Tentang Orang Jawa dan Anjing

Saya meyakini anjing akan tetap jadi sahabat baik manusia. Saya selalu berharap ia akan selalu datang dalam mimpi sebagai sasmiita, isyarat hidup yang baik.

Minggu, 7 Juli 2019 | 23:34 WIB
0
969
Tentang Orang Jawa dan Anjing
Ganjar Pranowo (Foto: Facebook: Andi Setiono Mangoenprasodjo)

Menurut primbon impen, petunjuk arti mimpi. Orang Jawa itu sangat berharap saat tidurnya didatangi anjing. Sependek yang saya ingat ada sepuluh cerita yang berbeda, tentu dengan makna berbeda yang berkait dengan hadirnya anjing dalam mimpi mereka.

Misal saja, bila kita melihat anjing peliharaan, artinya kita akan segera mempunyai barang berharga, hal ini akan membuat anda bahagia. Bila kita melihat anjing menggoyangkan buntut, maknanya anda akan dengan mudah menyelesaikan semua urusan penting.

Sebaliknya jika kita bermimpi melihat anjing berkelahi. Berarti kita akan berdamai dengan lawan anda, hal yang lebih baik dibandingkan bila bermusuhan.

Dalam kondisi yang lain bila kita bermimpi digigit seekor anjing. Artinya sebuah peringatan agar waspada dalam melakukan sesuatu. Pikirkan lah matang-matang dahulu sebelum melakukan suatu tindakan. Bila kita bermimpi melihat anjing peliharaan berbulu putih. Tak lama lagi kita akan bersahabat dengan orang yang jujur dan setia. Hal ini akan menjadikan hubungan persahabatan menjadi baik.

Demikian pula jika kita bermimpi melihat anjing menyalak. Suatu warning agar kita harus waspada karena banyak bahaya di sekitar anda. Sampai di sini, tak ada tanda-tanda bahwa orang Jawa punya alasan sedemikian rupa untuk membenci anjing!

Bahkan di alam mimpi pun ia memberi pertanda baik.

Konon dalam episode Pandawa Seda, ketika kelima Pandawa "merasa hampa, putus asa dan kehilangan gairah hidup". Suatu absurditas, justru ketika mereka menang dalam Barathayuda, yang meminta korban yang tak alang kepalang. Dalam perjalanan ke Swargaloka, mereka ditemani seorang anjing buduk.

Pertama-tama tentu "nggriseni, mengganggu, annoying". Mosok mau naik gunung ke atap langit, justru ditemani anjing yang buruk rupa. Diusir, tapi tak mau pergi. Belakangan justru ia lah yang memberi petunjuk, agar kelimanya tak tersesat.

Apa lacur, satu persatu anggota Pandawa jatuh kelelahan bahkan menemu ajalnya, tak bisa sampai ke puncak. Hanya Yudhistira yang dianggap sebagai tetua bersaudara yang paling bersih jiwanya akhirnya bertahan kuat mencapai pintu surga.

Namun ketika disambut Batara Indra, ia diperingatkan untuk meninggalkan anjing yang mengikutinya tersebut. Merasa bahwa anjing itu telah berjasa, dan menemaninya sejauh itu terjadilah debat yang tak terdamaikan.

Yudhistira pun gantian menolak masuk ke surga dan berbalik turun. Dan seketika anjing itu berubah wujud menjadi Batara Dharma yang tak lain adalah ayahnya sendiri. Seorang dewa yang bertugas menuntun manusia mencapai kesempurnaan hidupnya.

Ketika Yudistira mengikhlaskan tidak jadi menikmati Surga bila tidak bersama anjing buduknya, Ia sesungguhnya sedang melakukan dua tindakan mulia.

Pertama, ia menganggap nikmat Surga hanyalah ilusi dan tidak penting. Ia lebih menghargai sesuatu yang nyata yang bernama “pengorbanan” yang tercermin dalam kesetiaan menurut cara-cara yang bisa dilakukan oleh anjing buduk. Seeekor binatang yang sering dihinakan. Namun sejatinya sangat setia pada majikan, mengikutinya dalam suka duka, menjaga harta kita.

Lalu kenapa orang Jawa juga paling suka misuh-misuh dengat menyebut "anjing". Dengan menggunakan kata "asu" tepatnya.

Tidak selalu makian untuk menunjukkan rasa benci, tapi juga terutama kasih sayang, perhatian, dan keakraban. Penjelasannya mungkin agak absurd, namun ini berkait pasemon.

Dalam budaya Jawa, dikenal dengan istilah dhupak bujang, esem mantri, dan semu bupati. Artinya, untuk mengingatkan atau mengungkap kekesalan pada seorang bupati atau pemimpin, Anda cukup beri isyarat atau pasemon saja karena dianggap tingkat intelektualnya tinggi. Sementara untuk tingkat mantri (di bawah bupati) cukup diberi senyum penuh makna, misalnya. Namun untuk kaum kuli cara memberi kritik harus langsung atau eksplisit.

Ketiganya sama-sama bisa dipisuhi "Asu". Tentu dengan intonasi yang berbeda, namun tetap dengan kasih sayang yang sama. Dan hal inilah yang sering dilupakan! Seolah pisuhan itu melulu kemarahan, kejengkelan atau kemurkaan. Karena itu dalam kultur Jogja akan muncul "penghalusan" dengan pilihan-pilihan kata asuwok, asui, hasu, woasuuu, dan lain-lain.

Fanatisme beragama secara berlebihan pada saat inilah, yang membuat makian dengan meminjam istilah "anjing" mendapat porsi yang sangat sarkastik! Makian yang sesuai dengat syariat agama tersebut, yang memang menempatkan anjing pada kasta mahkluk yang sangat rendah.

Bagi saya pribadi, hal itu baik-baik saja. Karena pasti ada kelompok lain yang akan tetap memberi tempat yang sepantasnya. Ini cuma masalah selera, yang kadang boleh naik turun, datang pergi, muncul menghilang, jadi baik berubah buruk...

Saya tentu memilih menjadi orang Jawa, karena gak bisa semudah itu berbalik jadi "orang lain". Jadi "liyan" sebagaimana trend yang belakangan terjadi! Memusuhi mengusir, meracuni, membunuh, bahkan membuatnya jadi tongseng.

Saya meyakini anjing akan tetap jadi sahabat baik manusia. Saya selalu berharap ia akan selalu datang dalam mimpi sebagai sasmiita, isyarat hidup yang baik.

Karena mungkin saja dalam dunia nyata: saya, kita semua adalah anjing itu sendiri! Uassu kabeh!

***