Orwell, "Hari-hari di Burma"

Kedua karya sastra ini mengingatkan, kekuasaan di tangan penguasa kolonial bisa sama buruknya dengan kekuasaan di tangan bangsa sendiri, tergantung karakter orangnya.

Rabu, 19 Juni 2019 | 06:36 WIB
0
471
Orwell, "Hari-hari di Burma"
Buku

Seakan sedang membaca kembali "Max Havelaar"-nya Douwes Dekker......!
Satu lagi novel karya George Orwell terbit dalam bahasa Indonesia: HARI-HARI DI BURMA (judul asli BURMESE DAYS, terbit pertama kali tahun 1934).

Di tengah kebisingan politik dan polusi hoaks saat ini, baca novel sastra macam buku ini, seperti kembali ke oase di gurun pasir (terima kasih Endah Raharjo atas terjemahannya yang bagus)

Terbitnya buku ini melengkapi terjemahan Indonesia karya-karya Orwell sebelumnya, termasuk yang paling terkenal, "1984" atau NINETEEN EIGHTY-FOUR, dan ANIMAL FARM.
Karya lainnya yang juga sudah diindonesiakan adalah CATATAN & GAGASAN (aslinya "Road to Wigan Pier", 1937); dan TERBENAM DAN TERSINGKIR di PARIS dan LONDON (aslinya "Down and Quit in Paris and London", 1933).

Novel "Hari-hari di Burma" menggambarkan karakter lima tokoh berbeda yang bertemu di sebuah desa miskin di Burma, pada masa kolonialisme Inggris di wilayah yang sekarang bernama Mynmar.

Meskipun Orwell adalah bagian kekuasaan kolonial, namun novel ini justru dengan nyata memperlihatkan sikap anti bahkan kemarahannya kepada sisi-sisi buruk praktik kolonialisme itu sendiri. Sikap kritis dan sinisme atas kekuasaan (politik maupun ekonomi) juga bisa dijumpai pada karya-karya Orwell lainnya.

Tapi Orwell juga menggambarkan sisi-sisi buruk bangsa terjajah, segelintir kaum elite pribumi yang menyembah sistem kolonial demi ambisi pribadi dan kepentingannya sendiri. 
Karakter ini terwakili dalam sosok U Po Kyin, birokrat desa yang licik, korup, dan bermoral rendah.

Setting kolonialisme dengan tokoh-tokoh kulit putih angkuh dan menindas, dan perilaku buruk segelintir feodal pribumi yang mengambil keuntungan dari sistem itu, mengingatkan saya pada novel maha karya Multatuli (nama samaran dari Eduard Douwes Dekker), MAX HAVELAAR (terbit 1868).

Novel "Max Havelaar" yang oleh Pramoedya A Toer disebut "kisah yang membunuh kolonialisme", memang dilatarbelakangi pengalaman Douwes Dekker sendiri sebagai birokrat kolonial, yaitu Asisten Residen di Lebak, Banten, abad 18.
Ada beberapa kesamaan karakter dari tokoh-tokoh utama dalam kedua novel ini.

Sosok U Po Kyin di Burma mirip tokoh Adipati (Bupati) di Lebak, dua sosok dengan karakter yang tamak dan suka memeras rakyatnya sendiri. Sementara sosok John Flory dalam "Burmese Day" mirip tokoh Max Havelaar. 
Yang menarik, kedua tokoh terakhir ini seakan alter ego para pengarangnya, George Orwell dan Eduard Douwes Dekker alias Multatuli.

Seperti halnya Douwes Dekker, novel Orwell ini juga diilhami latar belakang pengalamannya sendiri sebagai polisi kolonial Inggris di Birma (1922-1927). Maka tak heran, Orwell yang lahir di India, juga wilayah jajahan Inggris waktu itu, sangat memahami sisi-sisi paling buruk dari kolonialisme.

Tapi bukan hanya kolonialisme.....

Kedua karya sastra ini mengingatkan, kekuasaan di tangan penguasa kolonial bisa sama buruknya dengan kekuasaan di tangan bangsa sendiri, tergantung karakter orangnya....!!!

"Jika politik bengkok, sastra akan meluruskannya" (John F Kennedy).

***