Catatan Biasa Orang Biasa [5] Belajar Ngaji dan Kitab Kuno

Pesantren Condong berkembang pesat dan kini bernama Riyadhul Ulum wa Dakwah berlokasi di Kampung Condong, Kel. Setianegara, Cibeureum, Kota Tasikmalaya.

Sabtu, 19 September 2020 | 14:51 WIB
0
521
Catatan Biasa Orang Biasa [5] Belajar Ngaji dan Kitab Kuno
Ilustrasi pesantren (Foto: kumparan.com)

Sependek ingatan saya, masjid di kampung itu sudah dua kali berubah wujud. Berarti saya mengalami tampilan tiga wajah masjid. Ketika saya mulai belajar mengaji, bentuknya masih sederhana meskipun bangunannya permanen. Dominasi cat putih, dengan kusen kayu berwarna hijau. Lima jendela di sekelilingnya semua terbuat dari kayu tanpa kaca. Begitu juga dengan satu-satunya pintu masuk di sisi timur. Di mihrab terdapat kursi sederhana dan tongkat kayu serupa tombak yang biasa digunakan dalam prosesi khutbah Jumat.

Seperti umumnya masjid masa lalu di kampung-kampung, terdapat kolam wudu dan jamban dekat pintu masuk itu. Beduk dan kentongan berada di sudut kiri belakang. Bedug terbuat dari bekas drum yang salah satu sisinya ditutup kulit sapi. Kentongan berbahan kayu nangka. Dengan media itulah, orang-orang diingatkan tentang waktu salat.

Biasanya sehabis magrib dan subuh, kami –kakak beradik dan anak-anak lainnya- belajar mengaji Alquran. Selain itu belajar pula kitab kuning seperti Sulamu Taufiq (kitab Sulam) karya Syekh Nawawi Albantani yang berisi ilmu tauhid, keimanan, dan akhlak, serta Safinatun Najah (kitab Safinah) yang membahas dasar-dasar ilmu fikih mazhab Syafi'i. Sambil lalangiran (tengkurap) kami membentuk lingkaran. Lampu patromak di tengah-tengah.

Guru ngajinya, ya Bapa sendirian. Terkadang Bapa juga mengajar ngaji di rumah. Terus terang, saya sendiri tidak pernah benar-benar khatam mengaji kitab-kitab kuning tersebut.

Apalagi tulisannya arab gundul semua. Ilmi fikih sehari-hari, misalnya, lebih banyak diperoleh dari bertanya, membaca, mencontoh dan praktek langsung. Kalimat yang paling diingat saat mengaji kitab-kitab itu adalah “faslun, ieu hiji fasal…..”. Itulah kalimat permulaan setiap membahas perkara tertentu.

Belakangan saya tahu, masjid kecil tersebut ternyata monumen yang masih tersisa dari sebuah pesantren yang didirikan KH. Adra’i, kakek dari Bapa melalui jalur ibunya (Saja’ah), pada akhir 1800-an. Saya pernah melihat sebuah peta tua zaman Belanda, yang menuliskan kata “Pesantren Nagrog” pada titik lokasi kampung saya. Nagrog sendiri adalah kampung tetangga yang berjarak ratusan meter, dipisahkan pesawahan.

Melalui tradisi pesantren yang dijaga orangtuanya, Bapa belajar dan mampu baca-tulis bahasa Arab. Meskipun lembaga pesantrennya kala itu sudah tidak ada. Bapa juga belajar kepada ajengan-ajengan yang lain. Karena “karomah” pesantren itu pula, ada penghormatan terhadap kampung ini, yang saya rasakan hingga awal tahun 80-an. Jika ada arak-arakan hiburan yang hingar bingar seperti kuda lumping dan sejenisnya, begitu melewati kampung kami segala bunyi itu berhenti seketika. Mereka akan memulainya lagi setelah meninggalkan batas kampung tersebut.

Pesantren Condong

Suatu ketika, saya kakaratak di rumah panggung peninggalan nenek. Ditemukan begitu banyak lembaran kitab kuning di para (ruang antara langit-langit dan genting) dan di lemari tua. Juga tiga kitab yang ditulis tangan dengan tinta merah dan hitam, berjilid kulit asli. Menurut Bapa, kitab itu adalah salinan kitab tafsir Alquran “Jalalain”. Banyak catatan pinggir pada halaman-halamannya. Namun tidak ditemukan keterangan yang menyebutkan karya siapa dan kapan ditulis. Yang jelas, sudah ada sejak Bapa masih kanak-kanak..

Secara harfiah “Jalalain” artinya “dua Jalal". Kitab tersebut awalnya disusun oleh Jalaluddin al-Mahalli pada tahun 1459, kemudian dilanjutkan muridnya Jalaluddin as-Suyuthi pada tahun 1505. Kitab tafsir ini dianggap sebagai kitab tafsir klasik Sunni yang banyak dijadikan rujukan sebab dianggap mudah dipahami.

Menurut keterangan, KH Adra’i adalah putra dari KH Nawawi, pendiri Pesantren Condong pada tahun 1864. Adra’i pernah mondok dan mendapatkan pendidikan agama dari KH Kholil Bangkalan Madura Jawa Timur selama 4 tahun. Kemudian sang ayah memberangkatkannya ke Mekkah dan bermukim di tanah suci selama tujuh tahun.

Saat menerima estafet kepemimpinan dari ayahnya, dia mendapatkan hibah dari Pangeran Kornel Sumedang sejumlah uang yang kemudian dibelikan lahan seluas 500 tumbak untuk lokasi baru pesantrennya. Pada masa itu Sukapura (Tasikmalaya) memang termasuk ke dalam wilayah Sumedang.

Dari pernikahan pertamanya dengan Nyai Apang, Adra’i memiliki tiga orang anak. Setelah Nyai Apang wafat, Adra’i menikah dengan Nyai Natamirah lalu menetap di Sindangmulih dan mempunyai enam anak. Di tempat baru tersebut dia mendirikan pesantren. Sedangkan kepemimpinan di Pesantren Condong diserahkan kepada menantunya, KH. Hasan Muhammad dari Nagarakasih.

Adra’i meninggal dunia di Sindangmulih dan dimakamkan di pemakaman keluarga Gunung Sumalintang. Posisi makamnya berada paling atas berdampingan dengan makam istrinya, Natamirah. Keturunannya menyebar ke berbagai tempat, dan banyak pula berhidmat dalam keagamaan. Namun pesantren di Sindangmulih sendiri meredup dan kemudian hilang.

Sementara itu, Pesantren Condong berkembang pesat dan kini bernama Riyadhul Ulum wa Dakwah berlokasi di Kampung Condong, Kel. Setianegara, Cibeureum, Kota Tasikmalaya. Pesantren ini bermetamorfosis dengan memadukan konsep klasik dan modern dari tingkat madrasah ibtidaiyah (SD) hingga perguruan tinggi. Regenerasi berjalann dengan baik dan kini dipimpin KH Diding Darul Falah. Ribuan santri meramaikan kompleks lembaga pendidikan tersebut.

***

Tulisan sebelumnya: Catatan Biasa Orang Biasa [4] Tiga Nyawa Cucu Embah Gandrung