Narrative Opinion

Dewan Pers seharusnya memberi penguatan kepada para insan pers bagaimana agar media arus utama menghasilkan konten-konten menarik sebagaimana konten kreatif karya netizen di medsos.

Sabtu, 13 Februari 2021 | 07:01 WIB
0
434
Narrative Opinion
Dewan Pers (Foto: Harian Momentum)

Pada akhirnya, yang kreatif sajalah yang bisa survive!

Salah satu caranya sangat sederhana, yaitu menarasikan opini berupa teks yang ada di dunia maya, yang terserak dari kutub utara Facebook sampai kutub selatan Blog, yang ditulis siapapun; entah itu buzzer, influencer atau netizen. Setiap artikel berbentuk opini itu ada pemiliknya, ada yang menulisnya.

Dengan menggunakan etiket atau sopan-santun sederhana meminta izin, siapapun bisa menarasikan bahan baku artikel apapun untuk menjadi komoditas baru berisi informasi yang sama dengan kemasan berbeda. Komoditas informasi kemudian disimpan sekaligus dipajang di Spotify atau Youtube.

Ketahuilah, ada ribuan artikel yang ditulis warga biasa, netizen, buzzer, influencer dan pengguna medsos pada umumnya, yang setiap kita mengembuskan napas tayang di media sosial. Artikel yang sekadar curhat emak-emak atau opini serius mengenai situasi mutakhir di bidang politik, ekonomi, kebudayaan, kemanusiaan dan seterusnya. Soal penting atau tidak penting, bukan saatnya debat tentang itu.

Kembali ke laptop!

Anggaplah setiap artikel yang tayang di media sosial itu adalah bahan baku informasi yang siap diubah menjadi komoditas baru. Persoalannya, apakah Anda punya kreativitas untuk menjadikannya atau tidak!

Saya teringat kembali beberapa petinggi Dewan Pers yang bersemangat ingin membunuh buzzer karena menganggap buzzer membahayakan demokratisasi, buzzer "killing the messenger" dan bukan "killling the message", buzzer mencemari kesucian jurnalisme, dan serenceng stigma buruk lainnya yang diterakan kepada buzzer.

Lalu, bagaimana dengan kreativitas seperti pembuat video yang menarasikan artikel berupa opini yang saya tulis di Facebook beberapa waktu lalu, misalnya, yang tentu saja komoditas barunya ada di platform video Youtube?

Apakah Dewan Pers dan industri pers arus utama akan meminta konten karya para buzzer, influencer dan netizen itu diberangus juga karena dianggap tidak sesuai pakem jurnalistik?

Kali ini saya mengundang Dewan Pers yang terhormat untuk menjawabnya, jika punya nyali. Ya Dewan Pers, bukan sekadar berkoar-koar mau memberangus dan membunuh buzzer atas nama "melindungi" media arus utama.

Sungguh ironis, berupaya "melindungi" pers di satu sisi tetapi melecehkan demokratisasi yang selalu disanjung-sanjungnya di sisi lain.

Media baru seperti media sosial melahirkan kreativitas baru, kreativitas yang bukan dibuat oleh insan pers tetapi oleh para pengguna media sosial itu sendiri, di berbagai platform. Nature media sosial tidak pernah merengek-rengek meminta wartawan profesional media arus utama untuk menulis, mengisi konten atau menjadi bagian dari media sosial itu. Tidak pernah.

Para pengisi konten media sosial juga tidak pernah meminta bekas kasih siapapun, apalagi belas kasih pemerintah atas nama sebuah kebangkrutan yang mereka alami yang terakselerasi di masa pandemi. Istilah mereka, "Nyantai aja, Bro!" Media sosial ibarat kios gratis, setiap penggunanya bisa memajang apa saja di kiosnya itu.

Pun demikian pembacanya. Pengguna media sosial tidak pernah meminta-minta secara paksa orang lain melihat kiosnya. Prinsip di media sosial; kontenmu bagus, aku berkunjung, kontenmu jelek, ogahlah aku datang! Sesederhana itu.

Pun ketika pengguna media sosial, yaitu buzzer, influencer dan netizen berpotensi mengalami kebangkrutan akibat pandemi, mereka tidak pernah meminta dikasihani, tidak pernah meminta belas-kasih, apalagi meminta pemerintah mensubsidi. Kuota Internet mereka beli sendiri. Di masa pandemi, justru mereka ditantang lebih kreatif menghasilkan konten-konten yang tidak biasa.

Baca Juga: Buzzer dan Dewan Pers

Sepertinya Dewan Pers keliru memerankan fungsinya sebagai "pelindung" di saat fungsi "mengembangkan" pers tidak mungkin dilakukan lagi (apalagi yang bisa dikembangkan, Tuan?). Dewan Pers yang para pemangkunya digaji pemerintah itu terlalu memanjakan lembaga pers dan insan pers yang ada di dalamnya. Lembek. Bukan memberi pembekalan agar pers lebih kuat dan tangguh, malah meminta buzzer yang dibunuh. Ini namanya "buruk muka buzzer dibelah!"

Dewan Pers seharusnya memberi penguatan kepada para insan pers bagaimana agar media arus utama menghasilkan konten-konten menarik, variatif dan atraktif sebagaimana konten-konten kreatif yang dihasilkan para buzzer, influencer dan netizen di media sosial.

Tetapi kalau cara terbaik atau satu-satunya cara meminta buzzer dibunuh, ya memang sebatas itulah kapasitasnya!

***

Catatan: di bawah ini adalah contoh "Narrative Opinion" sedang teks opini aslinya bisa dibaca di sini: