Konsultasi ke Psikolog, Lemahkah atau Gilakah?

Ada persepsi keliru bahwa hanya orang gilalah yang butuh psikolog. Kadang juga ada penghakiman bahwa orang ke psikolog berarti dia lemah, atau kurang ibadah atau kurang iman.

Kamis, 21 November 2019 | 07:23 WIB
0
331
Konsultasi ke Psikolog, Lemahkah atau Gilakah?
Ilustrasi konsultasi (Foto: Tribunnews.com)

Bulan Mei lalu saya ada masalah yang cukup mengganggu, saat itu saya baru mulai tahun ke-4 dari Phd saya. Di tengah berbagai deadline yang ada, saya malah tidak bisa konsentrasi.. Saat itu saya memutuskan untuk konsultasi ke psikolog, yang memang disediakan oleh universitas saya. Memang sih… konon katanya lebih dari 50% mahasiswa Phd di Flanders mengalami gangguan mental.

Di tengah masyarakat Indonesia sendiri ada persepsi keliru bahwa hanya orang gilalah yang butuh psikolog. Kadang juga ada penghakiman bahwa orang ke psikolog berarti dia lemah, atau kurang ibadah atau kurang iman. Karena itulah, orang yang tertekan kadang menarik diri atau sebaliknya jadi curhat sana sini dengan orang – orang terdekat. Apakah hal ini menyelesaikan masalah?

Saya TIDAK bilang bahwa ke psikolog maka masalah pasti beres. Tapi saya ingat, kira–kira 8 tahun yang lalu… saat itu saya habis dipecat, saya tidak punya apapun baik tabungan maupun penghasilan. Dan saya tahu persis siapa–siapa yang berkonspirasi di balik pemecatan saya. Saya sangat sakit hati, di samping panik. Meskipun adik–adik saya ikut menopang secara finansial, tapi tetap saja berat.

Dari orang yang punya penghasilan, tiba–tiba harus bergantung pada orang lain. Hari–hari saya lalui dengan curhat ke sahabat saya. Sahabat saya adalah orang yang sangat sabar. Suatu hari, sahabat saya bilang ,“Aduh, curhatanmu ini pahit sekali… ini yang mendengarkan saja jadi ikut sakit, ikut sedih, ikut pahit”.

Padahal saya Cuma curhat. Saya tidak sedang mengomel-omeli sahabat saya. Tapi ternyata efeknya membuat suasana hati sahabat saya ikut rusak. Karena hati saya sangat pahit, maka kerjaan baru saya juga tidak lancar.

Jangan berpikir bahwa orang yang rajin beribadah bakalan bebas dari gangguan mental. Ada orang-orang yang sebutlah “rajin ke gereja”, kelihatan baik–baik saja, tapi menyimpan masalah dalam dirinya. Tekanan hidup yang menimbulkan kepahitan, rasa mengasihani diri sendiri, merasa selalu diperlakukan tidak adil oleh orang lain harus ditangani.

Konsultasi ke psikolog, yang memang terlatih dalam hal–hal ini, bisa sangat membantu. Di samping seorang psikolog adalah orang yang “netral” karena tidak “kenal” kita, sehingga saran–sarannya tidak bias.

Saya tidak takut dibilang “lemah”atau “tidak beriman” bahkan dilabeli “gila” sekalipun gara–gara ke psikolog. So what? Manusia biasa gitu loh, wajar kalau lemah. Yang penting masalah saya beres, saya bisa melanjutkan hidup.

Baca Juga: Tiga Pilar Psikologi Positif

Hal yang tidak kalah penting adalah jangan sampai saya jadi penyebar “racun” ke orang–orang di sekitar saya. Hanya sekedar curhat yang isinya mengasihani diri dan pahit, kalau berlebihan bisa sangat mengganggu orang–orang yang dengar. Apalagi kalau isinya malah memarah-marahi orang yang dicurhati.

Ada kasus semacam ini…. Ada orang yang merasa perlu memarah–marahi orang yang dia curhati, yang dia tuduh menjahati dia, supaya dirinya merasa lebih baik. Setara terror sih kalau ini. Karena ngerusakin harinya orang lain.

Psikolog yang saya temui di bulan Mei, mendengarkan masalah saya dengan seksama. Hal yang paling berkesan adalah ketika di akhir sesi konsultasi, beliau memberi tahu saya kekuatan dari karakter saya berdasarkan observasi selama hampir 2 jam kami berbicara. Hal ini tidak berkait langsung dengan masalah saya, tapi membuat saya lega dan percaya diri kembali.

Pada intinya, kalau memang punya masalah, jangan ragu mencari pertolongan. Tidak perlu menunggu jadi gila beneran atau sampai hubungan dengan orang–orang di sekitar kita rusak.

***