Antara Sarinah, Bung Karno, Megawati dan Jokowi

Selasa, 8 Januari 2019 | 07:14 WIB
1
1196
Antara Sarinah, Bung Karno, Megawati dan Jokowi
Bung Karno dan Sarinah (Foto: Istimewa)

Alkisah hidup seorang raja. Di kerajaannya pada saat itu baru pertama kalinya dibangun sebuah tempat perdagangan yang berupa bangunan megah dan sangat canggih untuk pertama kalinya. Dan untuk pertama kalinya di kerajaannya ada bangunan bertingkat. Dirancang untuk menjadi pusat  perdagangan rakyatnya terutama untuk hasil bumi dan industri. Walau pada saat itu pihak pesimis yang memandang hal ini terlalu memboroskan uang kerajaan. Serta diprotes untuk pembiayaannya.

Nama yang diambil untuk pusat perbelanjaannya ini juga dari tidak lazim. Biasanya seorang raja kalau memberi nama bangunan yang dibangga-banggakan cenderung akan memberi artinya sesuatu yang megah atau namanya sendiri. Entah mengapa sang raja mengambil nama pengasuhnya pada saat kecil. Yah, dari dahulu profesi pengasuh anak dianggap sebelah mata. Tentu heran bukan?

Sarinah

Ilustrasi ini kurang lebih saya ceritakan kepada para peserta tur yang saya bawa pada saat bercerita asal-usul nama Mal Sarinah, pusat perbelanjaan dengan gedung bertingkat pertama di Indonesia.

Saya biarkan mereka mencari kesimpulan sendiri mengapa seorang Bung Karno menamakan mal tersebut adalah Sarinah yang berasal dari kalangan orang biasa-biasa. Walau tampak keterkejutan dan keterkaguman dalam raut wajah mereka. Saya hanya memberi penekanan bahwa raja yang sangat tinggi derajatnya, mau mengambil nama rakyat jelata untuk sesuatu yang dibanggakannya, pasti beliau adalah orang yang spesial di mata rakyatnya.

Marhaenisme

Padahal, jika menilik Ideologi Marhaenisme yang diciptakan oleh Bung Karno. Di mana terinpirasi dari pertemuan dengan seorang petani yang sedang menggarap sawah, lalu terjadilah dialog di antara mereka. Dari pembicaraan ini terkuak kenyataan miris. Bahwa sawah, bajak, cangkul serta dia menggarapnya sendiri, akan tetapi tidak pernah mencukupi kehidupan keluarga petani.

Sosok inspirasi Bung Karno ini bernama Marhaen. Sehingga diberikan nama ideologi yang pro kepada rakyat kecil nama petani tersebut. Demikian penjelasan dari SekJen PDI-P Hasto Kristiyanto mengenai asal muasal nama Marhaenisme di kantor DPP PDIP beberapa hari yang lalu.

Pemilu

Baiklah sekarang melompat sedikit. Ingat Bung Karno, ingat Megawati dan Partai PDI-P. Saya sempat bertanya kepada beberapa keluarga dan teman saya, apa pendapat mereka tentang partai yang identik dengan warna merah ini. Kejadiannya pada saat pada pemilu yang lalu, pertanyaan saya tujukan kepada mereka yang jelas-jelas akan yang memilih Joko Widodo atau kerap dipanggil Pakdhe atau Jokowi.

Kira-kira apakah pilihan partai mereka, karena PDI-P partai yang mengusungnya. Jawaban mereka membuat saya bingung, “Tidak”. Saya mengejar alasan mereka. Beberapa menjawab karena banyak perwakilan dari PDI-P terjerat korupsi.

Lalu saya mencoba memberi penjelasan kepada mereka bahwa kalau seperti ini Pakdhe bisa babak belur untuk bergerak karena partai pendukung adalah mesin penggerak kebijakan-kebijakan yang akan dilakukannya. Dan cara bisa memastikan sejalan dengan visi dan misi yang akan dicanangkan harus didukung oleh banyaknya kursi untuk PDI-P.

Ada yang mendengar saran saya, ada yang tetap kekeuh dengan pendirian mereka. Hasil pemilu keluar dan terbaca PDI-P kurang mendapat dukungan dari rakyat. Sedih saya mendengarnya, berharap semoga koalisi yang akan dilakukan bisa tetap mendukung program-program yang akan dilaksanakan.

Hati Pemaaf Megawati

Untung pada pemerintahan sebelumnya, pada saat Partai PDI-P menguasai kursi parlemen. Megawati tetap merangkul orang-orang yang bertentangan dengannya pada saat membentuk kabinet. Menurut cerita Hasto Christiyanto Sekjen PDI-P, walau ada protes dari dalam, tapi Megawati menutup dendam masa lalu dengan rekonsiliasi.

Buktinya, Soesilo Bambang Yudhoyono dimasukkan ke dalam kabinet. Jika menurut sejarah, mertua SBY yang bernama Sarwo Edhie adalah musuh Bung Karno. Megawati berkata kepada SBY, ”Orang tua kita berbeda. Tetapi saya tidak ingin bangsa ini terus menerus mendendam masa lalu, mari kita melihat masa depan.”

Betapa pemaafnya Megawati yang saya rasakan pada saat mendengar cerita ini. Karena Sarwo Edhie adalah lawan politik Bung Karno, bahkan sempat memimpin pengepungan tanpa identitas ke Istana Presiden. Yang menyebabkan Bung Karno mentransfer kekuasaan eksekutifnya kepada Soeharto yang sekarang kita ketahui sebagai peristiwa Supersemar.

Mengapa Harus Jokowi?

Alasan saya memilih Pakdhe karena saya bisa melihat langsung kemajuan kota Jakarta yang begitu cepat. Menjadi kebanggaan untuk menjadi warga Jakarta saat itu. Banyak teman dan saudara yang iri dengan saya pada saat datang ke kota yang identik dengan kemacetan ini pada masa itu. Mereka takjub, saya sangat bangga dengan pamer jalan-jalan berkeliling kota Jakarta sambil menunjukkan kemajuan di sini.

Dari segi kebersihan, Om saya sampai tidak percaya, ternyata Jakarta bisa berubah dalam tempo yang singkat setelah puluhan tahun sampah-sampah berserakkan di mana-mana. Karena dia mempunyai kebiasaan berkunjung ke Jakarta minimal setiap tahun.

Untuk tempat wisata, saya menjadi punya pilihan selain ke mal. Bahkan ada yang ingin berfoto di Simpang Susun Semanggi, proyek tanpa hutang yang sebenarnya. Belum bus wisata yang woro-wiri di Jakarta, sudah gratis, nyaman pula.

Pada saat itu ada pemandu lokal yang bercerita di dalam bus khusus disediakan oleh pihak Transja, mengenai tempat wisata yang akan kami kunjungi atau dilewati. Saya sempat mencoba 2 rute ; Kalijodo dan Makam Mbah Priok. Begitu banyak kemajuan yang dicapai, karena visi dan misi Jokowi dilanjukan oleh Basuki Tjahaja Purnama atau sering dipanggil Ahok beserta Djarot Saiful Hidayat. Sayangnya pasangan ini tidak terpilih karena isu SARA.

Jakarta saat ini

Berkaca dari Jakarta, kota dirancang menjadi Smart City pada era Jokowi. Entah mengapa sekarang apakah semakin terbang tinggi bagai Elang Bondol lalu ditembak sehingga terhempas ke tanah atau berjalan di tempat bisa juga maju ala Siput atau menjadi Undur-Undur. Silahkan melingkari jawaban yang tepat menurut hati nurani. Dari kawasan Kota Tua yang awalnya sangat bersih dan teratur, tidak ada pedagang asongan, tempat parkir tertata rapih.

Sekarang pedagang asongan merajalela ditambah motor berlomba-lomba nangkring di trotoar, saya sampai harus melipir ke jalan raya. Belum yang baru viral akhir-akhir ini: JPO di Tosari dihancurkan. Bagi yang tidak pernah merasakan menyebrang di jalan Sudirman mungkin tidak apa-apa, tapi karena saya sempat berkantor di bilangan Sudirman merasakan menyebrang menjadi tidak praktis. Harus menunggu lampu merah, belum motor-motor yang menganggap saya adalah sasaran empuk untuk ditabrak.

Ingat, berhati-hatilah ketika menyeberang di Pelican Cross. Memang pada saat ada petugas semua terkendali, tetapi mereka tidak senantiasa ada. Jadi, ingat tetap waspada. Minus lainnya ialah wajib berpanas-panas ria, terkena terik matahari dan kebasahan di kala hujan tiba saat menunggu lampu hijau di sini.

Kalau saya membawa kendaraan roda empat menyebabkan bertambahnya waktu tempuh, karena lampu merah jumlahnya makin banyak. Pada saat kemacetan semakin melanda, saya hanya bisa mengelus dada. Menahan agar saya tidak meluapkan kekesalan dengan menggaruk-garuk plafon mobil, mengapa Jakarta menjadi seperti ini.

PDI-P Pecat Kader Korupsi

Mengenai tahun politik yang sedang hangat-hangatnya saat ini, bahkan cenderung terbakar. Partai PDI-P berkomitmen memodernisasi untuk mendukung antikorupsi. Karena Megawati membuat pernyataan bahwa akan memecat langsung kader yang melakukan korupsi. Hal ini terbukti, pada tanggal (4/01/19) ICW merilis 40 caleg Eks-Napi Korupsi. Dan caleg PDI-P, zonk alias tidak ada caleg dari partai mereka. Komitmen PDI-P benar-benar diterapkan.

Sumber artikel : 1 & 2

***