Akal Sehat Media

Lalu di mana berita ibu muda di Cianjur yang melahirkan bayi perempuan setelah merasakan hamil "hanya" satu jam harus diletakkan?

Minggu, 14 Februari 2021 | 08:30 WIB
0
200
Akal Sehat Media
Tangkapan layar berita (Foto: Istimewa)

Tetaplah akal sehat yang harus dikedepankan. Skeptis bukan berarti curiga, misalnya dengan bertanya; apakah dari segi kedokteran memungkinkan?

Tahun 1970an jagat media diguncang kehebohan adanya jabang bayi yang bisa bicara dalam kandungan. Publik terperangah setelah dimuat media arus utama. Belum ada media online atau media sosial saat itu, tentu saja. Akan tetapi, keyakinan publik akan suatu peristiwa mengikuti logika media itu sendiri. Publik percaya saja bahwa apapun yang diberitakan media dianggap sebagai suatu kebenaran, termasuk memberitakan keajaiban.

Apa yang terjadi? Ternyata itu hanya sekadar "cheat" (sekarang mungkin istilahnya "prank" kalau istilah "tipu-tipu" terlalu kasar) si suami yang menyembunyikan tape recorder kecil yang bisa berbunyi saat ditekan, sehingga seolah-olah sang jabang bayi bisa berkata dalam kandungan.

Singkat cerita, tipu-tipu dengan modus meraup uang sumbangan bagi siapapun yang ingin "menyaksikan" jabang bayi ajaib yang "bisa bicara" itu terungkap polisi. Pelakunya tentu dijerat pasal penipuan.

Baca Juga: Media dan Kebenaran-Realitas

Pun dalam peristiwa sebagaimana diberitakan ini, akal sehat jurnalis mempertanyakan; adakah unsur "prank" di dalamnya? Misalnya motif sebagaimana "jabang bayi" di Aceh itu atau sekadar menyembunyikan "aib" terkait kehamilan seorang perempuan, misalnya. Bukankah salah satu fungsi media itu memberikan pendidikan bagi pembacanya?

Berita yang bikin heboh semacam ini memang punya "nilai berita" setidak-tidaknya dari sisi unusual alias "tidak biasa" dan karenanya menarik perhatian pembaca. Tetapi, apakah pembaca cukup dicecoki hal-hal yang menarik perhatian saja dengan mengabaikan akal sehat di dalamnya? Terkecuali ini cerita fiksi atau bahkan berita hoaks.

The Benjamin Button itu cerita fiksi, cerpen panjang (novelet) karya Fitzgerald, di mana bayi terlahir langsung tua-renta (75 tahun) dan "tumbuh mundur" menjadi muda dan terus memuda sampai bayi, sampai kemudian ia mati di pangkuan istrinya yang tumbuh normal sebagai perempuan tua (baca: nenek-nenek).

Itu lain urusan karena memang sebuah fiksi. Ia akan diletakkan pada rubrik khusus di media, bukan di rubruk berita peristiwa.

Lalu di mana berita ibu muda di Cianjur yang melahirkan bayi perempuan setelah merasakan hamil "hanya" satu jam harus diletakkan?

Baiklah, saya kutip kembali apa yang dikemukakan Presiden Soekarno di Istana Bogor pada 20 November 1965:

"...Ada kabar misalnya seorang perempuan menjadi hamil, karena ya digeremeti ular! Wah ini wah, di sana ada perempuan jadi hamil digeremeti ular! Saya bilang nonsens! Kapan parantos diserat, di surat kabar! Jadi apa yang ditulis di surat kabar benar menurut anggapan manusia sekarang ini. Coba apapun yang ditulis di dalam surat kabar dipercaya manusia. Dikatakan parantos asup di surat kabar, kan sudah masuk surat kabar. Nggak salah lagi, kalau sudah masuk surat kabar itu sudah nyata benar.

Nah, Saudara-saudara, inilah kegawatan pekerjaan Saudara-saudara. Jangan sampai Saudara-saudara mengeluarkan satu perkataan pun dari tetesan pena Saudara yang tidak berisi satu kebenaran. Oleh karena tiap-tiap tetesan pena Saudara dipercayai oleh pembaca. Tanggung jawab Saudara adalah tinggi sekali. Karena itu saya peringatkan, awas jangan sampai tulisan Saudara sebetulnya adalah fitnah.

...Karena itu saya anjurkan sebelum Saudara menulis barang sesuatu cek dulu, cek dulu, cek dulu, cek dulu. Hati-hati menulis, sebab Saudara-saudara punya pekerjaan adalah pekerjaan gawat sekali. Gawat...!"

Kalau lupa dengan apa yang pernah dikemukakan Bung Karno, silakan, gunakan akal sehat saja.

Sesederhana itu.

***