Budayakan Membaca secara Terstruktur, Sistematis dan Masif

Pendiri bangsa ini mampu dan mau mengorbankan dirinya untuk memperjuangkan kemerdekaan untuk memperbaiki kondisi masyarakat yang dijajah.

Minggu, 18 Agustus 2019 | 00:04 WIB
0
347
Budayakan Membaca secara Terstruktur, Sistematis dan Masif
Orasi Ilmiah pada Dies Natalis ke 38 Universitas Negeri PGRI Semarang (Foto: Dok. pribadi)

Saat saya masih kecil, ketika pergi ke dokter gigi bersama kakak dan adik, ibu saya mewajibkan kami membawa buku untuk dibaca saat menunggu giliran periksa gigi. Kebiasaan membaca ini terus berlanjut sampai sekarang. Kemanapun saya pergi selalu ditemani oleh buku.

Saat ini dengan semakin mudahnya akses terhadap berita, film, musik, Anda punya banyak alasan untuk tidak baca buku. Itu adalah realita hari ini, kalau kita tidak menanamkan minat membaca dari usia dini, sangat sulit bagi Anda untuk terbiasa memiliki kemampuan membaca nantinya.

Saya berharap di Universitas PGRI ada suatu kultur membaca yang dibudayakan secara terstruktur, sistematis dan masif. Budaya membaca harus didapatkan, baik di rumah maupun di kampus.

Saya juga berharap universitas akan menjadi tempat dimana Anda tidak hanya menuntut ilmu tapi Anda mulai belajar untuk memberi. Ini adalah salah satu filosofi yang disampaikan orangtua saya dulu.

Oleh orang tua kami diberikan nasihat, "Ndhuk, uripmu ojo ning mikirke kanggo awakmu dewe" yang artinya kalau kamu hidup janganlah hidup hanya memikirkan diri sendiri. Biasakan untuk memikirkan orang lain dan kepentingan orang lain.

Sehingga kemudian saya terbiasa hidup tidak selalu memikirkan diri sendiri. Waktu saya jadi dosen, apa yang saya bisa berikan untuk mahasiswa saya? Waktu saya menjadi menteri, "Apa yang bisa saya berikan lebih?". Waktu saya di Bank Dunia, "Apa yang bisa saya berikan lebih?". Jangan terus menerus memikirkan diri sendiri, tapi cobalah untuk memikirkan orang lain.

Dan itulah sebetulnya nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Inilah yang membuat Indonesia bisa merebut kemerdekaannya, sementara negara tetangga kita, dia tunggu diberi oleh penjajahnya. Indonesia merebut, karena kita memikirkan orang lain. Para pendiri bangsa kita memikirkan rakyat Indonesia yang menderita.

Pendiri bangsa ini mampu dan mau mengorbankan dirinya untuk memperjuangkan kemerdekaan untuk memperbaiki kondisi masyarakat yang dijajah.

Semarang , 23 Juli 2019.

***