Kerusuhan Rasial di AS Sekarang dan di Tasikmalaya 24 Tahun Silam

Adapun yang menjadi pemicu kerusuhan itu sampai mengarah kepada warga keturunan Tionghoa yang bersifat rasial, sepertinya memerlukan kajian dalam tulisan yang lainnya lagi.

Rabu, 3 Juni 2020 | 12:49 WIB
1
500
Kerusuhan Rasial di AS Sekarang dan di Tasikmalaya 24 Tahun Silam
Ilustrasi kerusuhan di Tasikmalaya 24 tahun silam

Kerusuhan yang dipicu oleh penyiksaan polisi terhadap warga sipil di Amerika Serikat baru-baru ini, mengingatkan penulis dengan peristiwa serupa yang terjadi di Tasikmalaya, Jawa barat, sekitar 24 tahun silam. Tepatnya Kamis, 26 Desember 1996.

Kebetulan pada hari dan tanggal tersebut, saya bersama anak kami yang saat itu masih berusia 11 tahun, sedang berada di pusat kota Tasikmalaya. Maksudnya hendak belanja pompa air, lantaran yang selama ini kami miliki sudah rusak, dan minta untuk diganti.

Akan tetapi baru saja turun dari angkot, saya melihat banyak kerumunan massa yang begitu banyak, dan kebanyakan dari mereka mengenakan pakaian ala santri. Ada yang berpeci hitam, dan putih, di lehernya mengenakan sorban, berbaju Koko, atawa juga Khamis, serta berkain sarung, maupun bercelana cingkrang.

Dari mulai jalan dokter Soekardjo, masjid agung, hingga sepanjang jalan Haji Zainal Mustofa dan sekitarnya, penuh dengan kerumunan massa yang menggemakan takbir, dan diselingi teriakan yang menghujat aparat kepolisian.

Dalam hati saya bertanya-tanya. Ada apa gerangan yang sedang terjadi? Sementara itu saya pun langsung merasa khawatir akan keselamatan anak saya yang tampaknya begitu besar keingintahuannya dengan apa yang disaksikan di depan matanya saat itu.

Sambil menuntun erat tangan si sulung, saya mencoba menghampiri kerumunan masa di dekat gedung bioskop yang berada di seberang sebelah Utara masjid agung.

Kepada seorang yang tampaknya hampir sebaya dengan saya, dan setelah sebelumnya mengucap salam, saya tanyakan tentang keadaan yang terjadi.

"Ada santri yang disiksa polisi," sahutnya dengan nada geram penuh kemarahan.

Secara spontan saya mengucap Istighfar. Tapi ketika akan menanyakan sebab-musababnya, teman bicara saya itu sudah beranjak menuju ke arah jalan Hazet (Haji Zainal Mustofa) bersama massa seraya mengucap takbir. 

Sepeninggal mereka, saya masih sempat menyaksikan beberapa tiang rambu-rambu lalulintas di dekat saya berada, begitu mudahnya dipatahkan hanya oleh kedua belah tangan seorang di antara kerumunan massa itu.

Saya berulang kali mengucap Istighfar seraya menggeleng-gelengkan kepala. Terlebih lagi saat melihat di seberang sana massa bergerak riuh-rendah sambil menggedor-gedor setiap toko di sepanjang pusat kota Tasikmalaya itu.

Hanya dalam hati saya menduga, kota Tasikmalaya sedang dilanda chaos, bila melihat pergerakan massa yang begitu banyak tanpa ada kendali lagi dari aparat keamanan.

Sementara itu, keingintahuan saya terhadap sebab-musabab terjadinya kerusuhan itu, akhirnya terkalahkan oleh kekhawatiran akan keselamatan anak, dan waktu yang beranjak sore. Saya takut tidak dapat pulang, lantaran saat itu saya melihat angkutan umum yang biasa mengangkut penumpang dengan tujuan ke kampung kami hanya tinggal satu-satunya lagi! Itupun sudah penuh sesak oleh penumpang.

Untuk menuntaskan rasa penasaran, dan mencari jawaban atas pertanyaan yang sejak tadi memenuhi kepala, ternyata akhirnya diperoleh dengan begitu mudahnya.

 Melalui percakapan dengan sesama penumpang yang duduk saling berdesakan, dan berhadapan itu, mengalirlah informasi terkait hal tersebut. Walaupun sebenarnya apabila dicerna lebih jauh lagi, sejatinya percakapan itupun baru sebatas "katanya", itupun masih bersumber dari "katanya" juga. 

"Seorang polisi telah membunuh seorang kiai," kata orang yang duduk di samping sebelah kiri.

"Bukan. Bukan kiai. Tapi cuma santri. Itupun bukan dibunuh, tapi hanya disiksa saja," orang yang duduk di depan membantahnya.

"Lalu apa penyebabnya polisi sampai berbuat seperti itu?" tanya saya. Tak ada seorangpun yang bisa menjelaskan secara pasti dan akurat. Semuanya hampir sama, hanya direka menurut versinya belaka.

Oleh karena itu, naluri sebagai kuli tinta, membuat saya tak sabar lagi untuk dapat segera mendapat informasi yang akurat. Hanya saja karena berbeda dengan sekarang, yang sudah serba digital, saat itu perlengkapan hanya kamera konvensional dengan film celuloid yang digulung, tape recorder, dan buku notes kecil yang selalu diselipkan di kantong celana. Tapi ketika itu tidak saya bawa, kecuali buku notes itu saja. 

Hanya saja itupun tak berfungsi sebagaimana biasanya, dalam keadaan duduk berdesak-desakan, sambil memangku anak lagi. Lagi pula tujuannya ke kota pun hanya akan belanja pompa air saja. 

Yang jelas, dalam kepala gaya fokus untuk segera tiba di rumah. Mengamankan si sulung, dan seluruh keluarga, begitu rencananya. Baru kemudian bergerak keluar rumah lagi. Untuk mencari informasi, tentu saja.

Di tengah perjalanan, ada kerumunan massa yang melakukan sweeping terhadap kendaraan pribadi. Sehingga perjalanan kendaraan yang kami tumpangi ikut terhambat, dan jadi terhenti juga. 


Kami menyaksikan setiap kendaraan yang ditumpangi warga keturunan Tionghoa dihentikan, lalu penumpangnya disuruh turun, dan... Mereka disiksa dengan beringasnya oleh massa.

Lho, kenapa warga Tionghoa yang jadi sasarannya, bukankah, katanya, yang menjadi sebab-musabab kerusuhan adalah antara polisi dengan santri?

Menjelang senja saya kembali menuju kota Tasikmalaya. Dengan perlengkapan sebagaimana biasanya seorang kuli tinta, tentu saja.

Dari informasi yang diterima dari beberapa narasumber yang terlibat langsung, maupun seluruh institusi pemerintah dan pihak kepolisian sendiri, saat itu, dan kemudian sekarang ini saya tulis ulang kembali,  kronologis peristiwa "Tasikmalaya Membara" di akhir tahun 1996 itu bermula dari ulah seorang remaja bernama Rizal (15) yang saat itu jadi santri 'kalong', yakni santri yang tidak menetap di pesantren, diketahui telah melakukan pencurian barang milik santri di pondok pesantren Condong. 

Oleh pihak keamanan pesantren, yang biasanya berasal dari para santri juga, Rizal diberikan hukuman, dengan cara direndam di bak kolam pesantren tersebut.

Hukuman itu peraturan pesantren bagi kenakalan-kenakalan macam yang dilakukan Rizal. Sebagai pimpinan pesantren, K.H. Makmun mengizinkan hukuman tersebut. Usai direndam, Rizal pulang dan melaporkan ke bapaknya, Kopral Nursamsi, yang bertugas di Polres Kota Tasikmalaya.

Sang bapak geram, langsung mendatangi Pesantren Condong. Kopral Nursamsi menerima penjelasan dari K.H. Makmun dan Ustaz Mahmud Farid. Pertemuan itu oleh pihak pesantren dianggap telah menyelesaikan urusan.

Namun, esoknya, 20 Desember 1996, surat pemanggilan datang dari Polres Kota Tasikmalaya, ditujukan kepada Habib Hamdani Ali dan Ihsan, dua santri yang menghukum Rizal. Surat pemanggilan itu agak janggal sebab bukan ditandatangani oleh Letkol Suherman selaku Kapolres, tapi oleh perwira jaga.

Selaku pimpinan dan pengasuh pesantren, tanpa disertai kedua santri, K.H. Makmun dan Ustaz Mahmud Farid mendatangi Polres Kota Tasikmalaya, sehari kemudian. Karena orang yang dipanggil absen, polisi meminta kedua pengasuh pesantren itu agar santrinya memenuhi panggilan.

Maka, pada Senin, 23 Desember 1996 pukul 08.30, Habib Hamdani Ali dan Ihsan, disertai santri lain bernama Ate Musodiq, tiba ke kantor Polres, ditemani Ustaz Mahmud Farid. Di kantor Polres, mereka bertemu dengan empat petugas jaga termasuk Kopral Nursamsi.

Melihat Habib Hamdani Ali yang telah menghukum anaknya, Kopral Nursamsi langsung menjambak rambut dan memukulinya. Petugas jaga juga ikut menghajar. Mereka adalah Serda Agus M, Serda Agus Y, dan Serda Dedi. Ustaz Farid melindungi santrinya, berusaha menghentikan aksi para polisi.

Namun, ia malah ikut dihajar polisi karena dianggap melawan petugas. Selain mengeroyok Habib dan Ustaz Farid, para polisi yang gelap mata itu mulai menghajar Ihsan.

"Kami diperlakukan seperti kriminal, ditelanjangi hingga tinggal celana dalam, dan disundut rokok," kata Ustaz Farid.

Ustaz dan para santri juga dimaki oleh polisi, "Kami dikatakan kiai goblok dan sebagainya."

***

Begitulah cuplikan awal mula terjadinya kerusuhan itu. 

Akan halnya daerah Tasikmalaya yang sejak lama terkenal dengan predikat "Kota Seribu Pesantren", sontak membuat peristiwa itu dengan mudahnya merebak, dan menjadi isu liar yang memicu solidaritas sesama santri, maupun masyarakat umum juga. 

Terlebih lagi dengan munculnya isu, bahwa ustaz Farid meninggal dunia akibat penyiksaan oknum polisi itu. Sehingga amuk massa pun meletus tak terbendung lagi.

Amuk massa yang liar itupun tidak hanya ditujukan kepada pihak kepolisian saja, melainkan warga keturunan Tionghoa juga menjadi sasaran mereka.

Toko-toko, rumah, kendaraan milik warga keturunan Tionghoa dirusak, dan dibakar. Bahkan tak sedikit pemiliknya pun disiksa juga.

Sehingga untuk menyelamatkan diri, warga keturunan Tionghoa pun menandai toko dan tempat tinggalnya dengan tulisan "Milik pribumi", dan "Milik orang Islam".

Penulis sendiri, di sela-sela peliputan, ikut berusaha menyelamatkan beberapa warga keturunan Tionghoa yang ditemukan sedang membutuhkan pertolongan. Dengan menyembunyikannya di tempat yang sekiranya aman, atau menghalangi perusuh, dengan cara mengalihkan perhatiannya ke tempat lain.

Dari peristiwa 24 tahun silam itu, saya semakin faham bahwa saat itu warga keturunan telah menjadi korban. 

Adapun yang menjadi pemicu kerusuhan itu sampai mengarah kepada warga keturunan Tionghoa yang bersifat rasial, sepertinya memerlukan kajian dalam tulisan yang lainnya lagi.

Hanya saja yang jelas, sepertinya kejadian di AS sekarang ini hampir mirip dengan peristiwa SARA yang pernah terjadi di Tasikmalaya, 24 tahun yang silam. Dan semoga peristiwa itu menjadi peristiwa yang terakhir, jangan sampai terulang kembali di negeri ini. ***

Sumber foto