Orang Gila Dilarang Miskin: Tentang Joker (2019)

Kekerasan kiranya tak akan terlintas lagi di pikiran. Ketidakadilan tak harus berbuah amarah, tetapi justru bisa mendorong empati dan solidaritas untuk melakukan perubahan.

Selasa, 10 Desember 2019 | 06:48 WIB
0
435
Orang Gila Dilarang Miskin: Tentang Joker (2019)
Joker (Foto: medium.com)

Tak banyak film yang saya tonton berulang. Sebagian besar hanya menjadi hiburan yang segera berlalu, segera setelah film usai. Namun, film Joker (2019) adalah sebuah perkecualian. Ia menghibur, dan meninggalkan bekas rasa yang sulit untuk dilepas.

Hiburan dari film Joker tidak sama dengan hiburan dari beragam film lainnya. Ia menghibur melalui rasa sedih dan kecewa. Ada kepahitan yang berjalan bergandengan dengan rasa ceria. Ada kemarahan yang bergandengan dengan tawa yang renyah.

Joker

Film Joker juga penuh pelajaran berharga. Film ini menjadi cermin dari masyarakat yang kehilangan rasa peduli. Ketika kerakusan menjadi tuhan dari keseharian, kebencian dan perpecahan adalah buah yang niscaya. Ketimpangan sosial antara si kaya dan si miskin hanya akan menghadirkan neraka di dunia.

Joker adalah seorang pelaku kejahatan yang lahir dari penderitaan. Sejak kecil, kekerasan sudah menjadi bagian hidupnya. Siksaan orang tua, yang juga kehilangan kewarasan, mendorong Joker ke pucuk kegilaan. Tawa yang keluar dari wajahnya justru penuh dengan kengerian.

Hidupnya juga penuh penolakan. Ia lahir dan tumbuh di kota yang sedang dicekik krisis. Tidak hanya ekonomi yang sulit, tetapi hubungan antar manusia juga membeku. Kekerasan, iri hati dan penipuan menjadi udara keseharian yang dihirup oleh manusia-manusia yang tersesat.

Pada satu titik, akibat perderitaan yang datang bertubi-tubi, Joker melepas segalanya. Ia tersenyum. Ia menari. Ia menjadi dirinya sendiri. Tak ada ketakutan. Tak ada kemarahan. Yang ada hanya: kehidupan.

Di dalam film, setelah saat pencerahan itu, Joker justru menjadi pelaku kejahatan. Ia membunuh dengan kejam, kerap kali disertai tawa yang mengerikan. Ia menyebarkan teror dan kekerasan ke sekitarnya. Dan memang, Joker lalu menjadi salah satu musuh terbesar dari Batman, tokoh superhero fiktif jagoan yang legendaris.

Beberapa Hal Penting

Tawa dan kengerian film Joker mengajarkan kita beberapa hal penting. Pertama, kita bisa melihat arti penting kesehatan mental seseorang di dalam hidupnya. Perilaku tak datang dari langit, melainkan terbentuk dari sejarah masa lalu. Kesehatan mental berperan penting disini, dan tak bisa dianggap anak tiri, terutama jika dibandingkan dengan kesehatan badan.

Di Indonesia, kesehatan mental masih dianggap kebutuhan orang kaya. Orang miskin tak punya hak untuk menjadi gila. Ini jelas anggapan yang salah kaprah, dan berbahaya. Gelombang radikalisme, terorisme dan mabuk agama yang sekarang ini melanda Indonesia jelas terkait dengan kondisi kesehatan mental bangsa ini.

Dua, Joker mengalami gelombang kekerasan brutal di masa kecilnya. Masyarakat dan pemerintah cenderung abai akan hal ini. Derita yang diciptakan juga akhirnya amat besar, dan berkepanjangan, bahkan dapat menurun ke generasi berikutnya. Ini kiranya seperti kebijaksanaan klasik di dalam dunia kesehatan mental, bahwa korban kekerasan akan menjadi pelaku kekerasan di masa depan.

Tiga, tidak hanya anak yang perlu mendapatkan perhatian, tetapi juga orang dewasa. Karena beragam sebab, banyak orang dewasa yang tak mampu menjalankan hidupnya secara sehat dan optimal. Di negara dengan paham kapitalisme turbo seperti Indonesia, hal ini tak menjadi perhatian. Negara lebih senang menjual manusia dan sumber daya alam yang ada kepada negara lain, supaya mendapatkan uang cepat untuk memperkaya para pejabat.

Derita Joker adalah derita kita semua. Modernitas menghantam nilai dan budaya. Makna dan keluhuran digantikan dengan gemerlap kemewahan. Kita pun terjebak sendirian menghadapi hidup yang tak henti memberi penolakan.

Joker, Sang Zen Master

Namun, bagaimana jika Joker mendalami Zen untuk memahami derita yang menderanya? Ia akan mengalami pencerahan yang sama, yakni melebur menjadi satu dengan segala sesuatu. Ia akan tertawa. Ia akan menari. Tapi, ia tak akan membunuh.

Ia tak akan membelah dunia ke dalam kumpulan orang jahat dan baik. Ia tidak akan membenci ketidakadilan. Ia tidak akan menyebarkan teror, kekerasan dan ketakutan di sekitarnya. Sebaliknya, ia akan menemukan kedamaian, yakni pembebasan dari derita yang telah seumur hidup mencekiknya.

Ini bisa dilakukan, asal Joker tidak percaya buta pada pikiran dan perasaannya. Memang, akibat kekerasan yang dialaminya, Joker kehilangan kewarasannya. Namun, dengan praktek dan pemahaman meditatif yang tepat, ia bisa menciptakan jarak dengan pikiran dan perasaan yang menyiksanya. Ketika jarak tercipta, penderitaan menjadi obyek yang bisa diamati.

Inilah pintu pembebasan dari penderitaan. Joker berpeluang menjadi seorang Zen Master yang amat tercerahkan. Penderitaan adalah tanah subur bagi buah-buah kebijaksanaan, asal ia dipersiapkan dengan tepat. Penderitaan membantu kita menemukan diri kita yang asli, dan melepaskan apa yang palsu, yang menjadi sumber derita tiada tara.

Setelah kedamaian yang sejati tumbuh di hati, Joker bisa secara jernih memahami keadaan. Ia bisa mengambil langkah yang tepat untuk memperbaiki hidupnya, dan keadaan sekitarnya. Kekerasan kiranya tak akan terlintas lagi di pikiran. Ketidakadilan tak harus berbuah amarah, tetapi justru bisa mendorong empati dan solidaritas untuk melakukan perubahan.

Sayangnya, saat-saat pencerahan yang dialami Joker justru menggiringnya menuju kemarahan dan kekerasan. Ia tak menjadi Zen Master, melainkan kriminal dengan dendam dan kemarahan yang memuncak. Mungkin, di alam semesta yang lain, ceritanya tak harus seperti itu. Di keadaan yang serupa, kita tak harus memilih menjadi Joker. Ada kemungkinan lain yang lebih indah.

Joker bisa menari. Joker bisa menyanyi. Ia bisa tertawa. Tetapi, ia tak harus membunuh…

***