Membaca buku cetak tidak membuat mata kita lekas lelah, sementara buku digital LED-nya bikin mata dan tubuh lekas lelah.
Beberapa pekan lalu saya mewawancarai Burhanuddin Muhtadi untuk keperluan disertasi saya. Usai wawancara, saya bertanya kepadanya bagaimana mendapatkan buku "Vote Buying" yang ditulisnya. Dia bilang saya bisa mendapatkan e-booknya. Kemarin saya mendapatkan e-booknya. Hari ini saya ke Margonda, Depok, untuk mencetak buku yang merupakan disertasi direktur eksekutif lembaga survey Indikator itu.
Saya suka mencetak buku digital. Bagi saya membaca buku cetak (printed book) lebih mengasyikkan daripada buku digital (e-book).
Ketika menjadi pembicara di pertemuan Asosiasi Perguruan Tinggi Ilmu Komunikasi (Aspikom) di Medan, Sumut, pada 2016, saya membeli sekumpulan compact disc seharga Rp300 ribu yang berisi sekitar 400 buku dan artikel digital terkait ilmu komunikasi. Saya mencetak beberapa di antaranya.
Salah satunya buku "Mass Communication Theory: Fondation, Ferment, and Future" yang ditulis Stanley J. Baran dan Dennis K. Davis." Buku lainnya berjudul "The Handbook of Mass Media and Communication Theory" setebal hampir 1.000 halaman.
Baca Juga: Budayakan Membaca secara Terstruktur, Sistematis dan Masif
Saya juga beberapa kali membeli buku digital langsung ke penerbitnya di luar negeri yang kemudian saya cetak. Salah satunya "The Mediatization of Politics: Understanding the Transformation of Western Democracy." Saya membeli buku yang dieditori Jesper Stromback dan Frank Esser itu seharga sekitar Rp300 ribu.
Biasanya saya mencetak buku digital di Jl. Margonda Raya, Depok, Jawa Barat. Di sana berderet jasa foto kopi dan percetakan yang bisa mencetak buku digital persis seperti buku aslinya.
"Print E-Book," begitu reklame yang tertulis di toko-toko penyedia jasa foto kopi dan percetakan di sana. Harganya tergantung jenis kertas, jenis sampul, dan jumlah halaman.
Akan tetapi, saya pernah membeli e-book yang tidak bisa dicetak. Buku itu ialah "Islamic Populism in Indonesia and Middle East" yang ditulis Vedi R. Hadiz dan "The Oxford Handbooks of Populism" yang dieditori Kaltwasser et.al. Saya membeli kedua buku untuk keperluan penulisan disertasi saya itu seharga hampir Rp4 juta.Bukan cuma tidak bisa dicetak, kedua buku itu juga tidak bisa dialihkan melalui email, aplikasi lain, atau ke flashdisc. Saya hanya bisa membaca buku itu di laptop saya. Ini mungkin terkait masalah hak cipta atau memang saya yang tak paham cara mencetaknya. Pernah saya harus memotret dengan ponsel satu diagram di buku digital "the Oxford Handbook of Populism" dan saya kirim ke anak saya untuk keperluan skripsinya.
Kebiasaan saya mencetak buku digital ternyata tidak salah. Saya pernah membaca artikel yang menyebutkan bahwa membaca buku cetak lebih baik daripada buku digital.
Ada empat kelebihan membaca buku cetak dibandingkan buku digital.
Pertama, orang yang membaca buku cetak lebih bisa memahami materi yang dibaca dibandingkan buku digital.
Kedua, ketika membaca buku cetak kita lebih fokus sedangkan membaca buku digital bisa bikin tidak fokus karena kita sering tergoda membuka materi lain, misalnya game atau media sosial.
Ketiga, membaca buku teks lebih menancap dalam ingatan kita dan memberi pemahaman secara utuh, sementara ketika membaca buku digital, kita cenderung melompat-lompat yang bisa menyebabkan kerancuan memahami alur atau konteks.
Keempat, membaca buku cetak tidak membuat mata kita lekas lelah, sementara buku digital LED-nya bikin mata dan tubuh lekas lelah.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews