Jika Pemuka Agama Melecehkan Agama Lain

Namun tetap saja kita memberi nilai lebih kepada pemuka agama, yang disamping militan menyampaikan ajaran agamanya, namun juga peduli kepada kerukunan bangsa.

Selasa, 27 Agustus 2019 | 21:48 WIB
0
828
Jika Pemuka Agama Melecehkan Agama Lain
Ilustrasi keyakinan (Foto: islam.nu.or.id)

Saya membaca kembali salah satu dokumen sejarah paling tua soal toleransi. Tak nanggung, ini dokumen sejarah tahun 612 yang dibuat langsung oleh Nabi Muhammad. Dalam dokumen itu, nampak cap tangan yang disebut cap tangan Nabi Muhammad sendiri.

Dokumen ini disebut sebagai Astiname of Muhammad. Juga disebut the Oath of Prophet Muhammad to the Followers of Nazarenes. Terjemahan dokumen itu kedalam bahasa Inggris sudah dilakukan oleh Anton F Haddad di tahun 1902.

Isinya sungguh sangatlah modern dan maju, bahkan diukur dari nilai peradaban masa kini.

Surat itu ditujukan kepada semua penganut Islam oleh Nabi Muhammad sendiri. Surat itu diperuntukkan untuk melindungi agama Kristen. Antara lain bunyi dokumen itu;

“Surat ini dikeluarkan oleh Mohammed, Ibnu Abdullah

Surat ini ditujukan kepada para penganut Islam, sebagai perjanjian yang diberikan kepada para pengikut Yesus orang Nazaret di Timur dan Barat, yang jauh dan dekat, orang Arab dan orang asing, yang dikenal dan tidak dikenal.

Kapan saja para bhikkhu, bhakta, dan peziarah berkumpul, baik di gunung atau lembah, atau di dataran, atau di gereja, atau di rumah-rumah ibadah, sesungguhnya kita di belakang mereka. Kita akan melindungi mereka , dan properti serta moral mereka.

Saya akan membebaskan mereka dari apa yang dapat mengganggu mereka;

Mereka tidak boleh tersinggung, atau terganggu, atau dipaksa. Hakim-hakim mereka tidak boleh diubah atau dicegah untuk mencapai jabatan mereka, atau para bhikkhu tidak diganggu dalam menjalankan perintah agama mereka.

Tidak seorang pun diizinkan menjarah orang-orang Kristen ini, atau menghancurkan atau merusak gereja mereka, atau rumah ibadah, atau mengambil barang-barang yang ada di dalam rumah-rumah ini dan membawanya ke rumah-rumah Islam.

Pada musim panen, mereka dapat diberi bagian sebagai bekal untuk mereka. Tidak ada yang berhak mengatakan kepada mereka 'ini terlalu banyak', atau minta mereka membayar pajak apa pun.

Jika ada wanita Kristen yang menikah dengan seorang Muslim, pernikahan seperti itu tidak boleh terjadi kecuali ia sendiri menyetujuinya.

Tapi wanita itu tidak boleh dicegah untuk pergi ke gerejanya untuk berdoa. Gereja-gereja mereka harus dihormati.

Mereka tidak boleh dipaksa untuk membawa senjata atau batu. Kaum Muslim harus melindungi mereka dan membela mereka terhadap orang lain.

Sangatlah penting bagi setiap pengikut Islam untuk menaati sumpah ini hingga Hari Kebangkitan dan akhir dunia.”

Wow! Luar biasa! Berkali-kali saya terkagum membaca pernyataan Nabi Muhammad dalam dokumen itu. Pernyataan itu hanya mungkin lahir dari manusia yang sudah mencapai perjalanan spiritual yang teramat tinggi.

Soal toleransi bahkan lebih jauh lagi tersimpan pula dalam Al-Quran. Surat Al-An’nam ayat 108 berbunyi:

“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.

Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka.

Kepada Tuhan mereka kembali. Lalu Tuhan memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.”

Dengan bersandar pada dokumen yang dibuat Nabi Muhammad, ditambah pula dengan surat Al-An’nam ayat 108, dapatlah kita berkata:

“Jika ada ulama Islam, pemuka Islam, melecehkan agama atau simbol agama lain, ia sesungguhnya tengah melecehkan dirinya sendiri. Ia tengah menunjukkan pada dunia, terlepas dari pengetahuan teknisnya soal agama, ia tidak mewarisi semangat toleransi yang diajarkan Nabi Muhammad. Bahkan ia tidak menjalankan larangan Quran untuk tidak memaki sesembahan agama lain.”

Bukankah ajaran agama dapat disampaikan dengan santun, tanpa harus perlu menghina atau melecehkan agama ataupun simbol agama lain?”

Peradaban sudah sampai di sini. Hal di bawah ini sudah pula kita ketahui.

Kita pernah terlibat dalam konflik agama maha dahsyat. Perang salib antara agama Islam dan Kristen berlangsung lebih dari 200 tahun dari tahun 1095 - 1303. Lebih dari 500 ribu manusia mati termasuk anak- anak.

Bahkan perang antara madzab di dalam satu agama itu sendiri tak kalah berdarah. Perang antara Katolik versus Protestan di Eropa, 1618-1648, selama 30 tahun. Korban berjatuhan sebanyak 800 ribu manusia.

Juga perang antara penganut Islam sendiri: antara Sunni versus Syiah, di Lebanon, 1975-1990. Perang sipil berlangsung 15 tahun. Korban manusia termasuk anak anak sejumlah 150 ribu.

Siapa yang bersedia kembali ke era itu? Lahirlah kemudian aneka kebijakan hak asasi manusia, yang melindungi kebebasan beragama. Dihidupkan pula kultur toleransi untuk hidup menerima perbedaan dalam harmoni, dan saling menghormati.

Kita pun sudah tahu bahwa beragama bukan soal benar dan salah. Itu semata soal keyakinan yang dibolehkan sejauh tidak melaksanakan tindakan kriminal semata.

Jika soal benar dan salah yang ditekankan, dua agama paling besar itu: Kristen dan Islam akan terus beperang.

Apa mau dikata? Injil menyatakan yang disalib itu Yesus (Nabi Isa). Quran menyatakan yang disalib itu bukan Nabi Isa. Dua kitab suci yang diyakini pemeluknya berbeda soal data sejarah.

Tentu saja mustahil dua duanya benar. Pasti salah satu salah. Tapi itulah fakta. Data sejarah yang salah sekalipun dapat diyakini oleh milyaran manusia, selama lebih dari seribu tahun. Itulah yang kita lihat dalam sejarah.

Tahukah kita? Di dunia saat ini ada 4200 agama. Pastilah tak semua benar jika data sejarah yang dijadikan basis untuk menilai aneka kisa keyakinannya.

Toleransi justru berangkat dari pemahaman itu. Manusia dibolehkan meyakini apapun yang sebenarnya salah berdasarkan data sejarah. Itu sudah menjadi bagian dari hak asasi.

Tentu apa yang benar dapat disampaikan. Namun penyampaian harus dalam lingkup yang tidak melecehkan.

Kitapun sudah sampai pada era datangnya negara nasional. Negara modern mengubah konsep umat menjadi warga negara. Tak bisa tidak, setiap warga negara harus diperlakukan sama, apapun agamanya. Soal agama itu harus menjadi wilayah kebebasan warga itu sendiri.

Bahkan hak asasi manusia sendiri melindungi warga untuk tidak beragama. Konstitusi kita juga melindungi aliran kepercayaan.

Di dunia saat ini, sebanyak 16.3 persen populasi dunia menyatakan diri tak berafiliasi dengan agama manapun. Jumlah mereka bahkan lebih besar dibandingkan penganut agama Hindu (15 persen) dan agama Budha (7.1 persen). Keyakinan tak bisa dipaksa.

Jika ingin hidup harmoni dalam negara yang plural, toleransi dan saling menghormati keyakinan agama menjadi satu-satunya pilihan, selucu apapun keyakinan itu.

Setiap individu terus berevolusi. Selalu mungkin ia berpindah keyakinan. Baik berpindah dari beragama menjadi tidak beragama. Atau dari tidak beragama menjadi beragama. Atau dari satu agama memeluk agama lain.

Apalagi di zaman internet seperti sekarang. Siapa yang bisa menahan aneka informasi yang masuk dalam internet?

Segala hal sudah ada di sana. Tersaji dakwah aneka agama, mulai dari yang vulgar hingga yang teduh. Tersaji pula riset arkeologi yang menunjukkan kisah sebagian Nabi itu (tak semua) ternyata hanyalah mitologi belaka.

Seperti bunyi iklan. “Semua ada. Selanjutnya, terserah anda.”

Namun tetap saja kita memberi nilai lebih kepada pemuka agama, yang disamping militan menyampaikan ajaran agamanya, namun juga peduli kepada kerukunan bangsa.

Agustus 2019

***

Denny JA