Inilah generasi muda, generasi baru yang sedang dan akan terus tumbuh dan berkembang di Papua. Perubahan demografik menunjukkan jumlah mereka semakin bertambah dan signifikan.
Pemahaman keliru menghasilkan pendekatan dan kebijakan yang keliru pula. Kekeliruan itu bertambah, ketika yang digunakan adalah paradigma usang.
Salah satunya, yang seringkali diulang tentang Papua, termasuk oleh media konvensional, adalah anggapan seolah seluruh masyarakatnya masih bercorak tribalism. Dalam masyarakat 'tribe' ini yang berpengaruh adalah pranata lama beserta para tokohnya, seperti "tokoh adat", "kepala suku", tokoh agama, tokoh masyarakat, dan entah tokoh apalagi (di Papua kini ada plesetan "selain tokoh, juga ada toko, warung, dan kios...").
Pranata dan kelompok "tokoh" ini masih eksis, tapi pengaruhnya berangsur menyusut, menjadi sekadar simbol belaka.
Celakanya, banyak yang kurang paham bahwa sejak era Orde Baru Soeharto sudah terjadi kooptasi dan politisasi atas pranata-pranata "tradisional" tersebut (tidak saja di Papua tapi di seluruh Indonesia).
Proses kooptasi dan politisasi sejak lama membuat lembaga dan tokoh-tokohnya ini tidak lebih dari sekadar ekstension kekuatan politik (dan ekonomi) di luar dirinya...)
Maka tak mengheran ada "tokoh" yang sering dimunculkan oleh media TV nasional, tapi oleh anak-anak muda Papua tokoh-tokoh ini dinilai karikatural mirip badut.
Ketika "kisruh" Papua menghentak dan menggema ke panggung politik nasional (dan internasional), bermunculanlah ke permukaan para "tokoh" ini.
Tapi mereka bukan memunculkan dirinya sendiri atau dimuncukan oleh media-media konvensional arus utama.
Sebagian mereka memang sengaja dimunculkan, seperti para punakawan yang diangkat dari kotak kemudian digerakkan dan "berbunyi" sesuai kehendak Ki Dalang dalam sebuah pentas wayang.
**
Saat heboh demo dan rusuh di Papua akibat persekusi dan aksi rasis di Jawa Timur, pendapat kumpulan tokoh di atas diperdengarkan. Seolah mereka representasi riil, dan lebih parah lagi, seolah mereka masih punya pengaruh mengatasi kisruh yang tengah berlangsung.
Dalam heboh itu, ada kelompok strategis yang luput dari perhatian besar media-media konvensional, para penentu kebijakan, juga luput dari perhatian para ilmuwan-pengamat.
Mereka adalah generasi baru Papua, generasi muda terdidik, yang tersebar di berbagai kampus di dalam dan luar negeri, yang paradigmanya berbeda jauh dengan generasi tua mereka.
Mereka adalah bagian dari generasi milenial, generasi yang tidak mengandalkan bedil dan mesiu, tapi mengandalkan kecerdasan intelektual. Senjata mereka adalah teknologi informasi (internet).
Seperti juga generasi milineal di seluruh dunia, mereka adalah digital citizen, yang selalu terhubung (always online) dalam apa yang disebut Manuel Castells "Network Society". Dan sebagian pasti sudah membaca karya Castells lainnya, "Network of Outrage and Hope: Social Movements in the Internet Age" (2012).
Sebagai warganegara digital, mereka selalu terhubung dan punya akses ke semua pusat-pusat informasi global, memahami dinamika global. Karena itu mereka sudah menjadi warga dunia modern yang rasional dan aktif.
Jangkauan daya pikirnya dan orientasinya bercorak global.
Inilah generasi muda, generasi baru yang sedang dan akan terus tumbuh dan berkembang di Papua. Perubahan demografik menunjukkan jumlah mereka semakin bertambah dan signifikan.
Bagaimana memahami corak dan karakter generasi baru ini?
Secara politik, kata ilmuwan politik Marvin Rintala, generasi muda adalah sekelompok orang yang mengalami "the same basic historical experiences" pada usia pembentukan-diri (formative years), yaitu berusia antara 17-25 tahun.
Rintala menambahkan, karena punya pengalaman historikal mendasar yang sama dalam usia formatifnya, kelompok ini punya 'political beliefs' tertentu yang khas, beda dengan lainnya. Mereka berpikir dan beraksi atas dasar 'political beliefs' tersebut.
Adakah "the same basic historical experience" yang mereka alami, yang ikut membentuk 'political beliefs' mereka? Ada! Bahkan sudah ada sejak generasi tua mereka, dan mereka juga alami saat ini. 'Memoria passionis', ingatan kolektif tentang kegetiran masa lalu yang menurun ke masa sekarang, adalah salah satunya.
Saya kira definisi dari Rintala ini secara longgar bisa dipakai untuk memahami generasi muda Papua yang eksis dan sedang tumbuh saat ini.
Kepada mereka-lah perhatian harus diberikan, sebab masa depan Papua ada di tangan mereka, dan akan ditentukan oleh mereka.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews