Di Malaka, Pasca Banjir Bandang, Menyisakan Rasa Trauma

Semua pihak bisa berinisiatif dan mengambil langkah namun kalau tanpa sinkronisasi bakal berujung tidak merata.

Minggu, 18 April 2021 | 00:29 WIB
0
297
Di Malaka, Pasca Banjir Bandang, Menyisakan Rasa Trauma
Gambar rumah terendam banjir. Dokumentasi pribadi

Hampir dua minggu pasca bencana banjir bandang di Malaka, Kamis, 15/04/2021 hujan lagi di Malaka. Berbagai komentar menghiasi layar media sosial. Ada yang cema ada yang bahkan sudah siap-siap barang lagi, seolah-olah bencana yang terjadi, bakal terjadi lagi. 

Beberapa waktu setelah hujan, tim Relawan Caritas Indonesia yang terdiri dari Orang Muda Katolik (OMK) Paroki Santa Maria Fatima Betun turun ke lapangan, Sabtu, 18/04/2021 untuk melakukan pendataan terhadap para terdampak, berbasis aplikasi online-offline. Dalam interview, ditemukan kenyataan hujan malam itu, ternyata masih menyisakan trauma yang mendalam, terkhusus bagi anak-anak. 

Kisah seorang ibu, istri salah satu Kepala Dusun di Desa Bereliku, Kecamatan Malaka Tengah, dirinya mengungkapkan kalau hujan malam itu membuat mereka tidak mau tidur, terutama karena tangisan traumatik dari beberapa orang anaknya. Hasil interview dari beberapa relawan lainnya juga menunjukkan demikian.

Kisah di atas, jelas bahwa apa yang dibutuhkan saat ini sebagai respon darurat bencana, tidak hanya distribusi material berupa sembako dan perlengkapan lainnya melainkan juga pemulihan mental berupa trauma healing. Apa yang dilakukan berupa distribusi material memenuhi kebutuhan ragawi, namun saat ini, tidak kalah penting ialah kebutuhan rohani dan bathiniah. 

Saat di lapangan, saya mengajukan beberapa pertanyaan tentang kenyamanan dalam makan-minum, ternyata rasa trauma masih lebih dominan daripada kebutuhan makan-minum. Makan-minum tersedia, namun niat dan nafsu makan-minum masih dibayang-bayangi oleh rasa trauma. Kondisi ini makin diperparah dengan bayangan bau bangkai dan bau lumpur yang masih menyengat dalam rasa. Kondisi barang-barang yang berserakan di mana-mana turut mempengaruhi rasa aman para terdampak dalam konsumsi makan-minum. Rasa jenuh pun menghantui karena terlalu banyak barang yang harus diurus dan dirapikan dalam kondisi mental yang belum begitu stabil. 

Pada banyak tempat, ditemukan begitu banyak kerugian dan kehilangan yang masih menyisakan rasa stres. Ribuan hewan, rumah dan peralatan lainnya musnah. Sementara banyak pihak berupaya membantu mereka, namun muncul kenyataan bahwa apa yang diupayakan itu, sama sekali tidak dapat memulihkan kembali situasi saat ini, seperti situasi sebelumnya. 

Lantas menjadi tugas siapa? Tentu tugas kita bersama, karena rasa solidaritas dan kemanusiaan. 

Semua pihak telah tergerak hari. Bantuan mengalir dari berbagai penjuru. Tetapi tetap ada kenyataan bahwa saat ini, rasa trauma masih ada. Sebagai solusi, Pemerintah sebagai pihak yang paling berotoritas dalam penanganan dan tindak lanjut, perlu bersinergi dengan berbagai pihak, lembaga demi pemulihan mental dan kondisi lingkungan terdampak.

Untuk itu dibutuhkan data yang valid, serta perlu ada sinkronisasi data demi memudahkan penanganan terhadap terhadap para terdampak secara tepat sasar dan dilakukan secara merata. 

Semuanya bisa terlaksana, termasuk trauma healing kalau ada kerja sama yang baik dan sinkronisasi data secara valid demi meretas berbagai kondisi kekurangan yang ada saat ini.

Semua pihak bisa berinisiatif dan mengambil langkah namun kalau tanpa sinkronisasi bakal berujung tidak merata. 

Maka dari semua pihak yang berjibaku, dibutuhkan kerendahan hati untuk saling bertanya dan saling memberi informasi, bukan supaya pihak lain cari gampang melainkan supaya ada sinkronisasi data. Itu hanya mungkin kalau pendataan yang dilakukan benar-benar realistis dan valid. 

***