Tamu Tak Diundang

Ada harga yang harus dibayar oleh warga masyarakat: rela berkorban demi keselamatan bangsa dan negara. Baru dengan demikian, kita pantas disebut manusia berbudaya.

Minggu, 5 April 2020 | 06:36 WIB
0
357
Tamu Tak Diundang
Social distances (Foto: liputan6.com)

Untuk segala sesuatu ada masanya. Untuk apa pun di bawah langit ada waktunya. Demikian kata Sang Pengkhotbah. Kita tidak bisa mengendalikan waktu Tuhan. Kalau waktu itu sudah lewat, tidak akan kembali lagi. Karena itu, selama masih ada kesempatan, marilah kita berbuat baik kepada semua orang. Kalau kesempatan tidak digunakan, maka waktu  akan hilang.

Kalau kita tidak cermat kita akan kehilangan kesempatan. Sebab itu, kita harus memperhatikan waktu pintu terbuka dan waktu pintu tertutup.  Apabila Ia membuka, tidak ada yang dapat menutup; apabila Ia menutup, tidak ada yang dapat membuka. 

Ada waktunya Tuhan membuka pintu masuk bagi kita dalam sebuah kesempatan. Bila mana kita tidak masuk, pintu akan tertutup. Pintu itu bisa sebuah kesempatan kesempatan baik yang kita miliki. Yang mungkin Cuma sekali saja. Jadi perhatikan waktu yang Tuhan berikan. Jadilah peka, bijaksana, berani mengambil keputusan namun tidak terburu-buru. Atau anda akan menyesalinya!

Waktu, selalu memberikan pilihan kepada manusia. Apakah manusia mau menjadi baik atau buruk. Apakah kita manusia mau berbuat baik atau tidak bagi sesama? Berbuat baik kepada sesama merupakan salah satu kebiasaan dan kepribadian seseorang yang mencerminkan kebaikan dan keberhasilan jika dilakukan untuk pekerjaan. Berbuat baik untuk orang lain merupakan kebajikan yang semestinya tertanam sejak dini.

Bukankah keutamaan—yang oleh filsuf Thomas Aquinas (1225-1274) didefinisikan sebagai habitus atau kebiasaan untuk berbuat baik–diperoleh lebih karena kebiasaan daripada ajaran, terutama keutamaan moral. Ada peribahasa lama yang sangat indah, Magna est vis consuetudinis, yang artinya kurang lebih “pengaruh sebuah kebiasaan itu kuat.”

Karena itu, orang yang sejak kecil oleh orangtuanya diajari dan dilatih, serta dibiasakan untuk jujur, sopan, rajin, bertanggung jawab, menghormati orang lain–tanpa memandang perbedaan entah itu agama, suku, rasa, dan golongan—memiliki rasa compassion, belarasa, akan menjadi pribadi yang berkarakter baik.

Dan, satu hal yang pasti bahwa kita tidak dilahirkan buruk. Setiap orang memiliki sesuatu yang baik di dalam dirinya. Tetapi, ada yang menyembunyikan. Bahkan, ada yang menolaknya. Namun, sesuatu  yang baik itu tetap ada di sana, di dalam hati. Pilihan tersebut sepenuhnya  ada di hati, pikiran, dan  tangan manusia yang memiliki kehendak bebas. Semua tergantung pada manusia, mau menjadi seperti apa.

Sekarang ini, ketika kita menghadapi situasi kedaruratan, krisis karena pandemi Covid-19 yang semakin merajalela, sifat, karakter manusia yang sesungguhnya terlihat. Apakah kita memiliki habitus untuk berbuat baik bagi sesama atau memikirkan diri sendiri, mau menang sendiri atau tidak.

Kesediaan dan kerelaan kita untuk mentaati dengan suka rela keputusan politik pemerintah—yang terakhir pemerintah memberlakukan pembatasan sosial skala besar, physical distancing dilakukan lebih tegas, disiplin, dan lebih efektif—merupakan salah satu bentuk keutamaan; memikirkan, peduli terhadap orang lain. Orang yang berakal budi akan berdiam diri pada waktu itu, karena waktu itu adalah waktu yang jahat,

Aturan memang harus secara tegas ditegakkan. Perlu ada sanksi yang melanggarnya, demi keselamatan bersama. Menurut Baron Heinrich von Cocceji (1644-1719), profesor hukum alam dan internasional di Heidelberg, ada ungkapan—yang awalnya terinspirasi oleh Aristoteles—yang berbunyi demikian: Ubi homo, ibi societas. Ubi societas, ibi ius. Ergo: ubi homo, ibi ius yang kurang lebih berarti “Di mana manusia berada, ada masyarakat. Di mana ada masyarakat, ada hukum. Karena itu: di mana manusia berada, ada hukum.” Ada yang berpendapat bahwa ungkapan itu dikatakan oleh Cicero (106-43 SM), filsuf Romawi.

Dengan kata lain, hukum dibuat karena ada masyarakat. Tanpa masyarakat, hukum tidak ada. Karena itu, sudah layak dan sepantasnya—atau bahkan sebuah keharusan—bahwa semua anggota masyarakat menaati, mematuhi hukum yang ada.

Hukum menyediakan landasan normatif tentang apa yang seharusnya atau tidak seharusnya dilakukan oleh manusia, oleh anggota masyarakat, oleh seluruh rakyat dalam hidup sosialnya. Hukum mengatur agar warga masyarakat, seluruh rakyat hidup disiplin dan tertib. “Disiplin, disiplin, dan disiplin itu paling penting,” begitu tulis Kepala BNPB yang juga Kepala Gugus Tugas penanganan Covid-19 Doni Monardo, dalam WA-nya yang dikirim beberapa hari lalu.

Korea Selatan, negeri berpenduduk 50 juta jiwa, disebut-sebut sebagai salah satu yang sukses menangani pandemi Covic-19, bisa menjadi contoh di mana disiplin dijunjung tinggi. Data terakhir (Senin, 30/3/2020), jumlah kasus 9661, meninggal 158 orang, dan sembuh 5.228 orang. Mengapa mereka berhasil “memperlambat” laju penyebaran pandemi?

Faktor utama yang memberikan andil kemampuan mereka “memperlambat “ laju penyebaran atau bahkan memutus antara lain adalah layanan kesehatan nasional yang kuat,  eksekusi agresif protokol penanganan, isolasi, dan perawatan, didukung penuh oleh hukum;  dan yang tidak boleh dilupakan adalah pengalaman sebelumnya menghadapi SARS dan Middle East respiratory syndrome (MERS) tahun 2015.

Selain itu, pengaruh Konfusianisme sangat kuat dalam budaya Korsel. Menurut Konfusius (Kong Fuzi, 558-471 SM), perilaku bangsa tergantung pada kapasitas intelektual rakyat. Cara paling efektif untuk mengembangkan pikiran adalah disiplin moral.  Disiplin moral memungkinkan orang untuk melakukan kontrol diri berdasarkan kebajikan, keutamaan. Di sisi lain, aturan hukum menyiratkan pencegahan melalui sanksi.

Dari sudut pandang Konfusianisme, jenis aturan yang terakhir ini (hukum) pada dasarnya bersifat reaksioner, dan itu hanya menghadapi gejala dan bukan inti masalah. Juga, aturan demi hukum menyiratkan metode pemaksaan penegakan kebijakan pemerintah, sedangkan aturan berdasarkan kebajikan menyiratkan pemahaman spiritual dan ideologis dengan rakyat dan dengan demikian mendapatkan loyalitas rakyat.

Konfusius percaya bahwa pemerintahan berdasarkan kebajikan akan berfungsi karena orang pada dasarnya baik hati; dengan demikian, orang-orang akan memilih pemerintahan yang baik dan menolak pemerintahan yang tidak bermoral (Luis Felipe Ramírez; 2010).

Konfusianisme mengajarkan adanya beberapa kewajiban utama dalam hidup. Misalnya yang disebut ren: perlunya memperlakukan orang lain dalam komunitas dengan kemanusiaan; memanusiakan manusia; nguwongke, bahasa Jawanya. Ini sama dengan Golden Rule, etika timbal balik; berbuatlah kepada orang lain sebagaimana kamu ingin orang lain perbuat padamu.

Yang lain adalah li yang pada garis intinya menyatakan melalui ketaatan pada ritual sosial, orang belajar menunjukkan rasa hormat kepada orang lain dan berperilaku dengan cara yang harmonis secara sosial  (Daniel Tudor;  2012).

Semua itu, ada dalam budaya kita yang sangat beragam ini juga dalam kearifan-kearifan lokal masing-masing daerah. Dalam Manusia Indonesia (2001), Mochtar Lubis menunjukkan ciri-ciri baik manusia Indonesia (selain ciri-ciri buruk): ramah, mudah tertawa sekalipun menelan pil pahit, suka menolong, suka damai, hatinya lembut, sayang keluarga, dan kekuatan ikatan keluarga besar, mudah belajar karena bangsa ini cerdas, serta cepat belajar keterampilan.

Kiranya, dengan semua ciri-ciri baik itu, kita bangsa Indonesia dapat mengatasi pandemi Covid-19, tentu dengan penuh kesadaran, penuh kerelaan (tidak perlu mempersoalkan terlebih dahulu, mendebat, mencaci, nyinyir, termasuk menyebarkan fitnah dan kabar bohong dengan tujuan politik) melaksanakan keputusan politik pemerintah untuk memutus rantai penularan pandemi.

Memang, ada harga yang harus dibayar oleh warga masyarakat: rela berkorban demi keselamatan bangsa dan negara. Baru dengan demikian, kita pantas disebut manusia berbudaya. Yakni, manusia yang memiliki sikap moral estetis yang religius, toleran, ugahari, kerendahan hati, bersemangat kerja tinggi, serta berdisiplin tinggi, di tengah serangan pandemi Covid-19.

Maka, ketika tiba waktunya seperti kata Sang Pengkhotbah, Takdir datang mengetuk pintu—meminjam istilah yang digunakan oleh Paulo Coelho—akan terdengar ketukan lembut Malaikat Pembawa Kabar Baik, bukan gedoran-gedoran pintu demikian keras dari Sang Tamu Tak Diundang, yang tidak kenal kompromi.

Bila demikian, maka “malam gelap berlalu, dan terbitlah fajar.”

*** 

Trias Kuncahyono