Pikiran dan Pembebasan

Dengan melampaui pikiran, dan menyadari ketiadaan dari ego, orang justru bisa berpikir lebih jernih, lebih kritis dan lebih sistematik. Ia tidak berpikir atau menganalisis berlebihan.

Kamis, 29 Agustus 2019 | 08:49 WIB
0
389
Pikiran dan Pembebasan
Ilustrasi pikiran dan pembebasan (Foto: Rumahfilsafat.com)

Pikiran itu amat perkasa. Ia bisa membuat surga terasa seperti neraka, dan neraka terasa seperti surga. Begitulah kata John Milton. Pikiran bisa membuat rumah nyaman terasa seperti penyiksaan. Ia bisa membuat gubuk sederhana terasa seperti istana yang membahagiakan.

Para pemikir sepanjang sejarah sudah lama sadar, bahwa pikiran manusia yang membentuk dunia. Warna dan bentuk tidak ada di dalam kenyataan. Keduanya adalah ciptaan dari pikiran manusia. Jika anda mengira, bahwa apa yang anda lihat adalah nyata, maka anda sudah tertipu oleh pikiran anda sendiri.

Pikiran

Namun, pikiran bukanlah sesuatu yang mengambang di udara. Ia tertanam erat di dalam otak manusia. Ada banyak bagian dari otak manusia. Yang relevan untuk pemahaman kita adalah bagian otak yang disebut sebagai Frontal Lobe yang terletak tepat di dahi kita. Fungsinya adalah untuk berpikir, menata, berbicara, bergerak, menyelesaikan masalah, mengingat dan mengelola emosi.

Walaupun tertanam dalam otak, fungsi pikiran sendiri amatlah kompleks. Jika dilihat lebih detil, ada sembilan bagian dari pikiran, sesuai dengan fungsinya. Lima bagian pertama adalah panca indera manusia, termasuk penglihatan, pendengaran, pencecap, perasa dan pembau. Perlu diketahui, bahwa organ indera terhubung langsung dengan pikiran sebagai pengelola informasi.

Bagian keenam adalah kesadaran konseptual untuk menciptakan konsep. Bagian ketujuh adalah kesadaran penilaian untuk membantu membuat pembedaan antara berbagai hal di kenyataan. Bagian kedelapan adalah ingatan yang menampung semua informasi yang ada. Bagian kesembilan adalah kesadaran murni yang tak tersentuh oleh ingatan, maupun oleh akal budi.

Filsafat

Apa kaitan pikiran dengan filsafat? Ada banyak pemahaman tentang filsafat. Ia merupakan ibu dari semua ilmu pengetahuan, sebagaimana kita kenal sekarang ini. Filsafat merupakan upaya untuk memahami dunia dengan menggunakan akal budi secara sistematik, kritis dan komprehensif. Tujuan utama filsafat bukan hanya menghasilkan pengetahuan, tetapi juga kebijaksanaan.

Dalam arti ini, kebijaksanaan adalah kebebasan dari kebodohan dan kemiskinan. Kebodohan akan menghasilkan kesempitan berpikir. Ini akan menghasilkan diskriminasi dan kekerasan terhadap perbedaan. Kemiskinan juga merupakan sumber dari banyak masalah sosial, mulai dari masalah kesehatan, kriminalitas sampai dengan terorisme.

Kebijaksanaan juga merupakan kesadaran sosial. Artinya, orang paham akan keadaan masyarakat secara umum. Ia juga paham akan hubungannya dengan keadaan tersebut. Lalu, ia bisa melakukan hal-hal yang perlu untuk melakukan perubahan sosial ke arah yang lebih baik.

Namun, pikiran tidak akan menghasilkan pembebasan total. Sampai batas tertentu, ia amat membantu di dalam membebaskan manusia dari berbagai bentuk belenggu kehidupan. Namun, jika berhenti di pikiran, orang akan cenderung jatuh ke dalam berpikir dan menganalisis berlebihan. Ini merupakan akar dari segala penderitaan hidup, mulai dari stress, depresi sampai dengan keinginan bunuh diri. Pikiran perlu dilampaui, supaya pembebasan total bisa diraih.

Melampaui Pikiran

Melampaui pikiran berarti menyentuh unsur kesembilan, yakni kesadaran murni. Terdengar sulit, tetapi sebenarnya ini amat sederhana. Kesadaran murni adalah kesadaran yang mengamati segala yang terjadi saat ini. Ia mengamati tanpa ingatan, dan juga tanpa penilaian.

Dengan mengamati seperti ini, orang akan bisa melihat dunia sebagaimana adanya. Segala cerita dan mimpi tentang kenyataan akan secara alami kehilangan pengaruhnya bagi hidup. Salah satu yang paling penting adalah dengan menyadari, bahwa segala bentuk pikiran berakar pada ego, dan ego adalah ilusi. Ketika ini disadari, maka pembebasan total pun sudah diraih.

Baca Juga: Formulasi Pikiran

Ini bukan hanya merupakan argumen filosofis. Penelitian-penelitian ilmiah juga sudah membuktikan hal ini. Ego adalah bayangan semata yang lahir dari kebiasaan. Ia bukanlah kenyataan.

Dengan melampaui pikiran, dan menyadari ketiadaan dari ego, orang justru bisa berpikir lebih jernih, lebih kritis dan lebih sistematik. Ia tidak berpikir atau menganalisis berlebihan. Ia terbebas dari penderitaan hidup. Ia mengalami pembebasan, tidak hanya bebas dari kebodohan dan kemiskinan, tetapi juga dari derita batin yang begitu menyiksa.

Tawaran yang (sayangnya) amat dibutuhkan oleh manusia-manusia abad 21.

***