Fukuyama, Sandel dan Nasib Demokrasi

Apabila kinerja lembaga pemerintahan, dan institusi imparsial yang ada dianggap tidak efektif, dan tidak berkualitas, semakin rendah dan lemah pula dukungan, legitimasi, dan otoritas politik mereka.

Rabu, 20 Januari 2021 | 07:38 WIB
0
231
Fukuyama, Sandel dan Nasib Demokrasi
Pasukan Garda Nasional terlihat berada di sekitar Gedung Capitol, Washington, D.C., 17 Januari 2021, untuk memperketat pengamanan menjelang pelantikan Presiden terpilih AS, Joe Biden. (AP Photo/Julio Cortez)

Apa yang terjadi saat ini di Amerika, seperti penyerbuan dan kerusuhan massa pendukung Trump ke Capitol Hill yg dianggap sebagai benteng demokrasi Amerika, pengerahan sekitar 25.000 tentara anggota Garda Nasional AS untuk mengamankan Gedung Capitol menjelang pelantikan Presiden, karena ada kekhawatiran potensi ancaman ini muncul setelah penyerbuan Kongres oleh para pendukung Presiden Trump 6 Januari lalu, yang menewaskan lima orang, termasuk seorang polisi Capitol, telah meruntuhkan nilai-nilai dan pilar-pilar demokrasi Amerika, yang konon diklaim sebagai negara paling demokrasi di dunia, kiblat negara demokrasi...betulkah? Kecuali, kita membenarkan demo-rusuh seperti itu adalah bagian dari (nilai dan pilar) demokras?

Fenomena "kerusuhan demokrasi" tersebut dapat dilihat dari dua perspektif teori politik, Teori Fukuyama dan Sandel.

Dalam perspektif teori politik Fukuyama, fakta "kerusuhan demokrasi" di Amerika tersebut menyisakan pertanyaan kritis atas kebenaran dan validitas tesis Fuķùyama ttg "berakhirnya sejarah" dan "kemenangan demokrasi" dalam dunia perpolitikan moderen, seperti tertulis di dalam bukunya, "The End of History and the Last Man" (1992).

Menurut Fukuyama, kelahiran demokrasi liberal dan kapitalisme pasar bebas Barat beserta penyebaran gaya hidupnya ke seluruh dunia menandakan titik akhir evolusi sosial-budaya umat manusia dan menjadi bentuk terakhir dari pemerintahan manusia.

"Yang kita saksikan sekarang bukan saja akhir dari Perang Dingin, atau berlalunya masa-masa sejarah pascaperang, melainkan akhir dari sejarah itu sendiri, yaitu akhir dari evolusi ideologi manusia dan universalisasi demokrasi liberal Barat sebagai bentuk pemerintahan manusia paling akhir," kata Fukuyama.

Bahwa kombinasi antara "ekonomi pasar bebas" dan "demokrasi liberal” yang dibangun di atas "persamaan hak" diklaim telah menghasilkan bentuk masyarakat manusia yang paling maju.

Liberalisme ekonomi dan politik dianggap Fukuyama telah berhasil menghantarkan masyarakat Eropa Barat dan Amerika Utara berada di "garda terdepan peradaban" dan demokrasi liberal Barat dipercaya sebagai tatanan paling final dari sistem ekonomi politik dunia.

Berbeda dengan Fukuyama, Karl Marx sebaliknya mengklaim bahwa komunismelah yang akan menggantikan kapitalisme. "the direction of historical development was a purposeful one determined by the interplay of material forces, and would come to an end only with the achievement of a communist utopia that would finally resolve all prior contradictions." 

Namun dalam praktiknya, putusan publik yang begitu banyak melibatkan kelompok-kelompok kepentingan, menyulitkan negara dalam menentukan sebuah "titik temu" kebijakan publik atas dasar suara mayoritas. Pemerintah cenderung lamban secara politik dalam pembuatan kebijakan pada skala nasional. Legitimasi kebijakan secara nasional pun sulit dicapai. kebijakan politik akhirnya hanya bersifat populis semata.

Terpilihnya Donald Trump yang didukung oleh kelompok sayap kanan pada pilpres Amerika Serikat 2016, kemenangan para pendukung Brexit pada referendum Inggris, dan semakin populernya Marine Le Pen di Perancis yang menandai terjadinya peningkatan gelombang politik populisme kanan saat ini, serta bersamaan waktunya dengan semakin maraknya penerapan langkah-langkah ekonomi proteksionis di negara-negara demokrasi liberal paling maju (Amerika Serikat dan Britania Raya) menunjukkan bahwa demokrasi liberal ala Eropa Barat dan Amerika Utara mulai tidak berfungsi.

Puncak dari fenomena persoalan demokrasi liberal ala Fukuyama adalah terjadinya "kerusuhan demokrasi" yang hendak meruntuhkan tembok demokrasi Amerika, yaitu Gedung Capitol (United States Capitol).

Dalam perspektif teori politik Sandel, fenomena "kerusuhan demokratis" di Amerika tersebut disebut "Democratic discontent".

Democratic discontent adalah sebuah fenomena dimana demokrasi yang sudah kehilangan makna. Fenomena democratic discontent ini disebabkan oleh persoalan atau ketidakpuasan publik atas cara kerja/praktik sistem politik demokrasi yang tidak lagi sejalan dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai demokrasi. Orang yang tidak puas atas praktik demokrasi tersebut lazim disebut ‘dissatisfied democrats’ or ‘critical citizens’, yang berakibat munculnya "kerusuhan demokratis" seperti yang terjadi di Amerika saat ini.

Menurut Sandel, ada dua faktor mengapa democratic discontent bisa terjadi.

Baca Juga: Trump Muncul di Perbatasan AS-Meksiko

Pertama, faktor masukan sistem politik yaitu tentang keterwakilan/representativitas rakyat dalam lembaga-lembaga kerakyatan (the input-side of the political system in terms of democratic representation). Aspek ini terkait dengan persoalan sistem pemilihan (electoral system) yang disepakati untuk digunakan. Kuat tidaknya dukungan rakyat terhadap lembaga perwakilan rakyat, serta bagaimana legitimasi dan orotitas politik lembaga perwakilan rakyat tergantung pada apakah desain sistem elektoral mampu menghasilkan wakil-wakil rakyat yang representatif, benar-benar mewakili seluruh rakyat yang memilihnya.

Semakin representatif lembaga perwakilan rakyat, semakin kuat dan kokoh dukungan, legitimasi, dan otoritas politik lembaga-lembaga kerakyatan yang ada, dan fenomena democratic discontent pun dapat diminimalisasi. Demikian pula sebaliknya. Semakin elitis sistem pemilihan yang digunakan, dan karenanya tidak menghasilkan wakil-wakil rakyat yang representatif, semakin rendah dan lemah dukungan, legitimasi, dan otoritas politik lembaga-lembaga kerakyatan yang ada.

Kedua, faktor luaran sistem politik yaitu tentang kualitas kinerja pemerintahan (the output-side of the political system in terms of the quality of government). Aspek ini tidak hanya terkait dengan persoalan kualitas kinerja lembaga-lembaga pemerintahan itu sendiri di dalam menjalankan fungsi-fungsi layanan kepada publik (good and clean governance) di dalam negara demokrasi, seperti pembangunan ekonomi, pembagunan partisipasi publik, penegakan hukum, layanan kesehatan, penanganan korupsi, penghargaan terhadap hak-hak sipil dan politik. Aspek ini juga mencakup efektivitas kerja institusi-institusi imparsial (LSM) di dalam menjalankan fungsi-fungsi pengawasan dan penyelidikan atas kinerja pemerintahan.

Semakin efektif dan berkualitas kinerja lembaga-lembaga pemerintahan (termasuk lembaga pemilihan umum seperti KPU dan electoral college AS) dan institusi-institusi imparsial yang ada, semakin kuat dan kokoh dukungan, legitimasi, dan otoritas politik yang dimiliki oleh pemerintah, dan fenomena democratic discontent pun dapat diminimalisasi.

Demikian pula sebaliknya. Apabila kinerja lembaga-lembaga pemerintahan, dan institusi-institusi imparsial yang ada dianggap tidak efektif, dan tidak berkualitas, semakin rendah dan lemah pula dukungan, legitimasi, dan otoritas politik mereka.

Dalam kasus "kerusuhan demokratis" di Amerika, tampaknya faktor luaran sistem politik yaitu tentang kualitas kinerja pemerintahan, terutama kinerja lembaga electoral college lebih menonjol daripada faktor keterwakilan/representativitas lembaga kerakyatan (Senat dan DPR).

Trump dan para pendukungnya mensinyalir bahwa pemilihan presiden. "Pemilihan yang Dicurangi!" oleh Electoral College. Sebuah badan paling simbolis dalam sistem pemilihan di Amerika. Badan ini terdiri dari perwakilan yang dikirim dari setiap negara bagian untuk memilih presiden berdasarkan suara rakyat.

***

Sumber:
Sandel, Michel J. (1996). Democracy's Discontent: America in Search of a Public Philosophy
Mazrieva, E. (19/01/2021). Pengamanan Ketat & Pembatasan Perayaan Pelantikan, Masihkah AS Jadi Cermin Demokrasi? https://www.voaindonesia.com/a/pengamanan-ketat-pembatasan-perayaan-pelantikan-masihkah-as-jadi-cermin-demokrasi-/5742897.html
Karina, E.N. (2019). Kontradiksi Demokrasi Liberal dan "Akhir Sejarah" Yang Tertunda. https://www.researchgate.net/publication/337874633_Kontradiksi_Demokrasi_Liberal_dan_Akhir_Sejarah_Yang_Tertunda