Tempo, "Maju Tatu, Mundur Ajur"

Di masa lalu Tempo, memang berhasil melewati berbagai fase krisisnya. Tapi tidak kali ini....

Senin, 7 Oktober 2019 | 20:12 WIB
0
1291
Tempo, "Maju Tatu, Mundur Ajur"
Cover majalah Tempo (Foto: ngelmu.co)

Dalam budaya Jawa, terdapat satu peribahasa yang menunjukkan fatalisme saat seseorang tak lagi bisa bergerak secara baik dan sehat. Situasi yang sebenarnya stagnan, tapi bukan mogok, apalagi mandeg. Dalam lagu dolanan anak dikatakan: "Kembang jagung/ Omah Kampung pinggir lurung/ Jejer telu sing tengah bakal omahku/ Maju kowe tatu, mundur kowe ajur".

Di masa lalu, dalam strategi perang gerilya hal ini digunakan dengan taktik bumi hangus. Menghancurkan aset-aset produktif, yang sesungguhnya migunani, berguna, tetapi lebih baik dihancurkan daripada dikuasai oleh musuh. Di Bandung, terutama Bandung Selatan, konon TRI dengan pahlawan lokal-nya Mochamad Toha melakukannya dengan membakar toko-toko, kawasan perumahan, dan segala fasilitas yang dianggap strategis agar tidak jatuh ke tangan musuh. Ia sendiri saat tertembak kakinya, meledakkan diri dengan granat tersisa.

Peristiwa yang populer disebut Bandung Lautan Api tersebut, meninggalkan sisa banyak cerita romantis. Di luar kenangan lagu Halo-Halo Bandung karya Ismail Marzuki, yang belakang diragukan bukan karya dirinya. Tidak menutup realitas bahwa Ismail Marzuki sedemikian terinspirasi romantisme Bandung Selatan pada masa itu. Karena ia juga berhasil menciptakan lagu-lagu lain seperti Sapu Tangan dari Bandung Selatan, Bandung Selatan di Waktu Malam, dan Ole Ole Bandung.

Peristiwa bumi hangus konyol lainnya, sebagai contoh adalah dihancurkan 18 pabrik gula yang produktif di lingkungan Kasultanan Jogjakarta. Hingga dari sebuah negara merdeka yang makmur, Jogja jadi jatuh miskin karena tak satu pun punya pabrik gula lagi sebagai sumber pendapatan. Inlah awal mula, kenapa Jogja menjadi daerah relatif miskin dibandingkan daerah lain. Hebatnya (atau anehnya) di tengah kemiskinannya itu, Yogyakarta justru menawarkan diri jadi "ibu asuh", ibukota sementara bagi NKRI yang masih belia dan menyantuni-nya beberapa saat sebelum kembali lagi ke Jakarta.

Pointnya: sentimen dan romantis itu di luar konyol, juga mahal harganya!

Cerita, legenda, dan mitos seperti inilah barangkali yang sering dimainkan oleh banyak figur (khususnya tokoh dan lembaga penting) di Indonesia yang sesunguhnya lebih atas nama romantisme. Dibandingkan penggunaan akal sehat dan kewarasan berpikir. Saya harus menyebut dua diantaranya Tempo dan KPK, yang sialnya sekarang seolah Ipin dan Upin yang sangat lucu dan saling mendukung. Janganlah berharap keduanya menjadi Tom and Jerry, itu khayal!

Tempo hari-hari ini adalah media yang tanpa kita sadari, selama puluhan tahun terakhir memiliki fungsi lain di luar fungsi pokoknya sebagai media massa pengabar berita. Fungsi apakah itu? Framing!

Kita telah sekian lama, tanpa sadar selalu menganggap bahwa apa pun yang dikatakan oleh Tempo adalah kebenaran. Berita yang diangkat berdasarkan investigasi yang mendalam, berhasil merekrut narasumber yang nyaris muskil dilakukan oleh media lain. Dan kita semakin dininabobokan dengan mitos yang dibangunnya: enak dibaca dan perlu. Yang kemudiandiperkuat dengan mitos lain: karya tulisan tergantung siapa yang ada di balik penanya itu.

Demikan Lalu apa itu framing?

Framing adalah menyusun atau mengemas informasi tentang suatu peristiwa dengan misi pembentukan opini dengan menggiring persepsi publik terhadap sebuah peristiwa. Ia merupakan perpanjangan dari teori agenda setting, yaitu pemilihan fakta dalam sebuah peristiwa yang dinilai penting disajikan dan dipikirkan pembaca (publik).

Framing tidak berbohong, tapi ia mencoba membelokkan fakta dengan halus melalui penyeleksian informasi, penonjolan aspek tertentu, pemilihan kata, bunyi, atau gambar, hingga meniadakan informasi yang seharusnya disampaikan. Demikianlah yang terjadi ketika Tempo membela mati-matian KPK!

Caranya yang menurut saya justru sangat merendahkan martabat dirinya sendiri, dengan berkali-kali melecehkan Jokowi sebagai simbol negara. Sial betul karena Jokowi sudah sangat bebal dan tidak peduli, maka ia justru semakin ngelunjak. Nyaris dalam sebulan terakhir, ia melakukan serial apa yang dia nggap sebagai "investigasi" dengan menjadikan ketegangan yang terjadi terkait Revisi UU KPK.

Setelah mempinokio-kan Jokowi, hinaan yang dibela banyak orang sebagai hanya bayangannya saja. Tidak jelas benar siapa Pinokio sebenarnya? Ah, hipokrit banget! Kalau pun dianggap Pinokio, Jokowi juga gak peduli. Yang peduli justru para pendukungnya yang kemudian malah dianggap sebagai membabi-buta membela dirinya. Salah lagi!

Di sinilah awal mulanya, tiba-tiba orang yang berada di seberang mereka dianggap sebagai buzzer pemerintah! Serendah itukah!?

Tak cukup sampai di situ, edisi terbaru Tempo memparodikan Jokowi sebagai bermata sipit, tampak seperti orang linglung, dan yang ini yang tidak faktual bersendal Crocs. Semuanya dengan framing yang jelas: dia antek Aseng, dia tak lebih orang China yang menyaru dan disuspkan sebagai Presiden.

Jelas sekali konteksnya, bahwa ia akan menjadi pelindung, fasilitator gelombang besar investasi China yang akan masuk. Ia dianggap sebagi pelindung oligarki, yang akan selalu bersekondan dengan korupsi dan kolusi, dan nepotisme. Tentu saja dengan menyediakan karpet merah untuk itu semua? Keleluasan dan keserbabolehan terhadap oligarki yang seolah semuanya disimbolkan dengan sangat sederhana dengan pertama-tama memandulkan KPK. Se-mahadewa itukah KPK?

Sesuatu yang sesungguhnya tampak sangat politis, nasionalis, dan idealis. Tapi sesungguhnya tak lebih perang dagang biasa saja. Saya lebih percaya bahwa persoalan KPK bukan pada UU-nya, tapi pada integritas dan independensi orang-orang di dalamnya. Dan hari-hari ini hal itulah, yang dengan kekuatan-kekuatan yang tersisa tampak bahu-membahu dilakukan secara gotong royong oleh Tempo dan KPK. Mepertahankan pepesan kosong dengan omong kosong.

Saya tak ingin membahas dan terjebak pada ada aliran dana yang masuk ke media ini atas jasa membuat berbagai framing tersebut. Bagi saya wajar saja, jer basuki mawa beya. Semua ada harganya. Saya hanya ingin melihatnya dengan kacamata spiritual saya, bahwa mereka memang tak punya pilihan lain. Maju tatu, mundur ajur. Mereka berdua akan tetap hancur!

Ia mungkin akan tetap hidup, tapi tentu sudah kalah lincah dengan para penulis sosmed yang lebih bebas dan lincah. Era di mana setiap orang sudah bisa dengan mudah bikin koran sendiri, tivi pribadi, toko, atau pun produk jasa apapun tanpa harus bergantung pada modal besar, apalagi tempat dan waktu yang mengikat.

Apa artinya tetap hidup, tanpa independensi dan integritas. Ketika menjadi pembisik tak lagi efektif. Tentu saja memaksakan kehendak itu tentu bukan salah satu cara penggantinya. Apa yang disitir dalam tembang di atas kowe dudu Janaka, kowe dudu satria. Tak tersisa watak ksatria di dalamnya.

Di masa lalu Tempo, memang berhasil melewati berbagai fase krisisnya. Tapi tidak kali ini....

***