Sebuah Renungan Angin dari Gunung

Cerpen ini memberi ruang bagi pembaca untuk merenungi: apa yang tersisa dari seseorang setelah ia selesai memperjuangkan sesuatu?

Minggu, 1 Juni 2025 | 08:01 WIB
0
3
Sebuah Renungan Angin dari Gunung
Cover Cerpen Robohnya Surau Kami

“Tapi sekali pernah juga aku berpikir-pikir, bahwa hidup seperti itu tidaklah akan selamanya berlangsung. Suatu masa kelak akan berakhir juga.” (Robohnya Surau Kami, dalam "Angin dari Gunung" hlm. 90).

Cerpen “Angin dari Gunung” merupakan salah satu bagian dari kumpulan Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis. Dalam cerpen ini, kita diajak menelusuri percakapan tenang namun dalam, antara dua tokoh lama yang berjumpa kembali setelah perang dan waktu mengubah segalanya

Kita Tak Lagi Bisa Pulang

Ada satu jenis kehilangan yang tak bisa dilawan dengan apapun: kehilangan atas hal-hal yang tidak bisa diulang. Seperti ketika seseorang begitu rindu pada masa lalu, namun sadar bahwa ia tak bisa kembali ke titik itu lagi. Bukan hanya karena waktu telah berlalu, tapi karena dirinya yang dulu pun sudah tak lagi ada.

Cerpen "Angin dari Gunung" karya A.A. Navis menyuarakan rasa itu secara halus, lewat tokoh yang bernama Nun. Ia adalah perempuan yang dulunya aktif berjuang, cantik, penuh semangat, tapi kini hidup dalam sunyi dan tubuh yang tak utuh. Cerita ini menjadi semacam ruang hening tempat kita merenungi bagaimana nasib manusia berubah, dan bagaimana kadang penderitaan justru dimulai setelah perjuangan selesai.

Perjumpaan tokoh narator (Har) dengan Nun tidak berlangsung seperti reuni yang penuh hangat dan nostalgia. Justru sebaliknya, ada jarak yang tidak terlihat namun begitu terasa. Nun seperti sudah kehilangan dirinya. Ia bukan lagi perempuan gagah masa lalu yang dikenal narator, tapi seseorang yang letih, yang hidupnya terasa kosong.

Rasa itu sangat terasa saat Nun berkata:

“Mungkinkah orang seperti aku ini dapat berbuat sesuatu?” (Robohnya Surau Kami, dalam "Angin dari Gunung" hlm. 92).

Ucapan ini seperti mewakili banyak orang yang merasa tak lagi memiliki peran dalam hidup setelah "masa penting" dalam hidupnya lewat. Seperti kehilangan arah setelah tak lagi punya tempat untuk pulang.

Ketika Rindu Tak Bisa Lagi Dijangkau

Perasaan yang muncul saat membaca cerpen ini serupa dengan rindu yang mustahil: seperti rindu pada orang yang telah tiada. Bukan karena kita tak ingin bertemu, tapi karena alam sudah memisahkan kita. Nun bukan hanya kehilangan tubuh dan tempat dalam masyarakat, tapi juga kehilangan akses untuk kembali jadi dirinya yang dulu.

Saya jadi teringat pada buku Awal dan Mira karya Utuy Tatang Sontani. Sama-sama tentang perempuan yang kehilangan anggota tubuh karena perang. Namun, ada perbedaan nuansa. Mira, meskipun juga mengalami luka, digambarkan masih memiliki aura kecantikan dan harapan. Sedangkan Nun dalam Angin dari Gunung digambarkan sudah begitu lelah bukan hanya secara fisik, tapi juga batin. Seperti seseorang yang sudah kehilangan harapan, dan tidak lagi ingin memungutnya kembali.

Kasih Sayang yang Tak Lagi Setara

Salah satu bagian paling mengena adalah ketika Nun menyadari bahwa narator hanya merasa kasihan padanya:

“Ya. Tentu saja kau kasihan padaku. Karena kau merasa berdiri di tempat yang sangat tinggi, sedang aku jauh di bawahmu.” (Robohnya Surau Kami, dalam "Angin dari Gunung" hlm. 93).

Ini bukan sekadar pengakuan, tapi juga kritik. Bahwa kadang kasih sayang yang datang setelah luka justru terasa seperti rasa iba yang tidak menyejukkan. Di mata Nun, narator bukanlah teman lama yang sejajar, tapi seseorang yang datang sebagai “penolong”, yang memandangnya dari atas.

Kekosongan

Dalam cerita ini, angin dari gunung menjadi simbol yang kuat. Ia datang berulang kali, menerpa wajah tokoh-tokohnya, tapi tidak pernah membawa kehangatan. Justru sebaliknya, angin menjadi penanda kehampaan, tanda bahwa waktu terus berjalan dan tak menyisakan banyak hal.

“Angin dari gunung datang lagi menerpa mukaku" (Robohnya Surau Kami, dalam "Angin dari Gunung" hlm. 87).

Kalimat ini adalah klimaks sunyi dari perasaan hilang, lelah, dan tak berdaya. Nun tidak mati secara fisik, tapi secara batin ia sudah lama tenggelam.

"Angin dari Gunung" bukan hanya kisah tentang dua orang yang pernah dekat, tetapi tentang bagaimana waktu mengubah segala hal, termasuk makna kita di dunia ini.

Cerpen ini memberi ruang bagi pembaca untuk merenungi: apa yang tersisa dari seseorang setelah ia selesai memperjuangkan sesuatu? Apakah kita masih dihargai, atau hanya jadi kenangan yang mengundang iba?

Dan ketika kita tak bisa kembali ke masa lalu, apakah kita akan tetap berjuang di masa kini atau memilih diam, seperti Nun, bersama angin yang terus berlalu?