Warga Jakarta, Belajarlah dari Mbah Samin!

Karena itu saya lebih percaya pada perjuangan tanpa kekerasan. Apa yang dalam istilah Gandhi disebut ahimsa, apa yang dipuitikkan Sosrokartono sebagai "nglurug tanpa bala".

Minggu, 10 November 2019 | 21:45 WIB
0
527
Warga Jakarta, Belajarlah dari Mbah Samin!
Ilustrasi kartu pos terbitan NV H. van Ingen, Surabaya (c1910), yang diduga kuat adalah potret ketika Mbah Samin (Foto: Facebook/Andi Setiono Mangoenprasodjo)

Sekira sepuluh tahun yang lalu, saya bertemu dengan seorang peneliti dari India yang kebetulan lagi meriset tentang siapa Samin Surosentiko. Saat itu, saya sedang giat-giatnya meriset dan menuliskan Ensiklopedi Blora, yang belakangan saya getuni, karena membuat saya nyaris bangkrut. Terlalu heroik di kerja, tapi nol dalam pendapatan. Tak apa, setidaknya daripadanya nama saya pernah tercatat dalam Buku Rekor Lucu-lucuan MURI-nya Jaya Suprana.

Si peneliti ini, rupanya jauh-jauh datang dari India hanya untuk berkata bahwa Mahatma Gandhi itu sebenarnya hanya seorang plagiat dari Mbah Samin.

Kok bisa? Prinsip Ahimsa, berjuang tanpa kekerasan itu sudah dilakukan Samin sekira 20 tahun lebih dulu dari yang Gandhi lakukan di India. Gandhi belajar dari Samin, dengan membaca kisah perjuangannya dari surat kabar yang terbit saat ia masih tinggal di London. Lalu keduanya dipertemukan dalam spirit yang sama, sebagai pejuang kemanusiaan melawan kolonialisme.

Gandhi menjadi lebih terkenal dan mendunia, karena ia dianggap menginspirasi kemerdekaan India. Sedang Mbah Samin dilupakan, karena setelah dibuang menjadi budak pertambangan batubara di Sawahlunto. Ia seolah ingin dihapus, bahkan kuburnya pun tak pernah benar-benar diketemukan.

Siapakah sebenarnya Samin Surosentiko?

Saya beruntung, pernah meriset secara mendalam tentang Mbah Samin ini. Dulu sewaktu masih sibuk bolak-balik Blora-Jogja. Ada keinginan kuat dari kelompok anak muda Blora menjadikan dirinya sebagai pahlawan nasional. Agar Samin, tidak sekedar berhenti sebagai "nyamin", gaya hidup yang kadang kala malah dimaknai sebagai negatif.

Kok? Nyamin adalah sejenis ejekan dari orang yang merasa dirinya mapan, priyayi, dan berpendidikan untuk orang yang berperilaku seolah dirinya miskin dan terbelakang, tapi sikapnya ndableg dan ngeyelan. Karena memang Mbah Samin sendiri sesungguhnya pada mulanya seorang priyayi dengan nama Raden Kohar. Namun tatkala, ia melihat kesengsaraan rakyatnya ia meninggalkan dan menanggalkan status ke-priyayi-annya itu dan memilih menjadi rakyat jelata.

Ayahnya adalah Raden Surowijoyo yang berasal dari Bojonegoro. Samin sendiri lahir di Desa Ploso Khediren, pada 1859. Sebuah kawasan yang hari ini termasuk dalam hutan KPH Randublatung, yang terkenal sebagai penghasil kayu jati kualitas terbaik di dunia. Terakhir saya mengunjungi, rumah kelahirannya sudah dirobohkan, karena lapuk dimakan usia. Yang tersisa adalah lahan kosong, yang konon tak bisa ditanami apa-apa.

Sial betul, belakangan yang dibangun oleh pemerintah untuk mengenangnya, justru joglo yang "terlalu mewah dan steril" di kawasan Klopoduwur. Yang menurut saya, sama sekali tidak mencerminkan karakter asli orang Samin yang sederhana, jujur, dan tulus.

Karena memang sejak 1890, dan mengganti namanya menjadi Samin, yang dianggapnya lebih merakyat. Dia mulai menyiarkan ajarannya di Desa Klopodhuwur. Banyak orang dari desa tersebut terpengaruh, lalu menyebar ke desa sebelahnya, Tapelan dan akhirnya nyaris seluruh Blora, hingga Pati, dan Purwodadi.

Berdasar Laporan Residen Rembang Januari 1903, terdapat sekitar 772 pengikut Samin di 34 desa daerah Kabupaten Blora. Awalnya pemerintah kolonial tak ambil pusing terhadap "tarekat Jawa" ini. Barulah di tahun 1905, komunitas ini mulai dianggap bermasalah ketika para pengikut Samin itu tak sudi lagi bayar pajak. Padahal jumlah pengikutnya pun terus bertambah, tahun 1907 mencapai 5.000 orang.

Di tahun yang sama di bulan Maret 1907, muncul rumor adanya pemberontakan. Menunjukkn bahwa penggunaan isu dan kabar bohong itu, bukan hal baru untuk menghancurkan musuh. Para pengikut Samin yang hadir dalam acara syukuran di desa Kedhung Tuban ditangkapi. Hingga 8 November 1907, para pengikut Samin makin menggila. Mereka mengangkat Samin sebagai Ratu Adil dengan gelar Prabu Pangeran Suryangalam.

Akibatnya Samin ditangkap, lalu disekap secara hina di bekas tobong pembakaran batu gamping. Untuk kemudian dibuang ke Sumatera Barat, tanpa pernah melalui proses pengadilan. Ia dianggap "berbahaya", justru karena ia sama sekali tidak berbahaya. Apa bahayanya jika perlawanan dilakukan hanya dengan berbahasa ngoko, suka ndablek, ngeyel dan bersilat lidah. Apa yang disebut prasaja ning ngeyelan.

Logika dan gaya nyamin seperti inilah, yang saya pikir saat ini justru digunakan esktrem kanan, sehingga pemerintah Jokowi harus mengganti istilah kaum radikalis Islam sebagai manipulator agama! Tak sampai di situ, ia justru menyalahkan Jokowi dengan menganggap penyebab radikalisme adalah kesenjangan ekonomi yang ekstrem! Alasan basi yang tak lekang oleh waktu, menunjukkan bahwa mereka di samping tidak cerdas juga munafik.

Dalam konteks inilah, semestinya yang sudah pada di ubun-ubun membenci Gabener itu bisa juga mestinya lebih cerdas dalam cara bereaksinya. Bukan malah nyaris setiap hari, mensikapinya dengan menebar sumpah serapah dan caci maki. Bagi saya itu tak lebih kekerasan yang dilawan dengan kekerasan. Lalu apa bedanya di sini dan di sana?

Dalam konteks inilah, relevansi Mbah Samin di hari ini. Walaupun bermuka dan bernama Arab, sulit dipungkiri AB adalah orang yang dibesarkan dan hidup dalam kultur Jawa dengan gaya Mataraman. Mataraman Jogja yang kadang kala saya cela (juga) penuh kemunafikan. Gaya priyayi brengsek dan feodalis yang dilawan Samin, seratusan tahun yang lalu. Saking frustasi-nya para pembenci AB, mereka sudah membikin ilusi dan halusinasi: jangan-jangan dia bakal menjadi Presiden beneran tahun 2024 kelak.

Saya yakin, watak AB adalah batu besar, dan ketika batu-batu kecil yang lainnya membenturkannya. Ia bukan saja tak bergeming, namun batu-batu kecil ini akan ambyar duluan. Cara melawan AB hari ini boro-boro akan menjatuhkannya, tapi justru akan makin membesarkannya. Ia akan tetap santun dalam kemunafikannya, ia akan tetap sentosa dengan segala ke-playing victim-annya. Ia justru akan menggelembungkan fans club-nya, dengan simpati baru orang yang dikecewakan oleh petahana yang dianggapnya tidak mengakomodasi hasrat diri dan kata hati-nya.

Karena itu saya lebih percaya pada perjuangan tanpa kekerasan. Apa yang dalam istilah Gandhi disebut ahimsa, apa yang dipuitikkan Sosrokartono sebagai "nglurug tanpa bala". Apa yang disimbolkan oleh Rendra, sebagai kibarkan tali kutangmu sebagai tiang bendera. Dan apa yang dicontohkan Mbah Samin, perlawanan dengan sikap ngeyel, ndableg, dan nggriseni. Membuat musuh gelisah, resah, dan gundah dan pada akhirnya saling menikam sendiri. Tentu ada 1001 cara. yang tanpa harus menjadikannya Joker atau Wan Abud!

Apa yang Sedulur Sikep warisi dari Mbah Samin sebagai aja drengki (menjauhkan diri dari tindak tanduk yang jahil), ora srei (suka menjegal), apalagi dahwen (suka mencela). Biarkan saja ia melakukan kesalahan sendiri, dan tanpa sadar akan "dengan demikian saja" menggali kuburnya sendiri.

Bila tanpa kekerasan: saya haqul yakin, AB itu tak lama lagi. Namun juga harus diingat, (sial) hal sama juga berlaku sebaliknya...

#duduwongjakardah

***