Peta Kolonial Zaman VOC

Seringkali yang digambar blok bangunan sesuai kondisi hanyalah bangunan – bangunan kolonial (militer dan pemerintahan), European Quarter dan tempat tinggal orang Tionghoa (Pecinan) saja.

Sabtu, 14 Mei 2022 | 07:06 WIB
0
474
Peta Kolonial Zaman VOC
Peta Kuno VOC (Foto: DOk. pribadi)

Biasanya saya mencari peta – peta zaman kolonial ini di Universitas Leiden yang memiliki data – data terlengkap mengenai Indonesia di zaman penjajahan. Tapi tumben, ternyata KU Leuven juga punya copyan atlasnya. Semua ada 7 volume. Atlasnya buesaaarrr dan bueraattt… Yang saya butuhkan ialah volume ke 2 mengenai Pulau Jawa dan Madura.

Peta di zaman VOC ini kebanyakan dibuat atau digambar oleh para prajurit VOC. Banyak mengenai topografi, sebaran dan desain benteng2 VOC di pulau Jawa, serta peta kota – kota kolonial Belanda. Meskipun ada juga peta Surakarta dan Yogyakarta. Tapi jangan dibayangkan petanya seperti stándar peta zaman sekarang. Orientasinya kadang aneh, seakan dibuat dari arah Laut Jawa, sehingga posisi utara justru berada di bawah. Banyak ketidak tepatan, sehingga saya setengah membayangkan perpaduan antara peta harta karun dan peta pita pramuka. 

Meskipun tetap kaya informasi. Ketika saya menggambar peta perkembangan Semarang dari zaman VOC hingga tahun 2021, saya betul – betul setengah mati untuk menyeragamkan skala dan arah orientasi petanya. Kadang harus sedikit di rotate agar peta zaman VOC ini bisa pas dengan peta yang lebih realistis dari abad 19 dan 20.

Yang juga unik, adalah cara kartografer zaman VOC ini dalam menggambarkan kota kolonial. Seringkali yang digambar blok bangunan sesuai kondisi hanyalah bangunan – bangunan kolonial (militer dan pemerintahan), European Quarter dan tempat tinggal orang Tionghoa (Pecinan) saja. Untuk perkampungan pribumi dan perkampungan bangsa lain (Arab, India) sering digambar sekedarnya saja.

Kadang bahkan hanya berupa arsiran. Barangkali alasan dibalik hal ini sederhananya ialah karena yang berupa “bangunan batu” di kota – kota kolonial hanyalah bangunan untuk orang Eropa dan orang Tionghoa saja.

Akan tetapi bisa juga hal ini terkait konsep bangsa Belanda sendiri terkait kota di tanah koloninya dan siapa yang berhak memiliki akses terhadap kota. Yang dianggap kota hanyalah tempat dimana bangsa Eropa tinggal. Bangsa lain dipaksa untuk tinggal di permukiman terpisah. Lebih - lebih kelompok pribumi, dibiarkan untuk tinggal di luar “tembok” kota, namun cukup dekat untuk dapat “dieksploitasi” tenaganya.

Pribumi dibiarkan untuk mengatur dirinya sendiri di luar “tembok” kota, sehingga pihak Belanda dapat lepas dari tanggung jawab untuk mengurus kesejahteraan kaum pribumi, meski di saat yang sama mengeksploitasi tenaga mereka. Setidaknya hal ini berlangsung hingga awal abad 20, dimana ada politik etis, perencanaan kota modern serta program – program perbaikan kampung (kampung verbetering).

***