Post-Deddy Corbuzier Journalism

Dan dalam situasi masyarakat yang makin lelah dibanjiri informasi, melewatkan media mainstream rasanya masih no problemo ketika cukup banyak informasi bisa didapatkan dan dibaca di WA Blast.

Selasa, 4 Januari 2022 | 09:08 WIB
0
214
Post-Deddy Corbuzier Journalism
Deddy Corbuzier (Foto: jawapos.com)

Lama kita mendengar bahwa jurnalisme adalah kekuatan keempat dalam pilar demokrasi setelah legislatif, eksekutif dan yudikatif. Jurnalisme, awalnya diwakili oleh surat kabar, tempat mengabarkan sekaligus ruang yang memungkinkan terjadinya dialog.

Para jurnalis mencatat peristiwa, membawakan informasi agar masyarakat tahu. Surat kabar juga merekam para ahli melempar argumentasi, terkadang dimuat beberapa edisi, untuk menjaga nyala ilmu sampai titik penghabisan.

Namun, itu dulu, atau paling tidak pernah terjadi ketika dunia masih serba analog dan informasi kemarin sore masih bisa dijual esok harinya. Dengan internet, segala yang sampai di perangkat kita terjadi real-time, pada waktunya. Posisi pewarta berita pun bergeser ke warga. Dari sini kemudian lahir jurnalisme warga yang turut melahirkan warga internet atau lebih dikenal netizen. Sesekali diimbuhi gelar "yang mulia".

Ini masih disebut gelombang pertama. ditandai dengan munculnya pewarta baru yang cekatan, sering kali bermodal perangkat bergerak sederhana tetapi up-to-date. Kadang-kadang informasinya belum tentu relevan, yang penting paling cepat live.

Yang menarik, gelombang berikutnya ditandai dengan munculnya persona atau profil yang memiliki nilai news besar, sensasional, timely, sehingga memunculkan situasi The Man is The News.

Seorang Deddy Corbuzier, juga Najwa Shihab dan figur kuat lainnya sudah bisa menggantikan satu kantor berita. Ini terjadi di tengah meluruhnya institusi pers yang secara struktur besar, kompleks, hirarkis, dan terengah-engah melayani algoritma media sosial.

Dan dalam situasi masyarakat yang makin lelah dibanjiri informasi, melewatkan media mainstream rasanya masih no problemo ketika cukup banyak informasi bisa didapatkan di LamTur atau sekadar baca WA Blast.

Baca Juga: Deddy Corbuzier Lupa Kacang akan Kulitnya?

Di kantor saya dua surat kabar nasional versi cetak hampir selalu dibaca OB, karena lebih banyak yang mengakses via aplikasi atau browser. Meski organisasi media massa itu rigid dan kompleks, tetapi karena masih berbayar itulah, konten masih dapat dipertanggungjawabkan.

Jadi inget rasan-rasan lelucon orang pulau, "kalau sudah gratis masih minta selamat itu ya kebangetan.".

***