Peringkat negara kita selalu paling buncit di uji kemampuan analisis seperti PISA atau TIMSS. Bukan karena anaknya tidak belajar, namun karena proses pembelajarannya salah.
Pernah rekan-rekan guru terkesima dengan satu bocah di sekolah. Bocah ini hafal isi buku-buku pengetahuan populer yang ada di perpustakaan, dan juga dengan cepat 'mempelajari' buku-buku pelajarannya di kelas. Semua guru berbondong-bondong 'membebankan' masa depan cerah ke bocah ini. Persis ketika zaman Orde Baru, bocah belia yang bisa menghafal nama-nama seluruh menteri kabinet dipamerkan di TV sebagai 'anak cerdas'.
Bagaimana Pak Guru Doel Kamdi menyikapi ini? Sepele saja. Satu hari Pak Guru coba masuk ke kelasnya, dan memberi pertanyaan. Pak Guru Doel Kamdi memberikan soal yang agak-agak HOTS. Sepele saja: mengapa protein yang sudah dipecah menjadi pepton di lambung, kemudian dipecah lagi menjadi asam amino di usus dua belas jari?
Ternyata bocah ini sama sekali tidak bisa menjawab, bingung dia. Padahal dia hafal semua enzim pencernaan berikut fungsi dan letaknya, susunan organ pencernaan, begitulah. Akhirnya Pak Guru jelaskan bahwa prinsip sistem pencernaan adalah mengurai zat kompleks yang ada di makanan menjadi zat lebih sederhana untuk digunakan tubuh.
Konsep dasar inilah yang mendasari mengapa makanan harus mengalami pencernaan mekanik (dikunyah di mulut, peristaltik kerongkongan dan usus) dan kimiawi (diproses lewat enzim-enzim).
Menghafal/mengingat adalah kemampuan tingkat pertama dalam taksonomi Bloom. Setelah menghafal baru ada memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta. Jadi kalau ada anak yang jago menghafal, itu bagus karena dia berada di langkah awal untuk belajar, namun bukan berarti dia 'super'.
Menghafal hanya kemampuan tingkat terendah, sehingga seseorang perlu berproses melampauinya. Seseorang harusnya tidak hanya menghafal suatu topik, namun juga bisa memahami topik itu. Lalu bisa menerapkan topik tersebut dalam sebuah masalah sederhana. Kemudian dalam masalah yang lebih rumit, seseorang menggunakan penguasaan terhadap topik tersebut untuk menganalisis dan mengevaluasi masalah, lalu menciptakan penyelesaian terhadap masalah.
Sialnya, pembelajaran di sekolah saat ini terlalu menekankan pada hafalan. Meskipun yang diajarkan adalah pelajaran analitik seperti matematika, ilmu alam, ilmu sosial, pada kenyataannya guru lebih menekankan untuk merapal mantra rumus dan kata-kata dalam buku saat KBM.
Saat ulangan, bahkan hingga UN, soal yang keluar cenderung soal-soal merapal itu tadi. Anak terjebak pada kemampuan tingkat pertama, tidak bisa maju ke tingkat selanjutnya.
Hasilnya, kita lihat sendiri bahwa peringkat negara kita selalu paling buncit di uji kemampuan analisis seperti PISA atau TIMSS. Bukan karena anaknya tidak belajar, namun karena proses pembelajarannya salah.
Padahal, setelah lulus dari sekolah, keterampilan berpikir tingkat tinggi khususnya pada level analisis, evaluasi, dan cipta yang akan banyak terpakai. Apabila seseorang menjadi pekerja di tingkat praktis, maka harus menguasai kemampuan terapan atau level ketiga.
Ketika seseorang ingin bekerja di bidang yang lebih tinggi, yaitu sebagai pengambil keputusan, profesional, ilmuwan, maka keterampilan analisis, evaluasi, dan cipta akan sangat diperlukan. Mereka yang hanya bisa menghafal, tidak akan bisa bertahan lama.
Hafalan yang kuat adalah hal yang baik, ini merupakan langkah awal untuk proses belajar. Namun, kalau kita hanya terpaku pada hafalan, kita hanya akan menghasilkan generasi dukun perapal hafalan Semoga digantinya UN dengan asesmen model PISA dan TIMSS bisa membuat guru termotivasi untuk mengajarkan konsep dasar dan logika berpikir, bukan hanya merapal mantra lulus ujian.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews