Demokrasi yang Tergelincir

Di awal 2022 ini, keadaan demokrasi di Indonesia tidaklah sehat. Pemerintah tidak bisa diharapkan menjadi jalan keluar.

Jumat, 21 Januari 2022 | 06:59 WIB
0
141
Demokrasi yang Tergelincir
Demokrasi yang tergelincir (Foto: rumahfilsafat.com)

Dalam salah satu wawancaranya dengan BBC, kantor berita nasional Inggris, pada 2020 lalu, Presiden Jokowi menyinggung soal demokrasi. Baginya, demokrasi adalah keterbukaan pada ketidaksetujuan. Banyak orang yang mengritik kebijakannya, terutama terkait dengan penegakan HAM, dan kelestarian lingkungan. Itu sah, dan merupakan bagian dari demokrasi, begitu kata Jokowi.

Jawaban ini salah total. Demokrasi bukan hanya soal memperbolehkan ketidaksetujuan, lalu mengabaikannya. Ini namanya pemerintahan tuli. Sebaliknya, demokrasi tidak boleh tuli. Kritik diberikan ruang, didengarkan lalu dipelajari, apakah isinya bisa dan harus diterapkan, atau tidak.

Di Indonesia, negara hukum demokratis menjadi pilihan bentuk pemerintahan. Ini tentu bukan tanpa sebab. Para pendiri bangsa kita melihat kompleksitas Indonesia yang terdiri dari ribuan suku, ras dan agama. Bangsa semacam ini hanya bisa maju, jika diatur dengan hukum yang kuat, dan berpijak pada kehendak bersama yang ditemukan di dalam proses demokratis.

Di dalam negara hukum demokratis ini, hukum tidak boleh hanya berpijak pada agama tertentu. Hukum tidak boleh hanya mengacu pada satu budaya tertentu. Hukum harus menjadi perekat bagi semua, dan diterapkan dengan penuh kepastian. Maka, hukum harus dirumuskan dari proses musyawarah yang mewakili seluruh lapisan masyarakat, dan diterapkan secara jelas serta transparan.

Demokrasi yang Tergelincir

Sayangnya, di Indonesia, demokrasi hanya sekedar nama. Ia hanya menjadi ritual untuk memilih kepala daerah, parlemen ataupun presiden. Nilai-nilai demokratis diabaikan. Akibatnya, demokrasi Indonesia pun tergelincir menjadi sesuatu yang sama sekali berbeda.

Pertama, di Indonesia, demokrasi berubah menjadi turbo kapitalisme. Ini adalah paham, dimana pengumpulan keuntungan ekonomi menjadi patokan utama. Uang menjadi tuhan-tuhan baru. Semua arah pembangunan ditujukan untuk penumpukan uang, sambil mengabaikan hak-hak warga negara, maupun kelestarian lingkungan.

Dua, meluasnya paham turbo kapitalisme melahirkan negara oligarki. Ini adalah negara yang dikuasai oleh sekelompok orang kaya. Orang-orang ini menggunakan agama dan budaya untuk membenarkan sepak terjang mereka. Tak heran, mereka banyak menyumbang, guna meningkatkan citra mereka di mata masyarakat. Ini sudah menjadi pola berulang di Indonesia.

Tiga, demokrasi Indonesia pun juga tergelincir ke arah teokrasi. Ini adalah bentuk pemerintahan dengan mengacu pada satu ajaran agama tertentu. Dalam arti ini, teokrasi adalah bentuk tirani mayoritas. Kelompok agama mayoritas memaksakan ajaran mereka untuk diterapkan bagi semua warga negara yang memiliki pandangan maupun agama yang berbeda.

Empat, semua gejala di atas cenderung diabaikan, karena pemerintahan yang sekarang ini bersifat teknokrat. Ini adalah pola pikir yang mementingkan pembangunan fisik dengan menggunakan teknologi. Manusia pun dibentuk untuk mengabdi pada kepentingan industri semata. Masa pemerintahan Jokowi akan dikenang sebagai pemerintahan teknokrat kapitalistik teokratik, jika tidak ada perubahan mendasar di 2022 ini.

Lima, pemerintahan teknokrat memang cenderung otoriter. Di Indonesia, demokrasi pun tergelincir menjadi pemerintahan diktator. Pembangunan fisik menjadi utama, sambil mengabaikan hak-hak asasi manusia, maupun kelestarian lingkungan. Siapa yang berani melawan, maka militer akan siap turun tangan.

Lima hal ini membuat Indonesia menjadi bangsa terbelakang. Pembangunan fisik menjadi ajang pencitraan. Sementara, kemiskinan, kebodohan dan pelanggaran HAM didiamkan di berbagai tempat.

Bangsa kita terlihat cantik di luar, namun busuk dan korup di dalam.

Pemahaman Demokrasi Substantif Komunal

Ini semua terjadi, karena para pemimpin bangsa kita tak sungguh paham arti demokrasi. Partai-partai politik yang mengaku demokratis pun tak sungguh paham, apa arti demokrasi yang sesungguhnya. Bagi mereka, demokrasi hanya soal pemilihan umum untuk berkuasa di bidang politik, lalu siap memperkaya diri. Karena biaya untuk ikut serta di dalam politik mahal, maka peluang korupsi dicari dengan seksama, mulai dari tingkat menteri sampai RT.

Empat langkah perlu dilakukan:

Pertama, pemahaman demokrasi yang sejati harus menjadi bagian dari pendidikan publik. Demokrasi bukan hanya soal memperbolehkan kritik.

Demokrasi juga bukan hanya soal pemilihan umum. Demokrasi yang sejati adalah kedaulatan rakyat atas berbagai kebijakan-kebijakan yang ada, sehingga cita-cita keadilan, kemakmuran dan kecerdasan universal bisa menjadi nyata.

Dua, demokrasi hanya akan menjadi tirani mayoritas, tanpa pemahaman dan penghormatan pada hak-hak asasi manusia. Maka, pendidikan demokrasi harus berjalan bareng dengan pendidikan hak-hak asasi manusia. Berbagai pelajaran yang mengajarkan pola pikir dogmatis dan sempit, seperti pendidikan agama konservatif, haruslah diubah. Jabatan publik di bidang pendidikan haruslah diisi oleh orang-orang yang berpikiran maju, dan bukan hasil kompromi politik uang dan agama, seperti yang terjadi sekarang ini.

Tiga, begitu banyak masalah timbul di Indonesia, karena birokasi yang lambat. Semua proses, mulai dari bantuan korban bencana, sampai dengan penangkapan pelaku tindak kriminal, berjalan lambat. Bahkan seringkali, semua proses tersebut baru terjadi, jika ada uang suap yang diberikan. Birokrasi yang lambat itu seperti kanker yang akan menghancurkan bangsa ini dari dalam.

Empat, cita-cita tertinggi adalah kemandirian dan keaslian bangsa Indonesia. Mandiri berarti, bangsa kita mampu menciptakan keadilan, kemakmuran dan kecerdasan bagi semua warganya, tanpa kecuali. Indonesia tidak lagi diperbudak oleh kepentingan asing, apapun bentuknya. Asli berarti bangsa ini tidak menengok ke Arab ataupun ke Eropa untuk membangun budayanya, melainkan menengok ke dalam jati dirinya sendiri yang sudah selalu agung dan luhur.

Di awal 2022 ini, keadaan demokrasi di Indonesia tidaklah sehat. Pemerintah tidak bisa diharapkan menjadi jalan keluar. Kerap kali, mereka justru menjadi sumber masalah, mulai dari korupsi, birokrasi yang lambat, berkembangnya radikalisme agama sampai dengan pelanggaran HAM di berbagai bidang kehidupan. Kita bisa menunggu 2024 nanti, atau mulai bergerak sendiri dengan sumber daya yang kita miliki.

***