Mengapa Imbauan Hotman Paris Hutapea Tak Disambut Keluarga Korban Lion Air?

Selasa, 6 November 2018 | 20:29 WIB
0
1075
Mengapa Imbauan Hotman Paris Hutapea Tak Disambut Keluarga Korban Lion Air?
Hotman Paris Hutapea (Foto: Harian Pijar)

Hotman Paris Hutapea sudah berulang kali mengirim sinyal pada ahli waris korban jatuhnya pesawat Lion Air soal ganti rugi sebesar-besarnya yang berhak mereka terima di luar jumlah pertanggungan atau klaim yang sudah diatur dalam undang-undang. Tapi hingga saat ini para ahli waris belum merespon tawaran lawyer flamboyan ini. Hotman bahkan meminta para ambulance chaser turun tangan membantu ahli waris korban.

Saya ikut sangsi para ahli waris akan memilih jalur hukum untuk menuntut ganti rugi sebagaimana disarankan Hotman. Ada problem cukup serius dalam kesadaran sebahagian besar masyarakat Indonesia yang berbeda dengan masyarakat Amerika jika menyangkut kecelakaan yang berujung kematian.

Bagi masyarakat Indonesia yang dominan muslim penganut Mazhab Asy'ariyah meyakini bahwa ajal seseorang sudah ditentukan bahkan sebelum yang bersangkutan lahir. Kapan, di mana dan cara bagaimana seseorang menemui ajal sudah ditentukan dan manusia hanya pasrah menerima jalannya takdir.

Ada banyak kisah dalam sejarah islam yang diwariskan turun-temurun dalam masyarakat terkait takdir ini. Salah satu yang cukup terkenal bisa dibaca dalam kitab al-Majallis as-Saniyyah karya Syekh Ahmad bin Syekh Hijazi Al Fusyni mengenai kisah seorang laki-laki yang berusaha menghindar dari kematian.

Teologi jenis ini nyaris tidak memberi ruang protes terhadap peristiwa kematian akibat kecelakaan. Penggunaan istilah santunan atau uang duka dan bukan ganti rugi terhadap bantuan yang diterima ahli waris korban akibat kecelakaan bisa dijelaskan dalam perspektif ini.

Adalah aib dan dianggap hanya akan mempersulit perjalanan almarhum menghadap Tuhan jika melakukan tawar menawar santunan apa lagi memperkarakannya karena menuntut ganti rugi yang lebih besar lewat pengadilan.

Sikap pasrah ini yang telah melahirkan sinisme terhadap ajaran islam karena dianggap menginspirasi lahirnya penganut yang bermental nrimo. Max Weber bahkan memasukkan islam dalam kategori agama yang lebih berorientasi ke kehidupan 'dunia sana' dan cenderung mengabaikan kemajuan saat sekarang.

Sosiolog Jerman ini memasukkan islam dalam kategori 'other worldly ascetism' bersama agama-agama timur lain seperti konfusionisme, tao, hindu dan budha. Bagi Weber, islam tidak memiliki potensi menjadi kapitalis, berbeda dengan Sekte Calvinisme dalam Protestan yang mengajarkan sikap hidup disiplin, hemat, tekun mengejar keuntungan serta sarat dengan kalkulasi rasional. Weber tentu saja panen kritik karena memahami islam hanya dalam satu aspek, asketisme.

Seakan membangun pijakan bagi para pemikir seperti Weber, jauh sebelumnya Imam Al--Ghazali, terutama dalam Tahafut Al-Falasifah dituding sebagai arsitek kemunduran peradaban islam yang pada masanya memicu debat panas dengan intelegensia muslim Ibnu Rusyd. Dengan ditutupnya pintu filsafat melalui Tahafut Al-Falasifah para pengeritik menuding Al-Ghazali telah membunyikan lonceng kematian peradaban islam.

Hingga saat ini sebagian cendekiawan muslim masih beranggapan ketertinggalan peradaban islam dari barat tidak bisa dilepaskan dari pengaruh salah satu karya monumental cendekiawan muslim yang memilih jalan asketis di akhir hayatnya ini.

Tawaran mendampingi ahli waris untuk memperoleh ganti rugi lebih besar dari Hotman menjadi semacam test case untuk mengetahui seberapa jauh keyakinan keagamaan yang telah menguning di kepala bisa bergeser karena pertimbangan kesejahtraan, mari kita tunggu.

***