“Warganet yang termasuk kategori generasi milenial dengan tingginya tingkat terkoneksi internet serta kekritisannya, mempunyai potensi untuk menangkal misinformasi, disinformasi dan juga menyatukan serta memajukan Indonesia.”
Ada beberapa dampak dari hoaks atau kabar bohong yang beredar di media sosial, seperti memicu perpecahan, membangun ketakutan, menurunkan reputasi dan membuat fakta menjadi sulit dipercaya.
Diketahui Sebelum dan setelah pencoblosan di Pemilihan Umum (Pemilu) 2019, sangat banyak hoaks tersebar di media sosial yang menyerang penyelenggara, peserta, pihak keamanan dan pengawas Pemilu.
Hoaks dapat dikatakan mereda ketika Mahkamah Kontitusi (MK) memutuskan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) yang diajukan pasangan Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) Prabowo Subianto – Sandiaga Uno dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) memutuskan bahwa pasangan Joko Widodo (Jokowi) – Ma’ruf Amin ditetapkan sebagai pemenang pada Pemilihan Presiden (Pilpres).
Data dari Komunitas Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO) pada tahun 2018 mengatakan terdapat 997 hoaks dengan konten yang paling tinggi adalah politik, sebanyak 488 hoaks atau 49% dan disusul dengan konten agama sebanyak 12%.
Untuk tahun 2019, data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), sampai dengan bulan pencoblosan, jumlah hoaksnya adalah Januari 175 hoaks, kemudian meningkat pada Februari dengan 353 hoaks dan meningkat lagi menjadi 453 hoaks di bulan Maret dan mencapai puncak di bulan April dengan 486 hoaks. Setelah bulan April jumlah hoaks pun menurun menjadi 402 hoaks di bulan Mei dan 330 hoaks di bulan Juni.
Dari jumlah dan konten hoaks di atas, menjadi catatan penting adalah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia memaparkan hasil risetnya pada tahun 2018, bahwa ada beberapa daerah yang rentan terpapar hoaks yakni Aceh, Jawa Barat dan Banten.
Ditambah lagi Kominfo menyatakan bahwa penyebar hoaks adalah golongan tua dan diperlengkap dengan hasil survei Indikator Politik yang mengatakan bahwa bukan media atau informasi yang menentukan preferensi politik tetapi preferensi politik yang menentukan informasi atau kabar yang mau diterima oleh para pendukung calon di Pilpres.
Warganet Milenial
Melihat kasus sebaran hoaks pada Pemilu 2019 di atas, melalui posisi dan kompetensinya milenial dapat dikatakan mempunyai peluang untuk memerangi hoaks.
Seperti data dari Forum Sahabat Keluarga Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui hasil surveinya yang bertajuk “Indonesia Millenial Report 2019” mengatakan 94,4% milenial Indonesia telah terkoneksi dengan internet. Berdasarkan Survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS) tahun 2017 yang bertajuk “Ada Apa dengan Milenial?
Orientasi, Sosial, Ekonomi dan Politik” juga menyatakan milenial sangat akrab dengan media sosial dengan tingkatan yang paling tinggi ke terendah adalah Facebook, WA, BBM, Instagram dan Twitter.
Namun permasalahannya, masih dari survei CSIS adalah milenial di media sosial tidak tertarik dengan konten – konten yang rentan hoaks, yakni politik dan suku, agama, ras serta antar golongan (SARA). Milenial lebih tertarik kepada konten olahraga, musik dan film.
Dengan keterbatasan ketertarikan milenial terhadap konten hoaks yang berbau politik dan SARA ini, menjadi pekerjaan rumah bagi pihak pemerintah maupun non pemerintah untuk membangun ketertarikan milenial terhadap konten – konten yang banyak terpapar hoaks tersebut.
Selain cara langsung ini, dapat juga melalui pemberian materi teknik periksa fakta dan penulisan jurnalistik yang tengah dilakukan oleh beberapa lembaga, seperti Mafindo dan Asosiasi Jurnalis Independen (AJI) kepada milenial.
Pelatihan ini menjadi penting mengingat hasil survei IDN Research Institute bekerjasama dengan Alvara Research Center pada 2018 menilai milenial mulai bijaksana dalam menggunakan media sosial, terutama dalam menghadapi informasi hoaks, yakni tidak mudah berbagi informasi sebelum mengecek kebenarannya.
Dalam memeriksa kebenaran ini, yang juga menjadi catatan adalah data dari riset Daily Social bersama Jakpat Mobile Survey Platform kepada 2032 pengguna smartphone pada 2018, ditemukan bahwa 44,19% menyatakan tidak yakin memiliki kepiawaian dalam mendeteksi berita hoaks dan 51,03% responden memilih untuk berdiam ketika menemui hoaks.
Berbicara kemampuan mendeteksi hoaks, mungkin banyak diantara milenial sendiri atau generasi sebelum dan sesudahnya masih sumir mendifinisikan hoaks. Jika dilihat secara umum, baik di media sosial maupun media daring, banyak yang mengatakan informasi tidak benar atau tidak sesuai dengan fakta, langsung dihakimi sebagai hoaks. Padahal First Draft yang merupakan lembaga yang fokus mengatasi masalah kepercayaan dan kebenaran pada media di era digital membagi kekeliruan informasi kedalam, misinformasi dan disinformasi.
Tujuh kategori yang termasuk kedalam misinformasi atau disinformasi menurut First Drfat adalah pertama satire atau parody, kedua, misleading content, ketiga, imposter content, keempat, fabricated content atau hoax, kelima, false connection, keenam, false context dan ketujuh, manipulated content.
Jika pemahaman terhadap kategori disinformasi atau misinformasi dibiarkan keliru, sangat besar kemungkinan dalam memeriksa kebenaran dari suatu kabarpun akan rentan dengan kekeliruan.
Dengan begitu kelompok milenial melalui keaktifan dan kekritisannya di media sosial, mesti didukung kreatifitasnya dalam membuat berbagai konten yang sesuai dengan nilai-nilai kehidupan berbangsa dan bernegara, juga kaidah jurnalistik dan kemampuannya dalam mengidentifikasi disinformasi atau misinformasi. Dari sini, niscaya milenial dapat menjadi warganet yang mendorong ekosistem media sosial di Indonesia yang lebih memajukan dan menyatukan lagi.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews