bahwa anggota gank saya Tunjung Dimas Bintoro, itu punya DNA 100% Jawa Murni. Makanya kalau bicara jawanya ndeles.

Akan menarik jika hasil saya membaca dengan "mesin canggih di dalam diri" ini dikomparasi dengan perangkat teknologi terbaru. Yang pasti, pernyataan tentang realitas diri saya yang hibrid itu memang terbenarkan oleh warna kulit dan warna mata saya, yang berbeda dengan umumnya Jawa asli atau Sunda asli. Entah bagaimana ini bisa terjadi.

Yang pasti, diskursus tentang DNA ini harus tetap dibuka, jangan dikunci dengsn asal percaya pada temuan sains

Dan, mengakui adanya ras pribumi tak sama dengan mendorong chauvinisme atau rasionalisme. Spiritualisme mengajar kita untuk mengerti bahwa jiwa bisa hidup berkali-kakli dengsn ras yang berbeda - beda. Tak ada yang perlu disombongkan, semua hanya pelajaran sesaat bagi Sang Jiwa.

***