Berbohong sebagai Tradisi Baik Keluarga

Sebuah tradisi baik sebagai penuntun dan pemomong yang bisa kita harapkan menjadi sesuatu yang menurun, menurun, dan menurun.

Minggu, 10 Oktober 2021 | 10:06 WIB
0
156
Berbohong sebagai Tradisi Baik Keluarga
Mengantar 4 anak sekolah (Foto: Dok. pribadi)

Dulu sekali, di pertengahan tahun 1980-an. Jauh sebelum saya lulus SMA, bapak saya sejak dini sudah "ngendika" bahwa saya tak mungkin melanjutkan kuliah kalau tidak diterima di PTN. Jaman itu, bagi keluarga pasangan pegawai negeri, sekolah negeri adalah alternatif paling rasional. Kualitas terbaik, biaya kuliah sangat murah. Tanpa korupsi-pun, semua orang tua lumrah semestinya bisa membiayai. Tapi melebih-lebihkan kalau tidak kuliah di PTN, saya pasti gak mungkin boleh kuliah. Tentu itu bohong, saya tahu bapak saya sedang membohongi saya sebagai anak sulungnya.

Sebagai seorang Pamen, Perwira Menengah di AURI mosok iya gak mampu? Tapi, apa iya seorang anak kolong sebandel apapun dia, berani membantah. Apalagi beradu argumen. Hawong kita dididik makan mendahului orang tua saja tidak boleh. Kami hanya berani mulai makan, setelah bapak ibu mengajak makan bersama di meja makan. Kebersamaan seperti ini, sudah mulai hilang. Ketika ritme hidup semakin tidak seragam.

Panjang waktu belajar di sekolah makin panjang, yang entah untuk apa? Jam pulang orang tua sampai di rumah pun makin tak terkira lagi. Ada saja seribu satu alasan untuk itu. Jalan macet, rapat mendadak, mampir belanja. Hingga kebersamaan-kebersamaan yang sepele seperti waktu makan bersama mulai menghilang. Makan pagi dan malam bersama dianggap hal kuno dan gak ada manfaatnya lagi.

Hang out, makan di luar jadi tradisi baru. Dan itu artinya biaya ekstra. Hal yang dulu, berarti dana yang bisa dihemat untuk ini itu. Ditabung untuk keperluan tak terduga atau dibelikan sesuatu yang jauh lebih bermanfaat.

Anehnya "kebohongan" bapak saya itu kemudian jadi semacam mantra ajaib. Seolah candu, hal sama dilakukan pada ketiga adik saya. Dan anehnya semua sukses. Mereka dapat kuliah di PTN-PTN terbaik di negeri ini....

Ketika tahun berganti dan gantian saya yang jadi bapak. Dan harus mengambil peran dan tugas yang sama. Maka tanpa ragu, saya menggunakan trik dan gaya tepu yang sama. Hanya dengan cerita dan setting situasi yang berbeda.

Di masa yang berubah, PTN di hari ini tak lagi murah. Ketika PTN-PTN terbaik berubah menjadi BHMN (Badan Hukum Milik Negara), kuliah di sini jadi milik orang-orang super-kaya. Sepengalaman, beberapa orang tua yang lebih dulu dari saya. Meng-kuliah-kan di PTN kalau gak punya double penghasilan, nyaris muskil.

Biaya awal kuliahnya nyaris gak masuk akal. Ada biaya yang sangat besar di depan. Ada variabel biaya yang absurd, uang gedung, uang kursi, sumbangan ini itu. Belum lagi biaya tetap per-semester yang aih-aih, mana tahan. PTN jadi tak lebih murah dari PTS. Kalau tak mau dibilang jauh lebih mahal. Padahal realitas tradisi kehidupan mahasiswa juga sudah jauh berubah. Iklim kemandirian anak-anak juga sudah jauh menurun. Kemudahan yang ada sangat bikin hati ciut orang tua.

Mereka pasti akan menuntut motor untuk mobilitas, tak mungkin berharap lagi mereka mau ke kampus naik sepeda. Kecuali untuk nggaya dan cari perhatian lawan jenisnya. Naik angkutan umum, dianggap mahal dan buang waktu. Cilakanya, lihat orang tua makmur dikit, pasti akan tampak menyediakan mobil jadi keharusan. Dan itu artinya tidak sehat, fisik, psikologis. Raga yang rapuh, jiwa yang manja. Hanya tampak kekinian, tapi sebenarnya justru tidak hari ini banget!

Belum lagi, mereka tak akan mengenal cuci baju sendiri, karena fasilitas laundry murah bertebaran di mana-mana. Alih-alih berharap mau masak sendiri, yang pasti akan dianggap jatuhnya mahal, ribet dan nambah repot. Salah pergaulan sedikit, membayangkan anak-anak direkrut jadi anggota HTI atau simpatisan PKS tentu merupakan horor yang nyata. Mimpi buruk yang jangan sampai mampir di keluarga kami. Ah, orang tua kuno seperti saya tentu akan makin mengkeret berhitung biaya apalagi resiko pergaulan PTN yang makin sektarianis-agamis-nylekutis itu.

Lalu yang jadi "barang baru", sebuah alur aneh yang sialnya tanpa sebuah kesadaran jernih justru jadi pilihan yang keliru. Saat anak2 selesai kuliah S1, lalu orang tua gagal menyakinkan anak-anak untuk memulai tradisi kerja dari bawah dengan gaji rendah. Mereka akan menyarankan untuk melanjutkan ke strata S2, hanya sekedar untuk dapat pujian wah dari tetangga, kerabat, dan pergaulan.

Lalu, hingga tiba selesai S2, semakin bingunglah karena ternyata bukannya semakin lebar pasar kerjanya. Tapi semakin menyempit. Dan orang tua lagi-lagi harus turun tangan, untuk memodali si anak untuk buka kafe atau butik atau bisnis on-line.

Dan untuk menutupi rasa malu itu, mereka akan bilang "demikianlah passion si anak". Demikianlah pola lumrah, yang sebenarnya sudah bisa dibaca trendnya sejak sepuluh tahunan yang lalu. Orang tua yang hanya tampak berhasil, tapi sesungguhnya "cash-cow" yang tak pernah berhenti bagi anak-anak. Dan orang tua sejenis ini, merasa happy saja. Merasa sama sekali tak ada yang salah. Padahal coba lihat apa yang ada dibelakangnya untuk itu....

Menyadari potensi situasi seperti itu, jauh hari saya telah menyiapkan jurus bohong yang sama: Mas, bapak tak sanggup membiayaimu kalau harus mengkuliahkanmu di Indonesia.....

Apalah, siapalah bapak ibumu ini. Kombinasi pasangan yang buruk. Bapakmu seorang wiraswasta dengan penghasilan tidak jelas. Sedangkan ibumu seorang ASN dengan penghasilan tak pernah cukup. Makanya, kamu bersiap saja sejak dini untuk kuliah di luar negeri.

Pilihlah kalau tidak di Perancis ya di Jerman atau Swedia. Negara-negara sosialis-demokrat yang tanpa harus mikir biaya SPP. Di sana pendidikan itu sama bagi semua orang, dari seluruh dunia tanpa kecuali: nyaris tak berbayar. Kalau pun bayar, itu setara atau direplikasi dengan ticket transportasi publik gratis selama satu semester yang sama.

Lalu mulailah mereka yang mempersiapkan diri, jauh hari sebelum lulus SMA. Artinya, kuliah di luar negeri itu bukan hal serta merta. Tapi sudah harus prepare, sejak mereka mulai masuk SMA. Dan artinya, proses "pembohongan" saya sudah mulai sejak itu. Dan ketika si sulung berangkat, beberapa tahun kemudian di susul si adik. Lalu si adiknya lagi, dan lagi. Artinya prestasi saya cuma di "memanipulasi" mereka semua.

Hari-hari ini, saya selalu tersenyum bila mengingat bahwa tradisi keluarga besar kami cuma satu yang ter-sinambung-kan: berbohong!

Saya tidak tahu, jurus apalagi yang akan digunakan kelak oleh anak-anak saya untuk anak-anak mereka. Yang pasti akan beda, karena zamannya juga pasti beda lagi. Dari generasi baby boomer bapaknya ke generasi milenial, lalu ke generasi Z atau entah apa namanya kelak. Mungkin mereka akan bilang, gak usah sekolah jadi atlet saja. Atau pemain sirkus atau tukang sulap saja. Atau mungkin jadi artis, perajin tangan, atau langsung jadi petani. Jauh lebih baik kalau jadi aktivis sosial atau kemanusiaan asal bukan jadi SJW. Yang terlebih penting! Pokoknya asal jangan jadi politisi, makelar, atau agamawan....

Percayalah, salah satu hal paling asyik dalam hidup orang tua itu. Adalah "mengelabui" anak-anak, itu sejenis menjalankan tradisi. Berbohong dalam makna mengarahkan ke jalan yang baik, tanpa mereka merasa diatur-atur. Tapi lebih pada menunjukkan keterbatasan dan kerendahan hati kita sebagai orang tua. Alih-alih menunjukkan kita punya dada yang bisa ditepuk-tepuk. Dibusung-busungkan ke siapa saja.

Sebuah tradisi baik sebagai penuntun dan pemomong yang bisa kita harapkan menjadi sesuatu yang menurun, menurun, dan menurun.

NB: Ilustrasi adalah tradisi harian saya yang tak mungkin terulangkan. Mengantar keempat anak sekaligus dengan motor gede satu-satunya yang saya miliki. Yang saat ini, hanya untuk sekedar nyelah menghidupkannya saja, saya tak lagi kuat. Bukti bahwa masa depan adalah sepenuhnya milik anak-anak, dan masa lalu adalah kenangan terbaik bagi setiap orang tua.

***