Menulis Sejarah dari "Puncak Tugu Monas"

Model-model alternatif ini sebagai revisi atas buku-buku sejarah Orde Baru yang telah dimanipulasi untuk kepentingan legitimasi kekuasaan, dan untuk mengukuhkan truth-claims rezim.

Selasa, 9 Juli 2019 | 08:31 WIB
0
257
Menulis Sejarah dari "Puncak Tugu Monas"
Seminare Sejarah Nasional

Dulu, kata van Leur, sejarah Indonesia ditulis dari atas "geladak kapal-kapal VOC." 

Setelah merdeka, sejarah Indonesia ditulis sendiri oleh orang Indonesia, menandai peralihan kiblat dari Neerlandosentris ke Indonesiasentris, juga peralihan dari sejarah tradisional ke sejarah modern dan ilmiah.

Tonggak pertama peralihan itu adalah Seminar Sejarah Nasional, 14-16 Desember 1957 di Yogyakarta. Salah satu tokoh kuncinya adalah Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo, sang Begawan.

Kini, 60 tahun kemudian, diadakan seminar di tempat yang sama, kampus UGM, Yogyakarta, 14-16 Desember 2017. Temanya "Sejarah untuk Kebinekaan dan Ke-Indonesia-an: Refleksi 60 Tahun Seminar Sejarah Indonesia, 1957-2017".

Tetapi setelah tonggak peralihan pada 60 tahun lalu itu, terutama sejak Orde Baru, penulisan sejarah yang sudah Indonesiasentris itu mulai berubah menjadi "Jakartasentris" atau "Jawasentris."

Sebab, sejak itu, sejarah nasional adalah sejarah Jawa ditambah sedikit tentang Sumatra dan Bali. 
Sementara daerah-daerah di luarnya --yang dianggap "daerah pinggiran" kurang mendapat porsi yang proporsional dalam historiografi nasional.

Historiografi macam ini hanya mewakili "perspektif pusat": dari sejarah yang ditulis di atas "geladak kapal2 VOC" , beralih ke sejarah yang ditulis di atas "Puncak tugu Monas" yang lebih bersifat Jakartasentris atau Jawasentris.

Memang, sejak 1999 mulai muncul model-model alternatif penulisan sejarah yang lebih berimbang dalam kerangka "pelurusan sejarah" dan "sejarah alternatif".

Model-model alternatif ini sebagai revisi atas buku-buku sejarah Orde Baru yang telah dimanipulasi untuk kepentingan legitimasi kekuasaan, dan untuk mengukuhkan truth-claims rezim.

Era reformasi telah membuka peluang revisi dalam bidang penulisan sejarah, termasuk penulisan sejarah alternatif. 

Revisi dan wacana alternatif ini diharapkan akan menghasilkan suatu perspektif baru penulisan sejarah Indonesia yang lebih berimbang pilihan tema dan cakupan wilayahnya, berimbang antara Jawa dan luar Jawa, antara "perspektif pusat" dengan "perspektif pinggiran".

Perspektif baru historiografi seperti ini tidak bisa lagi hanya ditulis hanya dari atas "puncak tugu Monas" 

Semoga itu juga yang ikut disorot dalam seminar ini.

***