Kampus Merdeka Adalah Caraku dalam Melihat Indonesia

Sejarah tidak hanya sebatas masa lalu, jika kita memang melihatnya berharga bagi kita, maka sejarah adalah kita, setiap aktivitas manusia dan pekerjaannya adalah sejarah.

Sabtu, 2 April 2022 | 08:57 WIB
0
131
Kampus Merdeka Adalah Caraku dalam Melihat Indonesia
Merdeka Belajar, Sebuah Upaya Liberalisasi Pendidikan

Revolusi terdalam dalam kehidupan saya, terjadi ketika saya mulai berkuliah. Saya sendiri tidak pernah menyangka kepada diri saya yang sebenarnya tidak tergolong dari rumpun keluarga kelas atas, ataupun layak untuk diberikan bantuan pendidikan setinggi-tingginya, maklum saya sendiri mengkategorikan diri dan keluarga saya kedalam kelompok “Middle Class”.

Bahkan tidak pernah terpikirkan sebelumnya, mengapa banyak teman-teman saya yang duduk di bangku SMA mati-matian belajar dari matahari membuka mata hingga bulan menyapa, sedangkan saya yang alumni SMK, tidak mempunyai pijakan lain selain mulai menulis surat lamaran kerja.

Tekad pesimistik ini akhirnya dikalahkan oleh ayah saya yang menginjak pendidikan hingga bangku S1 jurusan ekonomi di sebuah universitas swasta di Jakarta. Awalnya saya berpikir menjadi seorang sarjana itu mungkin keren….sesuatu yang tidak pernah terbayangkan, dan pasti ada kebanggan tersendiri secara pribadi dan juga orang yang telah mendukung individu tersebut sampai selesai menempuh tugas akhir.

Petualangan untuk menemukan kampus terbaik akhirnya saya percayakan kepada guru matematika saya yang pernah menempuh pendidikan di Jogja. Sembari menanyakan prosedur serta pemberkasan yang perlu dipersiapkan, saya juga mencari-cari kebermanfaatan serta hal apa yang dapat saya temukan di bangku kuliah. Terkadang saya terkejut baru mengetahui bahwa Jogja menjadi salah satu kota impian bagi calon mahasiswa, tidak heran jika disebut sebagai “Kota Pelajar”.

Obsesi mahasiswa salama saya belajar untuk SBMPTN dan persiapan SNMPTN, cenderung membuka pandangan saya terhadap dunia perkuliahan dan ruang lingkup yang lebih luas. Ada banyak niat dan hal tidak terduga yang sesungguhnya cenderung aneh bagi saya yang baru memikirkan untuk berkuliah dengan persiapan receh.

Istilah “Jakun” atau Jaket Kuning, khas ditonjolkan bagi mereka yang mengenyam pendidikan di Universitas Indonesia, atau mahasiswa ITB dengan predikat ‘ambis’ dan ‘individualis’. Proses bagaimana stigma ini terbentuk dan menjadi buah bibir di jagat diskusi dunia perkuliahan bagi saya masih akan terus berkembang menjadi berbagai wacana di kalangan calon mahasiswa ataupun calon mahasiswa itu sendiri.

Ekspetasi saya tidak terlalu tinggi dalam berkuliah, saya sendiri menyadari bahwa individu seperti saya bahkan untuk menaruh impian saya diterima sebagai mahasiswa di Universitas terbaik se-Indonesia, rasanya cukup mustahil, semustahil memahami seluruh pemikiran filsuf di dunia ini.

Walaupun akhirnya diterima melalui jalur undangan (SNMPTN) di jurusan Pendidikan Sejarah di PTN di provinsi Banten, saya masih memiliki segudang pertayaan apakah jurusan yang saya ambil akan membuat saya kaya-raya seperti mereka yang mengambil jurusan teknik ataupun kedokteran.

Pikiran naif yang saya produksi sendiri, akhirnya saya patahkan ketika melihat realita kehidupan guru di Indonesia yang masih banyak ditemukannya berbagai problematika dengan penyelesaian yang justru tidak membuat banyak orang tertarik terjun kedalam profesi ini. Saya sendiri setelah berkuliah beberapa semester, mulai merevisi pandangan saya bahwa Guru, Dokter, Tentara, ataupun jenis aparatur sipil lainnya bukanlah sebuah ‘profesi’ yang sebagaimana kita sering bayangkan.

Saya lebih senang mengkategorikannya sebagai sebuah bentuk “pengabdian”, karena profesi-profesi diatas, menyentuh langsung masyarakat maupun individu yang membutuhkan sesuatu manfaat darinya dan dapat berjangka panjang bagi perubahan kehidupan sosialnya.

Hanya saja perlu digaris-bawahi meskipun saya menganggapnya demikian, kesejahterahan personal, sosial, dan lainnya oleh individu yang yang memegang profesi tersebut juga menjadi hal utama untuk memberikan pelayanannya yang terbaik, di luar dari menyiapkan regulasi perundangan-undangan hingga peraturan yang mengakomodir kebutuhan dengan asas ber-keadilan.

Dan dalam konteks kampus merdeka, perspektif saya sebagai mahasiswa terbuka lebar untuk melihat perubahan yang begitu progresif terutama dalam aspek pendidikan tinggi di Indonesia, saya tidak perlu khawatir bahwa saya tidak selamanya pasti akan menjadi seorang tenaga pendidik, kesempatan dan sarana disediakan, dan saya hanya perlu menyiapkan otak dan badan saya untuk menerima setiap seleksi agar menjadi mahasiswa yang turut mengaplikasikan Kampus Merdeka dan menunjukkan apa yang menjadi alasan Nadiem Makarim, sebagai mentri Pendidikan yang begitu “nyentrik” dan “milenial”, mampu mencanangkan program yang akan merubah citra dan proses perjalanan mahasiswa Indonesia selama-lamanya.

Sebelumnya saya telah diterima di program pertukaran mahasiswa merdeka (PMM-DN), di Universitas Negeri Gorontalo, saya sendiri tidak terlalu khawatir untuk merantau selama beberapa bulan di daearah orang, namun yang menjadi perdebatan panjang orangtua saya adalah mengenai pembiayaan dan alokasi bantuan untuk setiap mahasiswa ketika mereka telah sampai di tempat tujuan.

Pengalaman ini tidak ditujukan untuk hal-hal berbau politik ataupun bersifat pro terhadap segala kebijakan pemerintah, ini hanyalah refleksi singkat saya sebagai seorang individu yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya untuk mengenyam bangku kuliah, dan sekarang ingin merubah negeri tercintanya.

Salah satu dosen di jurusan saya benar, bahwa idealisme mahasiswa muda memang sangat segar, dan saya harap idealisme itu akan terus ada meskipun usia saya terus menua.

Dengan kaki, tangan, mata dan telinga, saya merasakan secara langsung bagaimana berkawan dan berinteraksi dengan mahasiswa dari berbagai universitas di Indonesia, tidak perduli latar belakang mereka, saya hanya melihat mereka sebagai manusia. Saya menjunjung tinggi humanitas di atas segalanya, cinta-kasih diatas prasangka, barulah dengan begitu kita akan mudah memahami sesuatu hal yang tidak kita mengerti, sebagaimana ungkapan John Lennon “Don’t Hate What You Don’t Understand”.

Melalui perspektif dan pikiran yang lebih terbuka, dan menyadari multikulturalitas yang nyata hadir di tengah-tengah kita, dan akan terus ada sebagia bagian dari sejarah dan peradaban Indonesia, kita belajar bagaimana masa lalu telah mengajarkan kita untuk bersatu tanpa memperdulikan asal, agama, ataupun bahasa.

Dan sekarang Bapak Nadiem mencoba untuk mewujudkan keberagaman ini melalui program yang penuh dengan keterbukaan bagi setiap mahasiswa dan dosen yang berkeinginan untuk mencobanya dan ingin melihat Indonesia dalam perspektif yang lebih luas lagi, Indonesia yang tidak sekedar kepulauan namun Indonesia yang benar-benar akan kita siapkan untuk generasi yang akan datang.

Dengan begitu maka kita telah benar merawat dan menghargai sejarah bangsa kita. Telah diingatkan kepada kita oleh bapak filsafat kritis G.W.F Hegel bahwa “We Learn from History, that We do not Learn from History”. Sejarah tidak hanya sebatas masa lalu, jika kita memang melihatnya berharga bagi kita, maka sejarah adalah kita, setiap aktivitas manusia dan pekerjaannya adalah sejarah dan menjadi kesadaran manusia yang aktif untuk terus menjaganya, agar tidak hanya sekedar menjadi pajangan di museum, namun menjadi nilai yang terus dipertahanakan dan dilestarikan, sebagai bukti kebebasan, pluralitas sebagaimanaya yang ingin diperlihatkan oleh Kampus Merdeka kepada setiap mahasiswa di Indonesia.

***