Para Penjiplak yang Lebih Galak dari Aslinya

Untunglah seiring dengan munculnya segala yang abal abal, juga lahir netizen yang berjiwa hero. Satu per satu yang palsu palsu, peniru, dan penipu terbuka kedoknya.

Rabu, 27 April 2022 | 06:04 WIB
0
553
Para Penjiplak yang Lebih Galak dari Aslinya
Para penjiplak (Foto: Facebook.com)

Nampaknya kini sedang musimnya, trendy, lagi nge-hits, menjadi viral - yang abal abal dan meniru, malah lebih ngetop, lebih berani dan lebih galak dari aslinya. Wanita korlap demo yang numpang demo mahasiswa nampak galak dan berani memarahi polisi.

Di jalan sang provokator cantik itu tampil berhijab, memarahi petugas, melebihi pendemo mahasiswa. Terungkap kemudian, emak emak muda itu biasa tampil hot dan pakai kostum sexy di media sosial. Pada gambar lain nampak nempel nempel dengan tokoh tokoh oposan dan pejabat kelompok “sana”. Geng anti pemerintah dan anti Jokowi.

Ramai juga dibahas di Youtube, dua pengamen, penyanyi kafe yang mendulang sukses dari menyanyikan ulang (cover version), lagu lagu artis yang sudah populer justru melecehkan karya penyanyi asli (ori) yang sudah mapan dan lebih populer itu. Duo dari Trisuaka melecehkan vokalis Kangen Band dan vokalis Armada.

Para mahasiswa, yang tak tahu banyak tentang problem rakyat, mendadak mengatas-namakan rakyat. “Kami membela rakyat” – “membawa aspirasi rakyat” . Padahal, mereka yang baru kuliah beberapa semester, masih ngarep uang saku dari bapak-emaknya, sok mau ikut mengatur negara, mengkritisi undang undang, memaksa presiden mengikuti kemauan mereka. Tanpa bekal ilmu dan pengetahuan memadai. Juga tanpa mandat.

Di Senayan, tempat para Wakil Rakyat bertugas, para politisi partai yang seharusnya mengawasi pelaksanaan tugas eksekutif, ikut ikutan jadi eksekutif – ikut mengatur ini itu – sok tahu. Memaksakan kehendak. Tak sekadar mengawasi.

Di dunia pendakwah agama, ustadz abal abal, yang tak jelas ilmu dan sanadnya, lebih militan, lebih galak dan lebih ngetop – juga lebih kaya raya – dibanding ustadz, ulama yang lebih berilmu dan mengamalkan ilmunya. Apalagi para mualaf, yang seharusnya belajar malah jadi penceramah. Yang sungguh edan, jemaah mau mendengarkan ocehan mereka.

Dunia Pers dan kewartawanan lebih dulu disusupi wartawan abal abal, yang biasa disebut wartawan Bodrex. Mereka tampil lebih dendi, lebih “kritis” lebih berani dan lebih galak, dalam menekan narasumber.

Para pelaku kriminal pasal pemerasan itu menggunakan modus ilmu kewartawanan untuk memaksa narasumber, pejabat, pelaku kejahatan, pelanggar undang undang untuk menyerahkan uangnya. Hanya itu target mereka – bukan menulis layaknya wartawan umumnya. Dan banyak warga yang terpedaya.

WOLAK WALIKING JAMAN – kata para tetua Jawa. Zaman sudah berbalik balik. Sebagaimana sudah diramalkan oleh Prabu Jayabaya, penguasa Raja Panjalu, 870 tahun lalu :
- “Wong apik ditampik, wong jahat munggah pangkat” (orang baik ditampik, ditolak – orang jahat naik pangkat),
- “Wong mulya dikunjoro, sing jujur ajur” (orang mulia dipenjara – yang jujur hancur),
- “Omah olo soyo di ujo, omah suci dibenci” (rumah maksiat dipuja puja, rumah suci dihindari)
- “Sing ora bisa maling, podho digething, sing pinter duroko pudho dadi konco” (siapa yang tak bisa mencuri, dibenci - yang durhaka menjadi teman).
- “Wong bener soyo thenger-thenger - wong salah soyo bungah” (orang bener hanya bisa terpana, tak berdaya - orang jahat semakin gembira ria).

Kita memasuki zaman anomali, sebagaimana diramalkan Prabu Jayabhaya : ‘Kebo nyusu gudel’ (orangtua berguru dan menurut pada anak – ‘Guru disatru’ (guru dimusuhi) – ‘Sedulur mangan sedulur’ (saudara makan saudara) - ‘Konco dadi musuh’ (kawan menjadi lawan) - ‘Tonggo podo curigo’ ( tetangga saling curiga). Pedagang akeh sing keplarang (pedagang banyak yang tenggelam).

Tanda tanda zaman sudah terbaca sejak ratusan tahun lalu. “Pasar ilang kumandange” (pasar ilang keramaiannya, karena jadi supermarket, tak ada komunikasi pembeli dan penjual kecuali di kasir – bahkan kini online! ), “Kali ilang kedunge “ (sungai hilang kedalamannya - karena dikuras habis) dan banyak lainnya.

Masjid dan Kabah jadi tempat melampiaskan nafsu politik, bukan untuk ibadah. Malah digunakan buat tidur tiduran, sementara ibadah di trotoar dan jalanan.

Mereka yang ingin bangunan rumah ibadah sendiri malah dilarang – diserang melebihi pendiri rumah maksiat. Hanya karena beda keyakinan meski satu tuhan.

Saat pandemi rumah ibadah ditutup, umat mengamuk. Saat dibuka milih ibadah di jalan raya.

Untunglah seiring dengan munculnya segala yang abal abal, juga lahir netizen yang berjiwa hero. Satu per satu yang palsu palsu, peniru, dan penipu terbuka kedoknya.

Mahasiswa yang mengatasnamakan rakyat gagap mengenai tuntutannya. Provokator yang numpang demo, akhirnya “ditelanjangi” habis habisan di media sosial. Foto foto aslinya malah beredar luas – bahkan alamat rumahnya.

Para pendakwah sebagiannya masuk bui, sebagiannya dihukum oleh kelakuannya. Rumah tangganya berantakan, dituntut jemaah karena kasus penipuan, ditinggal isteri, atau meninggalkan isteri. Tak sedasyat tausyiah yang mereka berikan, sok mengatur kehidupan orang lain, padahal mengatur hidup sendiri saja, sudah berantakan.

Telah diramalkan oleh Prabu Jaya Baya (1135–1159), sebagaimana ditulis ulang oleh pujangga R. Ngabehi Rangga Warsita (1802 -1873) di Surakarta :

“Akeh wong adol ilmu, akeh wong ngaku-ngaku. Njabane putih, njerone dadu" – Banyak orang jualan ilmu, banyak orang mengaku ngaku. Luarnya putih – dalamnya dadu.

***