Dari Sisi Psikologi, Kenapa Orang Bisa Percaya Teori Konspirasi?

Secara tidak sadar, kita ingin merasa 'tidak mainstream', sehingga muncul perasaan yang sama seperti saat kita memandang diri lebih pintar, lebih berpengetahuan, dan lebih kritis dari yang lain.

Sabtu, 9 Mei 2020 | 19:49 WIB
0
2881
Dari Sisi Psikologi, Kenapa Orang Bisa Percaya Teori Konspirasi?
Konspirasi ilustrasi (Foto: beritagar.id)

Tulisan ini bersumber dari literatur ilmiah psikologi, berupa buku dan jurnal, yang referensinya aku cantumkan di kolom komentar. Jadi ada landasan ilmiahnya, ya. Bukan common sense.

Konspirasi yang dulu sempat viral itu banyak, mulai dari Gaj Ahmada, Candi Borobudur buatan Nabi Sulaiman, sampai bentuk bumi yang datar.

Sekarang yang sedang ramai adalah teori yang dikatakan JRX bahwa virus corona sebenarnya tidak berbahaya, itu cuma virus yang sengaja direncanakan para Elite Global. Bill Gates yang diisukan sebagai salah satu anggotanya, mendanai penelitian vaksin COVID-19, sebagai media menanamkan microchip untuk mengendalikan manusia di seluruh dunia, di bawah A New World Order.

Saya tidak akan membahas konten dari konspirasi itu. 

Saat umur 16 tahun, saya sendiri mempercayai segala yang ada di internet. Jadi saya sebenarnya tidak terlalu heran kalau ada orang yang percaya teori konspirasi, se-absurd apapun itu.

Sesungguhnya, kepercayaan terhadap teori konspirasi itu lebih banyak bermain di WILAYAH EMOSI daripada di WILAYAH LOGIKA. Jadi, setelah mengetahui fakta tersebut, semua terdengar lebih gampang dipahami kan sekarang?

Jadi, mari kita bedah satu persatu kenapa orang bisa percaya teori konspirasi (terlepas dari kebenaran atau ketidakbenaran teorinya):

1. Manusia itu selalu menginginkan kepastian.

Saat sesuatu terjadi, kita selalu mencari tahu "kenapa". Semakin besar peristiwanya, semakin kita segera ingin tahu alasan di baliknya. Apalagi COVID-19, virus aneh yang dokter saja belum sepenuhnya memahami bagaimana sifat virus ini karena terlalu cepat bermutasi.

Makin bingung dan limbunglah kita.

Baca Juga: Bill Gates Jadi Sasaran Teori Konspirasi Pandemi Covid-19

Pikiran kita sulit menerima peristiwa acak, tidak terprediksi, dan tidak jelas latar belakangnya, seperti COVID-19 ini. Maka, secara tidak sadar kita menebak-nebak, cocoklogi, menyambungkan pola-pola yang sebenarnya tidak ada hubungannya, dan mencoba meraba-raba dalam kegelapan. Kita hanya ingin survive.

Kita berpikir bahwa peristiwa yang sangat besar, dalangnya pasti juga sama besarnya, sama-sama luar biasa, dan kompleks. Itu disebut proportionality bias. Entah oleh tokoh atau organisasi apaaa gitu. Kita sulit berdamai dengan kenyataan bahwa "well, shit happens, and sometimes it's a very huge one!"

Hasrat manusia untuk merasionalisasi sesuatu yang belum kita pahami sepenuhnya, akan melahirkan teori konspirasi.

Kita ingin jawaban yang sesegera mungkin, jawaban yang konsisten dengan skeptisisme kita yang sudah lebih dulu ada sebelumnya.

Tips: terimalah bahwa beberapa hal di dunia ini memang bisa terjadi begitu saja, belum tentu harus kita pahami sekarang, karena memang butuh waktu dan penelitian panjang. Sabar.

Tidak paham itu tidak apa-apa. Daripada meyakinkan diri sendiri kalau kita paham, padahal tidak.

2. Manusia percaya pada teori konspirasi, karena itu membuatnya merasa lebih superior secara intelektual maupun secara moral.

Ketika kita percaya atau merasa tahu hal di luar mainstream, kita akan merasa jadi orang yang 'istimewa' dan 'terpilih'. Kadang kita merasa geram pada masyarakat yang tidak seperti kita, "ih, kok kamu gak tau sih? Kok kamu gak nyadar sih? Kok gak inisiatif cari informasi sih? Huh!"

Dramatis dan heroik sekali, kan?

Secara tidak sadar, kita memang ingin merasa/memilih 'tidak mainstream', sehingga muncul perasaan yang sama seperti saat kita memandang diri lebih pintar, lebih berpengetahuan, dan lebih kritis dari yang lain.

Dan ketika orang menolak mentah-mentah bahwa bumi itu datar, misalnya, maka kita akan bilang "Oh pikiranmu gak nyampe! Kamu memang gak kuat menerima kebenaran! Kamu sangat mudah ditipu oleh otoritas!"

3. Kurangnya critical thinking (pikiran kritis).

Saya beri contoh saja, ya.

- Kalau bumi itu datar, kok tidak ada satupun fotonya?
- Kenapa dari puluhan miliar manusia yang pernah hidup, gak pernah ada manusia yang nemu ujung buminya?
- Kenapa dia menyangkal keterangan puluhan astronot asli, yang beneran pernah lihat sendiri gimana bentuk bumi? Sedangkan dia gak pernah ke luar angkasa sama sekali.
- Emang masuk akal kalau ribuan orang bisa bikin organisasi sambil menyembunyikan diri, benar-benar rahasia, selama RATUSAN TAHUN? Padahal menurut penelitian psikologi, seorang manusia mampu menjaga rahasia selama maksimal 5 tahun saja. Apalagi ini ribuan manusia.

Teori konspirasi tidak lahir dari data empirik, tapi cuma dari skeptisime terhadap suatu peristiwa, ditambah kecurigaan terhadap pihak-pihak tertentu, yang tidak pernah bisa diverifikasi kebenarannya.

Misalnya, buku memoar Rockefeller. Tidak ditunjukkan oleh si penganut konspirasi itu bukunya mana, halaman berapa, baris berapa. Dan kontennya di-cherry pick seenak dia, dicerabut dari konteks. Kita bisa lihat bukunya langsung untuk memverifikasi? Tidak. Kita hanya menelan mentah-mentah karena musik dan visual di video itu sungguh mempengaruhi psikis kita, terutama orang-orang yang kurang ilmu di bidang yang bersangkutan dan kurang critical thinking.

Ketika saya mengatakan ada spaghetti terbang mengelilingi Venus (bumi itu datar), omongan saya tidak lantas jadi benar, cuma karena tidak seorangpun bisa membuktikan fakta sebaliknya.

Baca Juga: Senjata Pemusnah Massal Bernama "Nubika"

Dengan kata lain, beban pembuktian itu ada pada si penuduh. Bukan pada pihak yang tertuduh.
Kalau bumi itu datar, kalau ada konspirasi atau sejenisnya, ya tunjukkan data empiriknya. Jangan cuma dipenuhi pertanyaan "kenapa ya", "pernahkah anda berpikir bahwa", "patut dicurigai kalau itu blablabla".

Selain itu, kalau kasih data, ya kasihlah data yang memang bisa diverifikasi oleh semua orang.

Saya sampai nonton ulang video flat earth yang panjang itu, serta video konspirasi COVID-19 di YouTube untuk menulis ini, dan saya makin tepok jidat dengan banyaknya logical fallacy dan confirmation bias di sana. Mungkin filter critical thinking saya menyala, saya gatal pengen speak up, sehingga lahirlah tulisan ini. 

Ditulis oleh Asa Firda Inayah
#AfiPsikologi

***