Sketsa Harian [65] "The Ten Commandments" of Journalism

Pada akhirnya, sampailah produk jurnalistik yang mereka hasilkan ke tangan khalayak pembaca yang juga punya pertimbangannya sendiri: "take it" or "leave it".

Selasa, 9 Juni 2020 | 16:18 WIB
0
515
Sketsa Harian [65] "The Ten Commandments" of Journalism
Bill Kovach (Foto: bisnis.com)

Semula wartawan kawakan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel hanya memuat 9 Elemen Jurnalisme, yakni kewajiban yang harus ditempuh seorang wartawan saat melaksanakan tugas jurnalistiknya.

Belakangan Kovach & Rosenstiel memasukkan elemen ke-10, yaitu Citizen Journalism. Persisnya: masyarakat mempunyai hak dan kewajiban terkait dengan berita atau jurnalisme warga (citizen journalism).

Sebagaimana termuat dalam infografik yang dibuat Kompas.id ini, 9 Elemen Jurnalisme itu benar-benar "perintah moral" yang ditujukan kepada wartawan itu sendiri. Yang "diperintah" punya kewajiban moral (moral obligation) untuk mematuhinya sekaligus melaksanakannya.

Sedangkan, elemen ke-10 yang datang belakangan ini, sama sekali bukan perintah untuk wartawan, melainkan untuk warga, dalam hal ini tentu saja khalayak pembaca.

Dimasukkannya istilah "Citizen Journalism" itu sendiri tentu saja suatu kehormatan bagi kegiatan jurnalisme warga yang lahir setelah booming blog gratisan di awal tahun 2000-an itu (20 tahun), disusul hadirnya media sosial seperi Facebook dan Twitter sehingga peran warga tidak bisa dikesampingkan begitu saja dalam urusan berita dan peristiwa.

Media yang sejatinya saat ini "cuma" berbentuk ponsel di tangan, benar-benar telah mengubah cara warga biasa dalam membuat dan melaporkan peristiwa yang dialaminya. Istilahnya, semudah mereka bernafas atau bercakap-cakap.

Melaporkan peristiwa yang terjadi bukan lagi domain jurnalis profesional dari media arus utama tertentu, melainkan sudah bisa dilakukan oleh warga yang meski tidak diajari praktik jurnalistik secara serius; menulis, mengedit, dan menayangkan berita di media miliknya menjadi bagian keseharian warga dalam melakukan kegiatan jurnalisme warga.

Media cetak terancam oleh serbuan media berinternet ini, pun televisi siaran sudah memasuki senjakala media dengan kehadiran para pembuat content Youtuber yang asyik-asyik itu. Nash Daily, misalnya, menjadi konten yang ditunggu-tunggu ratusan juta pelanggan di seluruh dunia, padahal kontennya "cuma" dibuat oleh seorang warga Israel.

Harus diakui, kadang kehadiran warga dengan produk jurnalistik yang mereka hasilkan sering merepotkan media arus utama sendiri. Kecepatan warga dalam melaporkan peristiwa menjadi "momok" menakutkan bagi para wartawan.

Sekarang kecepatan sudah diabaikan, konten warga seperti Nash Daily itu sudah menyentuh kedalaman (depth reporting) yang ironisnya sering diagung-agungkan media massa arus utama. Artinya, warga biasa pun sudah berhasil "merampok" harta berharga yang semula hanya dimiliki wartawan profesional.

Memang pada akhirnya para wartawan profesional itu harus berdamai dengan jurnalis warga, khususnya orang-orang ternama, yang bermedia sosial. Maka menjadi pemandangan sehari-hari jurnalis dari media arus utama memberitakan suatu peristiwa yang bersumber dari kegiatan warganet di blog atau media sosial.

Apakah ini salah? Tidak juga, sebab praktik ini pun terjadi di luar negeri. Artinya, media luar negeri pun melakukan hal yang sama. Menjadi persoalan jika apa yang dilaporkan itu "too much" (terlalu banyak), "abundant" (melimpah), yang membuat "enek" pembaca.

Sesekali mungkin bolehlah, tetapi kalau kemudian memberitakan apa yang terjadi di medsos padahal mengatasnamakan media arus utama, ini yang konyol atau istilah halusnya keterlaluan. Mereka lupa, "depth reporting" senjata pamungkas yang seharusnya dipakai, malah tidak digunakan.

Tetaplah tugas dan kewajiban utama wartawan arus utama yang profesional itu ada di 9 Elemen Jurnalisme itu.

Kekonyolan lainnya sering terjadi, media arus utama sering mengutip peristiwa di medsos, tetapi justru tidak pernah melakukan verifikasi kepada subjek yang menjadi pemberitaan, dianggap semua perkara selesai. Padahal, bisa saja akun medsos orang yang diberitakan diretas, misalnya.

Memang tidak semua media massa arus utama begitu, tetapi kebanyakan ya seperti itu.

Pada akhirnya, sampailah produk jurnalistik yang mereka hasilkan ke tangan khalayak pembaca yang juga punya pertimbangannya sendiri: "take it" or "leave it".

Celaka kalau ternyata yang "leave it" lebih banyak dari yang "take it".

Mungkin kondisi seperti itulah yang terjadi kini.

***

Tulisan sebelumbya: Sketsa Harian [64] Surat Terbuka untuk AJI dan PWI