Siauw Giok Tjhan, Tak Henti Melawan Diskriminasi hingga Akhir Hayat

Minggu, 19 Januari 2020 | 08:12 WIB
0
271
Siauw Giok Tjhan, Tak Henti Melawan Diskriminasi hingga Akhir Hayat
Siauw Giok Tjhan, Tak Henti Melawan Diskriminasi hingga Akhir Hayat

Kawasan Kapasan di Surabaya bukan hanya tenar soal Kampung Kungfu-nya. Pamor pecinan ini, juga ramai diperbincangkan karena memiliki sosok-sosok hebat berjuluk 'buaya kapasan'.

Salah satu sosok 'buaya kapasan' itu adalah Siauw Giok Tjhan. Pria keturunan Tionghoa itu, lahir di Kapasan, Jawa Timur, 23 Maret 1914.

Anak dari pasangan Siauw Gwan Sie dan Kwan Tjian Nin, menghabiskan masa kanak-kanaknya di sekolah yang jaraknya sekitar 500 meter dari kediamannya. Berkat keahlian kungfu dari sang kakek, Siauw tak segan berkelahi dengan anak Belanda ataupun warga lokal yang menghinanya.

Perlawanan itu dilakukannya demi mengedepankan keadilan, apalagi dirinya hidup dalam lingkungan yang keras. Disamping itu, Siauw tercatat sempat menimba pendidikan di Holder Burger School (HBS) di Surabaya.

Dan di usia ke-18, Siauw menjadi anggota Partai Tionghoa Indonesia (PTI). PTI merupakan partai politik besutan Liem Keen Hien pada 25 September 1932 di Surabaya.

Keikutsertaannya dalam partai karena melihat kondisi sulit dan diskriminasi terus-menerus yang dialami kalangan Tionghoa. Contoh kasusnya adalah peraturan dalam sistem surat jalan atau wijkenstelsel dan passenstelsel.

Isinya adalah warga Tionghoa tidak diizinkan tinggal di pusat kota, kecuali ada surat jalan. Mereka juga sering kali diadili atas perkara kecil dan tanpa bukti kuat.

Ada pula soal pemberlakuan Politik Etis di tahun 1901. Hal itu menyebabkan kondisi ekonomi warga Tionghoa mesti mengandalkan pembungaan uang karena Belanda membuat banyak bank desa.

Keberanian Siauw menyuarakan hak-hak etnis Tionghoa disalurkan lewat karya tulisnya. Sehingga di tahun 1933, ia dipekerjakan sebagai asisten The Boen Ling, pemimpin surat kabar harian Sin Tit Po di Surabaya.

Lalu pada 1934 Siauw pindah dan menjadi staf di harian Matahari. Di situ Siauw membangun kedekatan dengan para pejuang kemerdekaan.

Mulai dari Iwa Kusumasumantri, Tjipto Mangunkusumo hingga Mohammad Hatta dan Soekarno. Siauw pun kerap berkorespondensi ketika mereka diasingkan ke Pulau Ende, Banda, dan Banda Neira.

Siauw pernah menjabat sebagai Pemimpin Redaksi di Matahari pada 1941. Sayang pada tahun 1942 mesti ditutup Jepang karena dipandang bersuara lantang soal imperialisme.

Lepas itu, ia mengganggur dan membuka toko sembako bernama 'Tjwan An'. Namun buaya kapasan ini, gerah dan ingin bersuara kembali, Siauw lantas menyerahkan pengelolaan toko ke keluarganya.

Dan Siauw pun kembali aktif berorganisasi. Ia menjadi Angkatan Muda Tionghoa (AMT) dan Palang Biru yang keberadaannya dijamin sekaligus diawasi oleh Jepang.

Tentu membuat Siauw dianggap melemah dan berkawan dengan Jepang. Padahal langkah tadi merupakan taktik demi meraup informasi soal Jepang sebanyak-banyaknya.

Pada 1945, ia masuk ke Partai Sosialis Indonesia dan menjadi Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Selama berkecimpung di situ, ia dilirik oleh Soekarno dan Sutan Sjahrir.

Dan di tahun 1947, Siauw diangkat sebagai Menteri Urusan Minoritas dalam Kabinet Syarifuddin. Bisa dibilang Siauw adalah sosok menteri yang sederhana.

Kesederhanaan Siauw yang kentara adalah saat pindahnya ibu kota dari Jakarta ke Yogyakarta pada 2 Januari 1946. Ketika itu, tak ada satu pun rumah bagi para menteri yang berdomisili diluar Yogyakarta.

Sehingga mereka diberi tempat tinggal di Hotel Merdeka. Alih-alih menerimanya, Siauw malah memilih tinggal di Gedung Kementerian Negara di Jalan Djetis.

Katanya demi menghemat keuangan negara. Kisah lainnya adalah saat Siauw tidak langsung mendapat mobil dinas.

Ia malah naik andong dari Gedung Kementerian Negara menuju Istana Yogyakarta. Lantaran andong tak boleh memasuki istana, ia melanjutkannya dengan jalan kaki.

Tahun 1951, Siauw menerbitkan Soeara Rakjat yang kemudian berganti nama jadi Harian Rakjat. Akan tetapi surat kabar itu, dijual dua tahun setelahnya karena dianggap dekat dengan komunis.

Perkara itu pula yang membuatnya ditahan ketika era Kabinet Sukiman. Ia dianggap kiri, namun perjuangannya tak berhenti disitu.

Lalu pada 1954, Siauw mendirikan sekaligus mengetuai Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki). Organisasi tersebut turut dalam Pemilu 1955 untuk memilih anggota DPR dan Konstituante.

Baperki memperoleh 178.887 suara untuk DPR dan 160.456 untuk konstituante, Dengan begitu Baperki berhasil memperoleh satu kursi di DPR dan Siauw pun bisa duduk di parlemen.

Selama menjabat, ia dikenal sebagai tokoh Tionghoa yang kerap memperjuangkan persamaan hak bagi warga negara dan antidiskriminasi. Lewat Baperki, Siauw membantu aspek pendidikan yakni dengan pembangunan sekolah pada 1961.

Sayangnya di tahun 1965, sentimen terhadap etnis Tiongkok kembali merebak. Akibatnya Siauw ditahan selama 12 tahun pada 4 November 1968.

Alasannya lagi-lagi karena Siauw dianggap dekat dengan komunis. Pada 1978, ia dibantu Adam Malik lepas dari jeruji penjara karena tengah menderita sakit jantung akut.

Ia dibebaskan dan diizinkan berobat ke Belanda. Meski masih dalam tahap pemulihan, terkadang Siauw masih mengikuti pertemuan dengan warga Indonesia disana.

Dan pada 20 November 1981, Siauw pun menghembuskan nafas terakhir karena penyakit jantungnya. Peristiwa itu terjadi tepat sebelum jadwal Siauw berpidato di depan ahli-ahli berbagai disiplin ilmu dari Indonesia di Leiden.

Oleh : Sony Kusumo