Lulus atau tidaknya kita pada ujian kali ini ditentukan oleh seberapa sadarnya kita sebagai sebuah bangsa. Apakah kita siap berbangsa satu, yakni bangsa Indonesia?
Tak sedikitpun kematian ribuan nyawa di Cina menggugah kesadaran kita supaya waspada dan segera mengambil langkah preventif. Akibatnya, di saat situasi seluruh wilayah di Cina mulai pulih, tibalah giliran bangsa kita yang menjadi korban keganasan virus corona.
Baru saja (21/03/2020), pihak pemerintah pusat mengumumkan jumlah pasien yang terjangkit virus korona telah berjumlah 369 orang. Dari jumlah itu, 20 orang di antaranya sudah dinyatakan positif sembuh, dan telah merenggut 38 nyawa manusia Indonesia.
Di sini, angka kematian pasien bertumbuh lebih cepat dibandingkan angka yang sembuh. Sungguh, ini adalah fakta yang sangat mengharukan serta menagih lebih banyak kesiapsiagaan dari kita yang ingin senantiasa sehat di tengah pandemik korona.
Dari sekian kasus yang ada, terbanyak berasal dari Provinsi DKI Jakarta, disusul Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Provinsi Kepulauan Riau. Kondisi faktual kian memacu pihak pemerintah untuk terus menerus berupaya mencegah penyebaran virus korona agar tidak kian agresif dan meluas.
Seminggu lalu, demi mencegah virus korona tidak semakin tersebar luas mewabah ke mana-mana dan menjangkit lebih banyak jiwa, Presiden Joko Widodo sudah memaklumatkan social distancing sebagai strategi. Dengan adanya maklumat ini, sejumlah kepada daerah akhirnya menetapkan social distancing sebagai kebijakan dalam upaya memotong mata rantai persebaran pandemik virus korona.
Seluruh warga negara dihimbau menjalani aktivitas seperti biasa hanya pada jangkauan lingkungan yang terbatas: bekerja dari rumah, belajar dari rumah, ibadah di rumah. Sebisa mungkin jangan bepergian jauh dan menghindari kerumunan massal.
Menindaklanjuti kebijakan ini, banyak para ilmuwan sains dan humaniora turun menyuntikkan sugesti—menyerukan supaya bergotong-royong dalam menghadapi bahaya pandemik korona. "Tolong Anda tetap stay at home," tutur mereka serupa.
Meski demikian, kebijakan social distancing yang dimaklumatkan Presiden kemudian diterapkan oleh sejumlah kepala daerah, serta ditopang oleh seruan-seruan ilmuwan, belum tampak memberikan dampak yang signifikan, bahkan strategi ini nyaris dapat dikatakan gagal. Pasalnya, kerumunan massal masih ada di mana-mana. Pun, jumlah korban jiwa akibat virus korona terbukti bertambah banyak.
Kebijakan tersebut memang akan gagal manakala tidak ditopang oleh sinergitas antara komponen warga dengan pemerintah, terutama antar sesama pihak dalam tubuh pemerintahan itu sendiri. Kalau di tengah situasi krisis seperti sekarang ini sesama pihak pemerintahan masih ada yang saling menyalahkan satu sama lain, lantas bagaimana dengan nasib warga?
Mestinya, sebelum menyuruh warga bersinergi atau bergotong royong bersama pemerintah, pihak-pihak dalam pemerintah itu sendiri sudah terlebih dahulu bersinergi. Kemudian, setelah strategi social distancing itu diterapkan, pemerintah seharusnya hadir di tengah-tengah masyarakat, bukan malah berdiri mengambil jarak terpisah.
Pemerintah harus hadir di tengah-tengah masyarakat untuk menerangkan apa maksud dari kebijakan yang mereka terapkan, dalam hal ini kebijakan social distancing. Di luar sana ada banyak warga yang sepanjang hidupnya ogah terlibat dalam dunia keorganisasian sipil, akibatnya over individualistik, maka dari itu perlu dituntun oleh pemerintah sebijaksana mungkin.
Namun sebelum turun ke akar rumput, memastikan warga bergerak sesuai ritme yang diharapkan, pihak-pihak dalam pemerintah itu sendiri sudah harus terlebih dahulu terkoordinasi dan berkolaborasi dengan baik. Bukan malah masing-masing cari panggung sendiri. Singkatnya, hentikan manuver, intrinsik, apalagi menebar gimmick.
Setelah seluruh pihak pemerintah sudah bersatu-padu dalam ritme yang kompak melawan wabah korona, sebagai warga negara kita mestinya memberi dukungan, kalau perlu ambil andil turut membantu. Jika tak mampu memberi masukan yang relevan, sekurang-kurangnya dukungan adalah jangan mengacaukan proses kebijakan yang sedang dijalankan.
Saat ini, ketika social distancing tak sanggup menekan jumlah korban akibat virus korona, pemerintah kemudian berencana akan mengadakan pemeriksaan secara massal. Langkah tepat cukup tetap untuk dilakukan. Namun, mengingat social distancing juga merupakan strategi yang tengah berjalan, maka sebaiknya pemeriksaan massal itu dilakukan tanpa menciptakan kerumunan massal baru.
Selain perangkat medis, hal yang juga bisa kita andalkan untuk menangkal penyebaran virus korona adalah memberi laku keteladanan, solidaritas sosial dan altruisme individual responsif. Pemerintah dari tingkat Rukun Tetangga hingga Nasional harus memberi teladanan, jangan sekadar menghimbau. Ilmuwan, agamawan, serta pihak pengusaha dari tingkah nasional hingga lokal juga harus terlibat aktif membantu usaha-usaha pemerintah, bukan bersikap acuh.
Social distancing bukan berarti masing-masing orang menyelamatkan dirinya sendiri. Kita harus saling tolong menolong. Yang terdampak atau minimal merasa kurang sehat badan, silakan langsung periksa ke dokter (ongkos pemeriksaannya diharapkan gratis) dan usahakan menjaga jarak dengan pihak lain.
Melihat situasi hari-hari ini, kemungkinannya sangat besar untuk diterapkan lockdown. Jadi, bagi pihak yang punya pasokan makanan memadai, bantulah warga yang kekurangan, ini penting—senasib sepenanggungan, sebab virus berbahaya bukan cuma korona, namun laku monopoli juga adalah virus yang terbukti sangat mematikan bagi kehidupan umata manusia.
Kita semua perlu menyadari bahwa pandemik korona sedang menguji modal serta daya kita sebagai bangsa yang pernah memproklamirkan kemerdekaan dan kedaulatan menentukan nasibnya sendiri. Lulus atau tidaknya kita pada ujian kali ini ditentukan oleh seberapa sadarnya kita sebagai sebuah bangsa. Apakah kita siap berbangsa satu, yakni bangsa Indonesia?
Let's prove who we really are.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews