Jokowi Tak Ninabobokkan Rakyatnya

Rabu, 2 Januari 2019 | 16:33 WIB
0
435
Jokowi Tak Ninabobokkan Rakyatnya
Presiden Joko Widodo (Foto: Istimewa)

Empat tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo ibarat ngebut berlari dalam sebuah lomba maraton. Berkeringat deras, meraih prestasi pada saat-saat akhir menjelang finis masa pemerintahan lima tahun pertamanya.

Tersambungnya jalan tol Trans Jawa di akhir tahun 2018 dan juga dilakukannya divestasi saham PT Freeport, dengan capaian merebut kepemilikannya 51,2 persen (dibanding 9,36 persen selama 51 tahun sejak 1967 era Soeharto), hanyalah seteguk air segar dari empat tahun lari maraton pemerintahan Jokowi. Suksesnya penyelenggaraan Asian Games ke-18 Jakarta Palembang pada 18 Agustus s/d 2 September 2018, merupakan kebanggaan lainnya lagi bagi Indonesia setelah pernah berhasil pula menyelenggarakan event yang serupa tahun 1962.

Tetapi sepanjang empat tahun pemerintahannya, rakyat Indonesia praktis harus mau mengalami hidup bersusah-susah, kudu menerima kemacetan perjalanan dalam kota Jakarta dan luar kota menuju Jawa Tengah, demi sang presiden menggenjot habis peningkatan infrastruktur.

Dari menyelesaikan proyek infrastruktur mangkrak pemerintah-pemerintah sebelumnya, sampai membangun bandara baru, tol baru di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Dan tentunya menyambung Trans Jawa terhubung jalan tol – mewujudkan mimpi rakyat pengguna jalan Indonesia sejak masa Soeharto tahun 1990-an.

Perbedaan pokok antara pemerintahan Jokowi dengan presiden-presiden sebelumnya, adalah soal prioritas. Juga, dalam pelaksanaan prioritas pemerintahannya Jokowi tidak memilih meninabobokkan rakyatnya, berleha-leha dengan subsidi yang menurutnya justru memboroskan anggaran.

Jokowi mengalihkan berbagai subsidi pemerintah untuk peningkatan infrastruktur demi melancarkan roda perekonomian Indonesia pada jangka panjang. Bukan pencitraan jangka pendek, memanjakan rakyat dengan berlimpah subsidi.

Empat belas tahun terakhir, menurut Jokowi, rakyat Indonesia dimanjakan dengan subsidi BBM yang termasuk tertinggi di Asia. Terbukti selama tiga tahun pertama pemerintahannya, Jokowi memangkas sekitar 70 persen subsidi -terutama Bahan Bakar Minyak (BBM)- yang menurutnya, tidak tepat sasaran bahkan pemborosan anggaran.

Akibatnya dari tindakan yang tidak populer ini, belum seratus hari Jokowi memerintah, ia sudah harus menghadapi upaya interpelasi di kalangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang dimotori kubu koalisi Prabowo Subianto, kubu yang dikalahkan Jokowi pada Pilpres 2014. Meski demikian, kubu Prabowo tidak sepenuhnya kompak. Kubu Demokrat dan Golkar, tidak mau menanda tangani upaya interpelasi tersebut.

Dalam perjalanan tiga tahun, Golkar malah bergabung ke kubu pemerintah menjelang Pilpres 2019. Demikian pula Partai Persatuan Pembangunan.

Tak hanya itu. Keputusan Presiden Joko Widodo untuk mencabut subsidi BBM, dinilai kalangan DPR sebagai “tidak ngerti aturan dan tak memikirkan imbas jika BBM naik”. Selain menyalahkan Jokowi yang tidak berkordinasi baik dengan organisasi transportasi angkutan darat (Organda), kata Yandri anggota Komisi II DPR-RI dari Fraksi Partai Amanat Nasional, juga kenaikan BBM sebesar Rp 2.000 pemerintahan Jokowi dinilai andil dalam kenaikan jumlah orang miskin bertambah 100 juta jiwa. (Tempo.co 24 November 2018).

Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), kata Yandri, ada ketentuan yang menyebutkan bahwa “presiden tidak perlu berkonsultasi dengan Dewan (DPR) soal kenaikan BBM, di antaranya apabila harga minyak dunia mencapai di atas US $ 107 per barrel. Nah, faktanya saat itu harga minyak dunia baru US $ 74,58 per barrel.

Berapa sebenarnya subsidi yang “dibakar” di BBM oleh pemerintah-pemerintah sebelumnya? Fakta menunjukkan, pemerintahan yang paling banyak “membakar” subsidi harga BBM, adalah pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Selama dua periode pemerintahannya, dari 2004-2014 SBY menghabiskan subsidi untuk BBM sekitar Rp 1.300 triliun, atau tepatnya Rp 1.297,8 triliun. (Cukup untuk membeli saham 51,2 persen Freeport yang senilai Rp 864 triliun atau 60 miliar dollar AS dengan kurs 14.400 per dollar).

Presiden Megawati Soekarnoputri, selama tiga tahun memerintah (Juli 2001-Oktober 2004) sebelum SBY, “membakar” sampai 198,6 triliun atau Rp 66,2 triliun pertahun untuk subsidi BBM.

Maka, alih-alih mendapat pujian. Seratus hari pertama presiden Jokowi menjabat, mengundang upaya interpelasi di kalangan Dewan Perwakilan Rakyat. Upaya interpelasi dimotori kubu koalisi Prabowo, yang kalah dalam Pilpres 2014. Hasil sigi Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA bahkan mengungkapkan, pemerintah Joko Widodo – Jusuf Kalla merosot drastis dalam sebulan pertama memerintah. Terutama setelah Jokowi menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.

Saat Joko Widodo mulai memerintah 2014, subsidi BBM dipangkas 70 persen lebih selama tiga tahun pertama. Kelebihan dana itu dialokasikan untuk membiayai pembangunan infrastruktur dan prasarana seperti membangun waduk, bandara, jalan, pelabuhan, listrik.

Dalam cuitannya di twitter, mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di awal pemerintahan Jokowi itu mengungkapkan, kader partainya (Demokrat) tetaplah sabar, meski Presiden Joko Widodo “mengritik dan menyalahkan”kebijakan yang pernah dilakukan pemerintah SBY. Lucunya, cuitan SBY itu diungkapkan pada saat masyarakat Indonesia waktu itu tengah diguncang dengan peristiwa teror.

Sementara Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Syarief Hasan, mengklaim subsidi BBM di era pemerintahan SBY, justru mampu menyejahterakan masyarakat dan menurunkan angka kemiskinan. (Kompas.com 18 Mei 2018).

Apakah perjalanan empat tahun ini menyenangkan? Menurut mata awam, jauh dari menyenangkan. Rakyat “dibuat susah” Jokowi. Keluar Jakarta saja pengguna jalan harus setengah mati berjuang melawan kemacetan jalanan karena terhambat pembangunan infrastruktur. Terutama di wilayah Cikarang, yang berjarak hanya 41 km dan semestinya harus bisa ditempuh kurang dari sejam.

Pada tahun-tahun menjelang tersambungnya Trans Jawa melalui jalan toll antara Jakarta-Surabaya 20 Desember 2018, rakyat harus menghadapi kemacetan parah. (Pernah nyaris putus asa pengen balik kanan, ketika harus menempuh Jakarta-Cikarang selama lima jam). Ampun dah....

Pada saat bersamaan, di sepanjang tol Jakarta menuju Cikampek yang berjarak 100 km kurang lebih, sangat padat lalu lintas karena penyempitan jalan. Tak hanya lantaran pelaksanaan pelebaran tol, akan tetapi juga dikebutnya proyek kereta cepat Jakarta-Bandung serta LRT (Light Rail Transit) Jakarta-Cikampek untuk mendukung mudik Lebaran 2019, di ruas tol Jakarta-Cikampek ini. Dipacunya pembangunan infrastruktur ini bener-bener “menyusahkan” pemakai jalan.

Namun ketika Trans Jawa antara Jakarta-Surabaya tersambung jalan tol, dan pengguna jalan bisa menempuh perjalanan kurang dari 10 jam pada 20 Desember 2018 kemaren? Barulah lumayan terbayar, lelah letih para pengguna jalan dibuat bermacet ria selama hampir empat tahun penuh.

Ini tentunya pencapaian luar biasa. Proyek Trans Jawa antara Jakarta-Surabaya, yang sudah sekitar 20 tahun dirancang dan mulai digarap sejak masa pemerintahan Soeharto, baru bisa tersambung pada era Jokowi.

Di bawah ini adalah catatan dari Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Kementerian PUPR hingga 20 Oktober 2018. Total panjang jalan tol yang sudah dioperasikan pada periode Oktober 2014-Oktober 2018 – selama 4 tahun pemerintahan Jokowi – adalah total mencapai 423,17 km.

Capaian pembangunan infrastruktur jalan tol pada masa pemerintahan Jokowi ini paling signifikan, jika dibandingkan dengan capaian presiden-presiden lain sejak era Soeharto 1967 sampai kini.

Di era Presiden Soeharto -saat dimulainya pembangunan jalan tol pertama kali di Indonesia- pada rentang jabatan Soeharto dari tahun 1968 hingga Mei 1998, total jalan tol yang beroperasi mencapai 490 km. Kemudian pada era Presiden Habibie selama Mei 1998 hingga Oktober 1999 ada 7,2 km jalan tol yang bertambah pengoperasiannya.

Di era Presiden Abdurrahman Wahid atau Gusdur, ada tambahan 5,5 km jalan tol yang beroperasi, dan 34 km tambahan tol beroperasi di zaman Megawati Soekarno Putri.

Sementara itu di masa pemerintahan dua periode (sepuluh tahun) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selama 2004-2014, tambahan panjang jalan tol yang beroperasi “hanya” sepanjang 212 km.

Bandingkan dengan empat (4) tahun Jokowi sampai 2018, jalan tol Trans Jawa bertambah 423,17 km. Nyaris mendekati capaian Presiden Soeharto yang selama 32 tahun dengan 450 km jalan tol.

Bersusah-susah dahulu, bersenang-senang kemudian. Pangkas subsidi BBM yang tidak tepat sasaran, alihkan ke pembangunan infrastruktur, membangun bandara dan infrastruktur lain seperti waduk untuk pertanian. Rupanya itu semangat yang dilakukan Presiden Joko Widodo, di dalam memerintah lima tahun pertama. Bukan meninabobokkan rakyat dengan berbagai subsidi.

***