Menghafal, Perlukah?

Peringkat negara kita selalu paling buncit di uji kemampuan analisis seperti PISA atau TIMSS. Bukan karena anaknya tidak belajar, namun karena proses pembelajarannya salah.

Rabu, 18 Desember 2019 | 22:11 WIB
0
566
Menghafal, Perlukah?
Ilustrasi menghapal (Foto: terkini.id)

Pernah rekan-rekan guru terkesima dengan satu bocah di sekolah. Bocah ini hafal isi buku-buku pengetahuan populer yang ada di perpustakaan, dan juga dengan cepat 'mempelajari' buku-buku pelajarannya di kelas. Semua guru berbondong-bondong 'membebankan' masa depan cerah ke bocah ini. Persis ketika zaman Orde Baru, bocah belia yang bisa menghafal nama-nama seluruh menteri kabinet dipamerkan di TV sebagai 'anak cerdas'.

Bagaimana Pak Guru Doel Kamdi menyikapi ini? Sepele saja. Satu hari Pak Guru coba masuk ke kelasnya, dan memberi pertanyaan. Pak Guru Doel Kamdi memberikan soal yang agak-agak HOTS. Sepele saja: mengapa protein yang sudah dipecah menjadi pepton di lambung, kemudian dipecah lagi menjadi asam amino di usus dua belas jari?

Ternyata bocah ini sama sekali tidak bisa menjawab, bingung dia. Padahal dia hafal semua enzim pencernaan berikut fungsi dan letaknya, susunan organ pencernaan, begitulah. Akhirnya Pak Guru jelaskan bahwa prinsip sistem pencernaan adalah mengurai zat kompleks yang ada di makanan menjadi zat lebih sederhana untuk digunakan tubuh.

Konsep dasar inilah yang mendasari mengapa makanan harus mengalami pencernaan mekanik (dikunyah di mulut, peristaltik kerongkongan dan usus) dan kimiawi (diproses lewat enzim-enzim).

Menghafal/mengingat adalah kemampuan tingkat pertama dalam taksonomi Bloom. Setelah menghafal baru ada memahami, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta. Jadi kalau ada anak yang jago menghafal, itu bagus karena dia berada di langkah awal untuk belajar, namun bukan berarti dia 'super'.  

Menghafal hanya kemampuan tingkat terendah, sehingga seseorang perlu berproses melampauinya. Seseorang harusnya tidak hanya menghafal suatu topik, namun juga bisa memahami topik itu. Lalu bisa menerapkan topik tersebut dalam sebuah masalah sederhana. Kemudian dalam masalah yang lebih rumit, seseorang menggunakan penguasaan terhadap topik tersebut untuk menganalisis dan mengevaluasi masalah, lalu menciptakan penyelesaian terhadap masalah. 

Sialnya, pembelajaran di sekolah saat ini terlalu menekankan pada hafalan. Meskipun yang diajarkan adalah pelajaran analitik seperti matematika, ilmu alam, ilmu sosial, pada kenyataannya guru lebih menekankan untuk merapal mantra rumus dan kata-kata dalam buku saat KBM.

Saat ulangan, bahkan hingga UN, soal yang keluar cenderung soal-soal merapal itu tadi. Anak terjebak pada kemampuan tingkat pertama, tidak bisa maju ke tingkat selanjutnya.

Hasilnya, kita lihat sendiri bahwa peringkat negara kita selalu paling buncit di uji kemampuan analisis seperti PISA atau TIMSS. Bukan karena anaknya tidak belajar, namun karena proses pembelajarannya salah.

Padahal, setelah lulus dari sekolah, keterampilan berpikir tingkat tinggi khususnya pada level analisis, evaluasi, dan cipta yang akan banyak terpakai. Apabila seseorang menjadi pekerja di tingkat praktis, maka harus menguasai kemampuan terapan atau level ketiga.

Ketika seseorang ingin bekerja di bidang yang lebih tinggi, yaitu sebagai pengambil keputusan, profesional, ilmuwan, maka keterampilan analisis, evaluasi, dan cipta akan sangat diperlukan. Mereka yang hanya bisa menghafal, tidak akan bisa bertahan lama.

Hafalan yang kuat adalah hal yang baik, ini merupakan langkah awal untuk proses belajar. Namun, kalau kita hanya terpaku pada hafalan, kita hanya akan menghasilkan generasi dukun perapal hafalan Semoga digantinya UN dengan asesmen model PISA dan TIMSS bisa membuat guru termotivasi untuk mengajarkan konsep dasar dan logika berpikir, bukan hanya merapal mantra lulus ujian.

***