Toleransi 2.0 Generasi Milenial

Salah satu instrumen untuk mewujudkan kerukunan beragama (termasuk melakukan moderasi Islam) yaitu melalui mekanisme toleranasi 2.0 ini yang dapat dilakukan secara simultan.

Jumat, 19 Juli 2019 | 16:44 WIB
0
618
Toleransi 2.0 Generasi Milenial
Ilustrasi Milenial dan Internet (Foto: Kumparan.com)

Tren pemutakhiran internet hingga generasi ketiga sekarang ini, memberi dampak besar pada perubahan sosial, tak hanya menyoal keterhubungan antarmasyarakat yang tidak berbatas (borderless) tapi juga mengubah kultur suatu masyarakat dan memperkuat bargaining position publik di mata suprastruktur. Interaksi sosial yang mulanya berlangsung di ruang-ruang publik konvensional mulai bermigrasi ke ruang publik virtual.

Mark Poster menulis Cyberdemocracy: Internet and the Public Sphere (dalam David Porter) mengatakan, apa yang dikatakan Habermas tentang konsep public sphere sebagai ruang homogen di mana subyeknya mempunyai relasi simetrikal, telah terabaikan dalam arena publik elektronik.

Komunitas virtual seperti terdapat di electronic cafes, bulettin board, milist, blog, forum interaktif web personal, web jejaring sosial telah menjelma menjadi harapan baru ketersediaan ruang publik yang dapat menyediakan suatu situasi komunikasi tanpa dominasi.

Lebih jelasnya, Joseph R. Dominic,  dalam bukunya The Dynamics of Mass Communication (2009), menjelaskan bahwa perkembangan internet dimulai dari internet generasi pertama atau web 1.0 yang hanya memungkinkan penggunanya sebagai konsumen dari konten internet, sedangkan pada internet generasi kedua atau web 2.0 para penggunanya bisa membuat atau berbagi konten.

Singkatnya, web 1.0 bersifat statis sementara yang  2.0 besifat dinamis (user-generated content). Interaksi pengguna dan web master tak lagi hanya satu arah. Hampir keseluruhan sistem baru dari interaksi sosial sudah maju, mencakup Really Simple Syndication (RSS feeds), dan juga penggunaan situs jaringan sosial (lihat juga Gun Gun Heryanto dan Shulhan Rumaru, 2013).

Lewat gawai pintar, kita bisa lebih banyak mengakses dan mengonsumsi informasi setiap hari, bahkan dapat kita kelola menjadi cikal-bakal gerakan sosial hingga revolusi sosial seperti terjadi pada kasus Arab Spring di Tunisia dan Mesir. Jika melihat penetrasi web 2.0 dalam perubahan sosial, maka nampaknya sangat mungkin untuk menggerakkan aksi-aksi sosial untuk kerukunan dan toleransi beragama.

Di Indonesia sudah banyak contoh tren toleransi 2.0, di mana kasus-kasus sosial keagamaan yang mencuat menjadi perhatian khusus warga internet (netizen). Tak jarang, beberapa kasus ditangani oleh netizen. Sebut saja kasus anyar yang belum hilang dari ingatan publik yaitu perusahaan Bus Mayasari mendenda supirnya sendiri lantaran bus yang dipegang sang sopir tersebut dipakai untuk bertakbiran keliling oleh sekelompok pemuda DKI Jakarta. Denda yang senilai 1,2 juta rupiah itu pun dibayar lunas oleh netizen dengan membuat gerakan penggalangan dana di situs kitabisa.com dan meraup 10 juta rupiah lebih atau tembus 531 persen dari target awal yang hanya 2 juta rupiah.

Baca Juga: Ganjen Medsos dan 4 Tipologi Pengguna Internet

Kasus lainnya, lewat gerakan donasi netizen, Ibu Saeni yang warungnya dirazia ketika bulan Ramadan juga langsung mendapat sumbangan ratusan juta rupiah dari netizen lewat penggalangan dana di kitabisa.com. Lebih menarik lagi, Presiden Joko Widodo pun turut menyumbang 10 juta rupiah, yang artinya suprastruktur juga turut memperhatikan gelombang massa virtual yang bergerak demi rasa toleransi dan keberadilan.

Respons dan aksi kolektif netizen yang meluber di media sosial, bukanlah aksi kosong melainkan punya bobot sosial yang tinggi, terutama menyoal toleransi dan keadilan sosial. Pemanfaatan social media mampu mendorong sentimen publik dalam mengampanyekan secara kolektif, masif, dan efektif tentang isu-isu dan wacana kerukunan beragama. Kita bisa mengukurnya dari jumlah pengguna internet dan partisipasinya dalam isu-isu sosial keagamaan.

Berdasarkan data https://www.internetworldstats.com/stats3.htm, pengguna internet di Indonesia termasuk ketiga terbesar di Asia, mencapai 143.260.000 dari total populasi 269.536.482 jiwa atau sekitar 53,2 persen. Artinya hampir sejajar dengan pengguna internet lainnya di Asia, seperti China yang berada di posisi tertinggi dengan jumlah 829 juta pengguna internet, disusul India 560 juta, Jepang 118 juta, Bangladesh 92 juta, Filipina 67 juta, Vietnam 64 juta, Thailand 57 juta, Korea Selatan 48 juta, dan Pakistan 44 juta pengguna. Data serupa juga dirilis Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) dengan Pusat Kajian Komunikasi (PusKaKom) Universitas Indonesia dimana terdapat 143,26 juta pengguna internet dari total 262 juta penduduk atau sekitar 54,68 persen.

Dilihat dari penetrasi pengguna berdasarkan karakter kota, mayoritas pengguna internet Indonesia adalah kaum urban dengan prosentase 72,41 persen, rural urban 49,49 persen dan rural mencapai 48,25 persen. Menariknya, pengguna internet berdasarkan komposisi usia didominasi oleh generasi milenial dengan usia produktif 19-34 tahun mencapai 49,52 persen dengan rata-rata tingkat pendidikan setara sarjana, magister dan doktor, usia 35-54 ada 29,55 persen, usia remaja 13-18 tahun ada 16,68 persen dan dewasa-lansia di atas 54 tahun hanya ada 4,24 persen.

Bukan hanya dari segi jumlah pengguna, tapi perilaku penggunaan internetnya pun sangat menarik disimak dimana mayoritas pengguna internet mengakses layanan media sosial mencapai 87,13 persen, melihat dan mendownload video mencapai 70,23 persen, dan mengakses artikel sebanyak 55,30 persen. Hal ini berbanding jauh dengan banyaknya akses publik terhadap pasar internet (e-commerse) yang hanya 32,19 persen. Yang membanggakan, hampir lebih dari pengguna internet mengakses berita dan informasi sosial, bahkan 41,55 persen di antaranya kerap berinternet untuk membaca berita dan informasi keagamaan. Jumlah ini sedikit unggul di atas akses publik terhadap politik yang mencapai 36,94 persen.

Dari data yang saya suguhkan, jelas bahwa pengguna internet di Indonesia termasuk masyarakat terdidik dan melek teknologi komunikasi dan informasi, bahkan tak sedikit yang mengakses sosial media lewat gawai pintarnya sesuai yang dilansir wearesocial.com maupun APJII. Hal ini perlu dimanfaatkan secara maksimal, baik oleh pemerintah atau kelompok-kelompok kepentingan untuk mengarusutamakan kampanye kerukunan beragama dengan lebih giat.

Perlu disadari bahwa upaya “provokasi damai” melalui konsep tren toleransi 2.0 yang melibatkan interkonektivitas warga media sosial, benar-benar menjadi saluran baru dalam mendistribusikan kesadaran kolektif dan menggalang kekuatan publik siber yang dapat dimanifestasikan dalam keseharian. Untuk mencipta dan merawat kerukunan beragama dengan konsep toleransi 2.0 ini, saya mengajukan empat argumen:

Pertama, Konvergensi simbolik keberagamaan dengan pendekatan sosiologi agama. Literasi kerukunan beragama harus dilakukan lewat pendekatan sosiologis, sebab membincangkan kerukunan berama berarti mengobrol lebih spesifik menyoal sosiologi agama, dimana semua agama dipandang sama dalam kehidupan sosial manusia. Agama tak dipandang satu lebih baik dari yang lain, dan tidak membicarakan agama mana yang paling benar. Sehingga, para sosiolog lebih senang menelisik peran agama dalam mempengaruhi perilaku individu dan kelompok (ummat) dalam sistem sosial (habluminannas), bukan sistem teistik yang bersifat transenden.

Selain itu, secara pribadi, saya lebih senang memaknai agama dalam terminologi sosiologi dengan bersandar pada pemikiran Sanderson (1993) bahwa agama merupakan suatu ciri kehidupan sosial manusia yang universal, diekspresikan dengan berbagai simbol, citra, kepercayaan serta nilai-nilai yang menginterpretasikan eksistensi manusia. Ekspresi-ekspresi keagamaan inilah yang kita migrasikan ke dalam dunia maya (konvergensi simbolik), dimana publik mulai membuat kesamaan persepsi dan aksi kolektif menyoal kerukunan beragama.

Terminologi konvergensi simbolik sendiri bisa kita rujuk dari tulisannya John F Cragan, Understanding Communication Theory: the Communicative Forces for Human Actions (1998), yang menjelaskan konvergensi simbolik sebagai kekuatan komunikasi di balik penciptaan kesadaran umum atau realitas simbolik yang disebut sebagai visi retoris. Visi retoris ini, menyediakan sebuah bentuk drama dalam bentuk cara pandang, ideologi maupun paradigma berpikir.

Dalam konteks keindonesiaan, ekspresi keberagamaan macam ini bisa kita temui dari dua kerumunan besar; Pertama, organisasi besar umat Islam seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang memang sudah sejak masa perjuangan kemerdekaan telah berkontribusi banyak dalam menjaga akidah keberislaman tanpa melunturkan semangat nasionalisme. Kedua, kerumuman masa internet (netizen) yang belakangan begitu turut andil menjaga kerukunan beragama dengan penerapan konsep-konsep beragama yang humanistik lewat produksi, reproduksi, dan distribusi informasi di berbagai platform media online, termasuk media sosial.

Contoh yang lazim dibincangkan warganet belakangan ini adalah wacana Islam Nusantara yang disajikan NU dalam Muktamar ke-33 di Jombang, Jawa Timur, pada 1-5 Agustus beberapa tahun lalu. Coba perhatikan pengarusutamaan nasionalisme dan keberagamaan di media sosial yang telah diteliti oleh Dr. Gun Gun Heryanto dengan judul Tema-tema Perbincangan Sosial Islam Nusantara di Media Sosial.

Data yang dihimpun menunjukkan bahwa dalam rentang Januari-November 2015, perbincangan seputar Islam Nusantara menghangat di Twitter, mencapai 65%, Facebook 20%, Kompasiana 12% dan Indonesiana 3%. Berdasarkan data faktualnya, sepanjang tahun 2015 sebaran tulisan mengenai Islam Nusantara di Twitter sebanyak 225 kultwit, disusul Facebook dengan 69 tulisan/postingan dilengkapi sekitar 270 gambar dan 12 video pada fanpage Dakwah Islam Nusantara, Kompasiana 41 tulisan, dan Indonesiana 11 tulisan.

Tapi di lain sisi, saya juga harus mengakui bahwa dalam praktiknya, umat sering membuat agama memiliki disfungsi bagi terwujudnya integrasi sosial.

Penafsiran tekstual atas beberapa dogma sering menjadi rujukan dan legitimasi akan tindakan represif yang menyulut konflik antarumat beragama. Saya mencatat beberapa konflik bernuansa agama di Indonesia yang juga menjadi perhatian netizen yaitu pembakaran gereja di temanggung pada awal Februari 2011, penyerangan kediaman pimpinan Ahmadiyah 2011 yang melibatkan kurang lebih 2000 massa, dan penyerangan terhadap aktivis Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB).

Kedua, Interactivity, dimana netizen dimungkinkan memproduksi pesan, mereproduksi, mempublikasikan dan mendistribusikan konten mereka sendiri, juga terlibat dalam interaksi online secara leluasa. Karakteristik interactivity ini yang memungkinkan para komunikator untuk berinteraksi di antara mereka.

Para pemuka agama pun bisa secara bebas meliterasi umat menyoal kerukunan beragama, yang secara teknis publikasinya bisa dibuat lebih ciamik dari sisi pengelolaan. Ketika umat bertukar pesan lewat Mailbox, Facebook, Twitter, Path, Instagram di antara mereka, maka mereka sudah menyadari bahwa komunikasinya menjadi dua arah (two way communnication) bisa terjadi lewat internet dengan pola one-to-one seperti dalam e-mail, one-to-many dan many-to-one.

Ketiga, Membentuk kesadaran kelompok bersama (shared group conciousness). Setiap orang dapat berinteraksi, bertukar isu, menciptakan tema-tema fantasi dan visi retoris yang dapat membentuk kesadaran kelompok terbagi. Misalnya saja, kasus penolakan Ahmadiyah, penolakan pembangunan rumah ibadat, perilaku polisi agama oleh ormas-ormas berjubah agama dll, yang dengan sekejap menjadi tema-tema yang membangkitkan kesadaran publik.

Biasanya, keterhubungan individu atas masalah-masalah ini masih bersifat artifisial bila hanya mendapat asupan informasi dari mainstream media. Namun, akan semakin bersifat personal jikalau setiap orang terhubung dengan komunitas virtualnya. Aktivitas maya para pemeluk agama pun dapat membentuk tipologi-tipologi pengguna internet, ada yang publisist, disseminator, propagandist, dan hacktivist (lihat Gun Gun Heryanto & Shulhan Rumaru: Komunikasi Politik Sebuah Pengantar, 2013).

Keempat, Membentuk masyarakat berperhatian (attentive public). Biasanya, kelompok masyarakat ini menunjukkan eksistensi di dunia maya sebagai aktivis kelompok penekan (pressure group) dan kelompok kepentingan (interest group). Lewat internet, berbagai informasi, sosialisasi gagasan, ajakan, tuntutan hingga protes dan usulan alternatif kebijakan dapat dipublikasikan dan dipertukarkan dengan waktu yang relatif lebih cepat ketimbang melalui media cetak atau media penyiaran.

Dengan begini, interkonektivitas sesama pemeluk agama pun (masyarakat dan ulama) dapat berjalan tanpa terbatasi oleh ruang dan waktu. Para pemuka agama, kini banyak yang menggunakan media sosial sebagai sarana dakwah dan mereka selalu mendapat perhatian khusus dari jamaah yang sudah tentu dapat dikategorikan sebagai publik berperhatian khusus dalam soalan agama.

Akhirnya, saya sampai pada kesimpulan bahwa salah satu instrumen untuk mewujudkan kerukunan beragama (termasuk melakukan moderasi Islam) yaitu melalui mekanisme toleranasi 2.0 ini yang dapat dilakukan secara simultan dan lebih penetratif.

***