Tumben Desember ini perdebatan soal pengenaan topi Santa Claus gak nyaring seperti tahun lalu. Padahal pada 2016 bahkan FPI melakukan sweeping meminta karyawan mall yang menggunakan topi Santa untuk melepasnya. Katanya menganggu keimanan.
Ternyata bukan hanya FPI saja yang menganggap Santa Claus seperti sosoknya sekarang sebagai bagian dari agama kristen. Saya baru saja iseng membuat joke tentang Santa, beberapa orang memprotes. Mungkin karena dianggap joke itu menyentuh simbol-simbol agama.
Padahal sosok Santa Claus yang kita kenal sekarang sebagai lelaki gendut berjanggut putih dengan sweater merah menyala, adalah sosok ciptaan seorang artis asal Swedia, Haddon Sundblom. Ia mendapat oder dari D'Archy Advertising, biro iklan yang menangani kampanye Coca-Cola.
Pada akhir 1920-an, bisnis Coca-Cola memang sedang lesu. Minuman ringan ini bersaing dengan kopi yang menjadi kegemaran baru masyarakat AS. Coca-Cola bekerja keras untuk mengangkat kembali bisnisnya.
Salah satu strateginya adalah memperlebar pasar Coke. Tadinya minuman bersoda ini ditujukan untuk usia dewasa. Nah, Coca-Cola saat itu ingin diposisikan sebagai minuman seluruh keluarga, bukan hanya minuman orang dewasa.
Perusahaan mempergunakan momen Natal untuk beriklan. Biasanya saat Natal masyarakat gemar belanja. Jadi inilah momentum perusahaan mengeruk penjualan.
Pada 1931, iklan Coca-Cola menampilkan sosok lelaki gendut berjanggut putih, memakai sweater merah, tampil penuh kegembiraan. Ia membawa keranjang hadiah untuk anak-anak. Sosok inilah yang sekarang kita kenal sebagai Santa Claus. Sementara warna merah menyala berpadu putih pada sweternya, diambil dari warna indentitas Coca-Cola.
Nah, sosok ciptaan Haddon Sundblom kemudian menjadi populer sebagai ikon dari pesta Natal. Dalam menggambarkan sosok Santa, Sundblom terinspirasi dari puisi yang terbit 1822, karya Clament Clark More berjudul 'Visit from St Nicholas'.
Sebetulnya sosok ciptaan Sundblom tidak sekali jadi. Sejak 1931 terus diperbaiki tampilannya. Sosok yang ajeg, yang kini sangat populer adalah karya Sundblom terakhir yang tampil pada 1964.
Memang sih, jauh sebelum Coca Cola memperkenalkan sosok Santa yang sekarang, di masyarakat sudah berkembang kisah-kisah soal Santa. Hanya saja saat itu Santa digambarkan sebagai sosok yang non-human. Ada yang mirip Elf, berwajah kaku dan tinggi, kadang menyeramkan. Nah, Coca Cola butuh sosok Santa yang menyenangkan, ramah, dan manusiawi. Sebab target marketnya memang keluarga.
Makanya ketika dulu FPI berteriak, menggenakan topi Santa bisa menganggu keimanan. Kita bisa tertawa sampai ngompol. Bayangkan, masa memakai topi hasil kreasi orang advertising otomatis jadi murtad?
Demikian juga jika ada teman-teman kristen menganggap sosok Santa Claus adalah simbol keagamaan. Itu lucunya keterlauan.
Natal memang bukan hanya peristiwa agama. Tetapi juga peristiwa budaya. Natal yang dikenal sekarang, sepertinya sudah dipengaruhi oleh suasana Eropa. Natal yang semestinya bernuansa Timur Tengah, karena Yesus lahir di Bethlehem, Tepi Barat, Palestina, telah terimbas westernisasi. Makanya yang menjadi hiasan utama adalah pohon cemara dan salju.
Padahal cemara tidak tumbuh di tanah gurun. Apalagi salju. Tapi karena Natal di Eropa masuk musim dingin bersalju, maka suasana Eropalah yang menjadi ikon budaya Natal. Sama seperti Santa Claus bersweater merah, yang kini jadi ikon Natal. Padahal cuma produk iklan Coca-Cola.
Orang-orang yang terlalu sensitif memang seru. Protesnya sering lebih nyaring ketimbang pemahamannya. Cara berfikir mereka mirip tokoh Xixo, dalam film The God Must Be Crazy. Xixo hidup di pedalaman gurun Kalahari, Afrika. Ia menyangka sebotol kosong Coca Cola yang jatuh dari langit sebagai pemberian Tuhan. Padahal botol itu dibuang seorang pilot dari sebuah pesawat kecil.
"Mas, drakula itu kan, Natalan juga ya? Kalau pocong biasanya ikut lebaran," ujar Abu Kumkum.
Eko Kuntadhi
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews