Tempo 50 Tahun [2] Percaya Diri Terusik Mesin Cuci

Di saat rakyat tercekik harga BBM yang melangit, anggota DPR justru mendapat jatah mesin cuci baru. Bukan sembarang mesin cuci, karena harganya Rp 6 juta.

Selasa, 9 Maret 2021 | 20:28 WIB
1
350
Tempo 50 Tahun [2] Percaya Diri Terusik Mesin Cuci
Foto diri (Foto: dok. Pribadi)

Sejak akhir 1997, saya memang kerap wira wiri liputan di DPR. Ketika diterima hijrah dari Astaga.com ke Koran Tempo, saya pun ditempatkan untuk mengisi pos liputan di situ, bersama Fajar Wh. Kami boleh dibilang soulmate. Saling mengisi, menutupi. Tapi pernah juga sama-sama lengah. Saling mengandalkan, justru bikin kebobolan.

Seperti biasa, saat reses adalah masa kering untuk berburu berita di DPR. Kalau sudah begitu, kegiatan biasanya lebih banyak diisi dengan cekakak-cekikik di press room. Atau ngopi-ngopi di Tenda Biru. Sialnya, di tengah momen semacam itu sensitivitas terhadap isu justru ikutan melempem. Ini pernah saya alami ketika baru sekitar tiga bulan bergabung dengan Koran Tempo.

Sore itu, pertengahan Juni 2001 (kalau tak keliru mengingat). Sambil ngerumpi ngalor-ngidul sempat terlontar celetukan soal anggota Dewan yang mendapat jatah mesin cuci baru. Juga peralatan rumah tangga lainnya. Semua itu untuk melengkapi rumah dinas mereka yang baru direnovasi dengan anggaran ratusan miliar.

Ikhwal pengadaan mesin cuci itu ada protes dari sebuah LSM. Rilisnya terserak di meja-meja di presrum. Saya sekilas membacanya. Lalu melipat dan memasukkan ke saku kemeja. Saya tak melaporkannya ke redaktur sebagai bahan berita, karena masih perlu konfirmasi sana-sini.

Tiba di kantor, ternyata sudah ada penugasan lain. Saya pun lupa menitipkan ke Fajar untuk menuliskan berita soal mesin cuci. Sebaliknya dia mengira saya sendiri yang akan menuliskannya.

Ke esokan pagi, saya terhenyak saat menerima Kompas dari loper langganan. Soal mesin cuci jadi Headline. Penulisnya rekan kami, Pepih Nugraha . “Mampus gue…,” saya membatin.

Tak lama berselang Fajar pun melontarkan kegelisahan yang sama. Ketika jam rapat pagi tiba, Thontowi menelepon mempertanyakan kenapa saya tak menulis berita soal mesin cuci. Pertanyaan serupa juga mungkin ditujukan ke Fajar. Tapi dalam kasus tersebut, sayalah yang paling bersalah. Karena saya yang memegang rilis dan mengikuti obrolannya di presrum.

Entah kenapa waktu itu saya benar-benar tak sensitif. Seperti tak punya Sense of news. Teledor. Tentu teguran tak cuma via telepon. Tapi menjadi salah satu contoh kasus bagaimana tumpulnya sense of news gegara kelewat lama meliput di tempat yang sama.

Redaktur Eksekutif S Malela Mahargasarie salah seorang petinggi Tempo yang kerap menyindir saya terkait kasus ini. Di lapangan, Fajar dan kawan-kawan sepeliputan pun kerap mengolok-olok dengan kasus tersebut.

Untuk sekian waktu, kasus mesin cuci itu benar-benar mengusik rasa percaya diri. Bagaimana mungkin di saat rakyat tercekik harga BBM yang melangit, anggota DPR justru mendapat jatah mesin cuci baru. Bukan sembarang mesin cuci sepertinya, karena harganya Rp 6 juta.

Sulit membayangkan betapa canggihnya mesin tersebut. Sebab di pasaran, harga mesin paling mutakhir kapasitas 8 kilogram ternyata cuma Rp 4,5 juta. Tapi saya luput memberitakannya. Duh, Gusti….

***

Tulisan sebelumnya: Tempo 50 tahun [1] Salah Gaji