Bukan Manusia Malam

Jujur saya akui saya bukan manusia nocturnal, bukan manusia malam. Saya terbiasa tidur di awal malam. Apa mau dikata.

Selasa, 7 April 2020 | 07:24 WIB
0
350
Bukan Manusia Malam
Ilustrasi manusia nocturnal (Foto: Blogger.com)

Seorang filsuf mengatakan begini," Kita adalah apa yang kita kerjakan berulang-ulang." (Aristotle).

Kini saya perrcaya itu. Juga sebelumnya. Tapi kali ini lebih yakin lagi.

Tiga hari ini saya menderita sakit kepala hebat. Belakang kepala seperti dibebani berton-ton batu, bukan berlian lho ya. Dan saya sudah mulai menimbang-nimbang apakah saya harus ke dokter. Tapi dengan situasi darurat seperti ini, keputusan ke dokter atau tidak harus saya pikirkan masak-masak lagi.

Sebisa mungkin saya berusaha menghindari keramaian. Saya membayangkan, saya harus antri di RS dan menunggu berjam-jam. Enggan. Inginnya menerapkan social distancing seperti yang dihimbau sebisa mungkin.

Akhirnya saya mulai menganalisa kira-kira apa penyebab sakit kepala saya. Apakah berita tentang Korona begitu menghantui? Rasanya tidak. Saya tetap membaca berita dari sumber yang bisa dipercaya dan seperlunya saja. Tinggal berusaha menjalankan yang dianjurkan, sisanya berdoa.

Lantas apa kira-kira penyebab sakit kepala ini? Jangan-jangan karena begadang, itu analisa awal saya.

Saya ingat, dua minggu ini saya mulai bekerja dari rumah. Istilah kerennya work from home (WFH). Lantas, bukannya malah enak? Nggak juga. Jadwal saya amburadul. Kebiasaan saya berubah total. Jika sebelumnya saya disiplin tidur jam 9.30 malam, sejak WFH ini saya selalu tidur hampir lewat tengah malam. Itu karena saya baru memulai bekerja di waktu malam.

Lantas siang saya ngapain aja? Multiplier efek dari asisten pulang kampung, mengubah banyak hal. Banyak pekerjaan pernak pernik yang harus dikerjakan di siang hari, tak terasa kadang menyita waktu. Akhirnya malam hari baru bisa konsentrasi ke pekerjaan kantor.

Beda kalau bekerja sehari-hari di kantor ya. Pekerjaan remeh temeh di rumah bisa di kesampingkan dulu. Sampai rumah tinggal pilah tugas yang menjadi prioritas untuk diselesaikan. Bukan solusi yang bagus juga, tapi manusia mempunyai keterbatasan waktu dan tempat, bukankah begitu?

Akhirnya, setelah sampai pada analisa karena begadang, hari ini saya mulai terapi: tidur yang banyak dan rileks. Dan salah satu jurus yoga yang saya praktekkan adalah: Savana. Yaitu tidur telentang dengan posisi telapak tangan menghadap ke atas, dan telapak kaki juga direnggangkan. Ambil nafas panjang, tahan di dada sejenak, kemudian hembuskan panjang. Begitu teorinya.

Sambil mendengarkan musik, bayangkan Anda sedang berada di padang rumput yang menghampar dengan gunung-gunung memeluknya. Selamat berkhayal. 

Ini salah satu posisi yoga yang saya kuasai dan jadi favorit saya.

Alhasil, hari ini berton-ton batu itu lenyap dari kepala, dan yang tertinggal sebungkus mie instan yang masih bersemayam. Menunggu dieksekusi besok. Hehehe.

Jadi tak salah jika Aristotle bilang kita adalah apa yang kita kerjakan berulang-ulang. Kebiasaan berulang-ulang akan menjadi jati diri kita. Mungkin bagi yang terbiasa begadang, bekerja di malam hari biasa saja, bagi saya terasa berat.

Dan jujur saya akui saya bukan manusia nocturnal, bukan manusia malam. Saya terbiasa tidur di awal malam. Apa mau dikata.

Dan bagaimana dengan pekerjaan? Saya harus mulai mengatur kembali jadwal di siang hari, dan menetapkan skala prioritas. Bukankah siang hari waktunya cukup panjang?

***