Jauhkan emosi dan ungkap fakta yang sesungguhnya dengan kepala dingin dalam membuat siaran pers, tetap memegang prinsip "fairness", jujur, adil dan berimbang.
Prinsipnya saya sangat setuju dengan keberadaan AJI (Aliansi Jurnalis Independen) atau PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) yang berfungsi sebagai organisasi profesi kewartawanan di Tanah Air. Organisasi profesi inilah yang sejatinya memperjuangkan hak-hak seluruh wartawan yang menjadi anggota khususnya atau bahkan wartawan yang bukan anggotanya.
Keberanian organisasi-organisasi profesi ini dalam mengeluarkan pernyataan mulai dari "menyatakan", "meminta", "mengimbau", "berharap", "menyayangkan", sampai "mengutuk" aparat, individu, kelompok masyarakat, ormas, atau lembaga atas perlakuan buruk mereka terhadap para jurnalis, patut diacungi jempol.
Tidak jarang dengan pernyataan pers PWI dan terutama AJI, aparat keamanan (polisi) segera bertindak atas kasus kekerasan/ancaman yang menimpa wartawan. Memang di sini inilah salah satu fungsi organisasi profesi, yaitu melindungi anggotanya yang sedang tertimpa kesusahan/masalah. Malah dalam kasus tertentu, organisasi profesi sering menjadi semacam "pressure group" atau kelompok penekan.
Namun di luar keberanian AJI atau PWI membela anggotanya, meminta aparat menindak pengancam sekaligus meminta aparat melindungi wartawan, JARANG (kata "tidak pernah" mungkin terlalu kasar) dalam pernyataan mereka dalam bentuk siaran pers, MENGAKUI KESALAHAN anggota mereka dalam malakukan pekerjaan jurnalistik, khususnya saat para wartawan membuat kesalahan fatal dalam menulis berita.
Apalagi sampai MEMINTA MAAF kepada publik atas kesalahan para anggota mereka dalam membuat berita yang "misleading", "tidak sesuai fakta", "framing", "priming", dan seterusnya. Kata maaf menjadi barang yang sangat mahal untuk AJI atau PWI. Yang penting, bela dulu wartawan tidak peduli (kemungkinan) kesalahan yang dilakukan wartawan.
Yang terbaca dari berita sejumlah media online yang memuat pernyataan AJI Jakarta terkait kasus yang menimpa wartawan Detik, yang kabarnya mendapat ancaman dan "doxing" dari pihak-pihak tertentu sehingga muncul ancaman pembunuhan, adalah sudah pada porsi dan proporsinya. Artinya memang sudah seharusnya, dalam hal ini AJI, melakukan pembelaan terhadap wartawan.
Sekadar mengingatkan, wartawan Detik menerima ancaman pembunuhan (seharusnya dilaporkan ke polisi biar diusut siapa yang mengancam) itu setelah membuat berita tentang keberadaan Presiden Jokowi yang disebut membuka Mall di Bekasi saat pandemi (inti berita awal kira-kira begitulah sebelum judul berita diganti dan nama wartawan yang menulis berita itu dihapus).
Selain mengalami "doxing", wartawan Detik juga menerima teror berupa "hujan" makanan dari ojek online.
Sayangnya saya tidak memegang pers rilis AJI Jakarta yang beritanya sudah termuat di sejumlah media online itu. Semoga saja dalam siaran pers itu tersurat pernyataan MENGAKUI KESALAHAN yang kemungkinan telah dilakukan anggotanya sekaligus MEMINTA MAAF atas kekeliruan wartawannya dalam melaksanakan tugasnya itu.
Ini penting agar publik juga diberi tahu atau diberi pemahaman mengenai kesalahan/kekeliruan apa yang telah dibuat seorang wartawan sehingga mereka bisa menilai sendiri bobot kesalahan seorang wartawan sampai-sampai menerima ancaman pembunuhan itu. Tanpa menunjukkan kesalahan (janganlah mengakui kesalahan kalau akan jatuh gengsi) publik bisa-bisa menyimpulkan sendiri; "masak tidak melakukan kesalahan ujug-ujug mendapat ancaman pembunuhan?"
Terakhir, selaku pribadi, saya berharap aparat kepolisian benar-benar melindungi warganya (siapapun dia) dari ancaman pembunuhan, khususnya apabila pihak Detik (dalam upaya melindungi wartawan/karyawannya) telah melaporkan kriminalisasi tersebut kepada pihak berwajib.
Demikian kurang lebihnya, wassalam...
Bintaro, 31 Mei 2020
***
Tulisan sebelumnya: Sketsa Harian [63] Feri dan "Rice Cooker" untuk Ibunda
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews