Skenario Tanpa Acting

sebuah skenario adalah alih wahana dari sebuah teks (dialog) pada konteks (adegan) yang bakal melahirjan sejumlah makna dan tanda (semiotik) dalam habitus sejarah peran (tindakan).

Kamis, 21 Juli 2022 | 07:31 WIB
0
165
Skenario Tanpa Acting
Saya dan pemeran (Foto: dok. pribadi)

"Tak ada aktor besar dan kecil. Yang ada acting buruk dan baik“ (Konstantin Stanislavski,1863-1938).

Dua kali gagal jadi aktor film. Pertama, 1992 mendiang Yoseano Waas (pendiri FKPPI) mengajak aktif sebagai figuran (waranei) mendampingi aktor Deddy Mizwar sebagai Ukung Lontoh, Remy Sylado (Ukung Tewu) dalam film kolosal perdana daerah (Sulut) Benteng Moraya (Perang Tondano 1808) bersama sutradara Irawan Nuradi, astrada Ahmad Yusuf (kelak jadi sutradara banyak sinetron televisi) dan skenario Sirjon de Gaut.

Kedua, dikontak mendiang Frankie Supit casting untuk film dari puisi terkenal Sapardi Djoko Damono (1940-2020) "Hujan Bulan Juni“ (2017). Tak dipilih jadi pemeran Profesor Ahmad dari UNG Gorontalo. Film disutradarai RN. Hestu Saputra mengisahkqn percintaan beda SARA antara Pingkan Palenkahu (Velove Vexia, putri pengaca OC. Kaligis) dan Sarwono (Adipati Dolken).

Tapi, tak banyak yang tahu, sebuah acting mustahil terwujud tanpa mengenal apa sesungguhnya sebuah skenario. Karena kata skenario sendiri yang berasal dari kata Yunani skene (σκηνή) diadopsi ke bahsa Inggris menjadi "stage“ (pentas), "scene“ (layar) dan "tent“ (adegan). Kelak dialih-indonesia jadi skrip (script = tulisan = dialog) dan skenario (naskah).

Meski belum menghasilkan sebuah film, ada empat skenario sudah saya rampungkan. Pertama, merevisi skenario Benteng Moraya bersama Remy Syalado, kedua "Asmara di Kobong Kopra“ (latar sejarah Permesta), ketiga “Nani Wartabone- The Movie“ (23 Januari 1942) dan terakhir "Hans-The Movie“ (Langit Makin Mendung) dan yang tertunda bersama Garin Nugroho masih berupa script mentah.

Tanpa skenario tak acting dan tak ada acting tanpa skenario rupanya masih menjadi adegan-adegan misteri yang terus berputar di berbagai struktur naskah, plot dan latar (setting) terus bermain-main dalam aktor-aktor fiksi pada sebuah skenario yabg tersimpan secara digital.

Akhirnya, sebuah skenario adalah alih wahana dari sebuah teks (dialog) pada konteks (adegan) yang bakal melahirjan sejumlah makna dan tanda (semiotik) dalam habitus sejarah peran (tindakan). Dan sejatinya, kita semua adalah aktor dari skenario yang akan ditulis dan diadegankan oleh kita sendiri.

We all are the actors in all scenes.

ReO Fiksiwan