Di saat rakyat tercekik harga BBM yang melangit, anggota DPR justru mendapat jatah mesin cuci baru. Bukan sembarang mesin cuci, karena harganya Rp 6 juta.
Sejak akhir 1997, saya memang kerap wira wiri liputan di DPR. Ketika diterima hijrah dari Astaga.com ke Koran Tempo, saya pun ditempatkan untuk mengisi pos liputan di situ, bersama Fajar Wh. Kami boleh dibilang soulmate. Saling mengisi, menutupi. Tapi pernah juga sama-sama lengah. Saling mengandalkan, justru bikin kebobolan.
Seperti biasa, saat reses adalah masa kering untuk berburu berita di DPR. Kalau sudah begitu, kegiatan biasanya lebih banyak diisi dengan cekakak-cekikik di press room. Atau ngopi-ngopi di Tenda Biru. Sialnya, di tengah momen semacam itu sensitivitas terhadap isu justru ikutan melempem. Ini pernah saya alami ketika baru sekitar tiga bulan bergabung dengan Koran Tempo.
Sore itu, pertengahan Juni 2001 (kalau tak keliru mengingat). Sambil ngerumpi ngalor-ngidul sempat terlontar celetukan soal anggota Dewan yang mendapat jatah mesin cuci baru. Juga peralatan rumah tangga lainnya. Semua itu untuk melengkapi rumah dinas mereka yang baru direnovasi dengan anggaran ratusan miliar.
Ikhwal pengadaan mesin cuci itu ada protes dari sebuah LSM. Rilisnya terserak di meja-meja di presrum. Saya sekilas membacanya. Lalu melipat dan memasukkan ke saku kemeja. Saya tak melaporkannya ke redaktur sebagai bahan berita, karena masih perlu konfirmasi sana-sini.
Tiba di kantor, ternyata sudah ada penugasan lain. Saya pun lupa menitipkan ke Fajar untuk menuliskan berita soal mesin cuci. Sebaliknya dia mengira saya sendiri yang akan menuliskannya.
Ke esokan pagi, saya terhenyak saat menerima Kompas dari loper langganan. Soal mesin cuci jadi Headline. Penulisnya rekan kami, Pepih Nugraha . “Mampus gue…,” saya membatin.
Tak lama berselang Fajar pun melontarkan kegelisahan yang sama. Ketika jam rapat pagi tiba, Thontowi menelepon mempertanyakan kenapa saya tak menulis berita soal mesin cuci. Pertanyaan serupa juga mungkin ditujukan ke Fajar. Tapi dalam kasus tersebut, sayalah yang paling bersalah. Karena saya yang memegang rilis dan mengikuti obrolannya di presrum.
Entah kenapa waktu itu saya benar-benar tak sensitif. Seperti tak punya Sense of news. Teledor. Tentu teguran tak cuma via telepon. Tapi menjadi salah satu contoh kasus bagaimana tumpulnya sense of news gegara kelewat lama meliput di tempat yang sama.
Redaktur Eksekutif S Malela Mahargasarie salah seorang petinggi Tempo yang kerap menyindir saya terkait kasus ini. Di lapangan, Fajar dan kawan-kawan sepeliputan pun kerap mengolok-olok dengan kasus tersebut.
Untuk sekian waktu, kasus mesin cuci itu benar-benar mengusik rasa percaya diri. Bagaimana mungkin di saat rakyat tercekik harga BBM yang melangit, anggota DPR justru mendapat jatah mesin cuci baru. Bukan sembarang mesin cuci sepertinya, karena harganya Rp 6 juta.
Sulit membayangkan betapa canggihnya mesin tersebut. Sebab di pasaran, harga mesin paling mutakhir kapasitas 8 kilogram ternyata cuma Rp 4,5 juta. Tapi saya luput memberitakannya. Duh, Gusti….
***
Tulisan sebelumnya: Tempo 50 tahun [1] Salah Gaji
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews