Banyak sejarawan, akademisi yang mengkaitkan pesta jubileum itu dengan budaya Jawa yang menganggap ‘pesta’ adalah kata yang sensitif. Pesta sendiri berawal dari bahasa Portugis.
Kali ini saya teringat kejadian saat TK dulu. Kenangan yang lucu dan indah dikenang kini. Tapi pernah ada masa saat saya sangat malu sekali pada saat itu.
Ceritanya saya baru saja masuk sekolah TK, kelas nol kecil. Karena ibu saya bekerja, boleh dibilang saya tidak bisa ditunggu orangtua sepanjang hari. Saya diantar pengasuh, dan nanti dijemput. Hanya dua hari pertama saja saya diantar Tante saya. Itu pun saya menjadi sebal, karena Tante saya selalu mencegah saya memanjat palang besi permainan yang tinggi.
Maka setelah dua hari diantar dan ditunggu, dengan gagah berani saya mengatakan berani sekolah sendiri tanpa ditunggu.
Jadilah saya bersekolah sendiri dengan gagah berani, dan bisa memanjat sampai tinggi tanpa dimarahi. Meski teman-teman cukup banyak yang diantar orang tuanya. Para ibu biasanya mengobrol bergerombol di kursi balok panjang di luar kelas. Saya selalu tertarik sama dua orang ‘Tante’, demikian biasanya kami memanggil ibu-ibu teman. Tante yang pertama gemar merajut dan menyulam, selalu terlihat berada di antara benang-benang wol warna-warni.
Kelak setelah beberapa waktu, Tante itu selalu tersenyum pada saya dan membolehkan saya memegang benang-benang wol, menaruh benang di telinga saya, untuk mendengar bunyi ‘reeeet..reeeet’ dari benang yang direma
Tante satunya lagi adalah ibu teman saya, Willy (bukan nama sebenarnya, tetapi namanya mirip seperti itu). Tante Willy ini selalu terlihat membaca. Membawa buku atau koran. Yang menarik, Tante Willy sangat stylish. Suka memakai kaca mata hitam, dan ibu-ibu lain belum seprogresif itu dalam berpakaian. Suatu kali Tante Willy memakai baju bermotif koran, suatu pemandangan yang sangat menakjubkan bagi saya kecil. Hingga kini, saya selalu menyukai baju-baju bermotif koran ataupun abjad. Tante Willy pun sudah baik dengan saya sejak hari pertama saya sekolah. Mungkin karena waktu itu saya menatap Tante Willy dengan takjub, Tante menyapa dan menanyakan nama saya.
Sejak itu setiap saya lewat (tepatnya sengaja lewat), Tante akan memanggil saya mendekat, mencubit pipi saya sambil tertawa, saya pun bisa melirik buku apa yang Tante baca. Saya si bocah buta huruf, sudah tertarik dengan buku saat it
Kembali ke cerita tentang kejadian memalukan lagi. Suatu kali, Bu Guru bertanya pada kami di kelas: siapa nama Presiden Indonesia. Saya segera mengacungkan tangan tinggi-tinggi, bahkan mungkin sambil berdiri. “Plesiden Suhalto…” kata saya keras. Mendadak terdengar suara tawa ibu-ibu yang menunggu di luar kelas. Ketika saya menoleh ke jendela, para ibu itu sudah berdiri berjejer-jejer sembari tertawa mendengar suara cadel saya. Cempreng pula. Tanpa bisa ditahan, saya langsung menangis keras karena malu. Entah apa yang terjadi sesudah saya menangis.
Saya lupa, tetapi saya tidak pernah menjawab apalagi mengacungkan tangan terhadap pertanyaan apapun sejak itu, sampai saya tidak cadel lagi. Berlatih keras melatih lidah saya agar lancar menyebut huruf ‘r’, kecuali bila diminta banyak makan pedas. Saya menolak, dengan alasan cabe dan cadel tidak berhubungan. Padahal sebenarnya saya hanya takut peda
Beberapa waktu kemudian, saat saya tidak cadel lagi, saya kembali punya keberanian ‘public speaking’. Berani menyanyi di depan kelas. Berani menjawab pertanyaan Bu Guru. Berani menyebar hoax pula. Mungkin tahun 1981 saat itu, menjelang pemilu 1982. Di televisi saya sering sekali mendengar ucapan-ucapan para pejabat,” Memilih dan mengangkat kembali Jendral Purnawirawan Suharto untuk menjadi Presiden Republik Indonesia……” Blablabl
Saya pun berkata pada teman-teman saya dengan mantap, “Presiden kita nanti baru, namanya Purnawirawan.” Teman-teman saya percaya, dan kelihatannya cukup tersebar di antara kami anak-anak SD kelas 1 itu. Sampai akhirnya Bu Guru mendengar obrolan kami dan tertawa. Menjelaskan pada kami arti kata ‘purnawirawan’. Saya segera dituding teman jadi penyebar berita tersebut, sambil ditertawakan juga. Untung saat itu jiwa ‘berani malu’ saya sudah timbul. Konon katanya, berani malu adalah modal utama menjadi seleb, bahkan politisi
Setelah dewasa, saya selalu mengenang kedua peristiwa itu dengan tertawa bahagia. Tidak menghujat Presiden Suharto atau Orde baru yang telah membuat saya ditertawakan. Toh memang saya memalukan dan layak ditertawakan. Maka saya agak sedikit heran dengan orang yang selalu mengingat hal-hal buruk dalam hidupnya, tanpa mengingat sedikit pun ada banyak hal baik yang pernah terjadi. Ada teman yang selalu mengingat ulang tahun anak teman saya lainnya dengan kalimat hafalan, “Dasar pelit. Aku nggak ditawari makan
Saya ada pada kejadian itu, dan bersaksi bahwa teman saya tidak pelit, tapi murni terlalu sibuk dengan acara hingga tak sempat mempersilahkan makan. Toh keluarganya yang lain mempersilahkan makan. Kami bahkan dibawakan goodie bag penuh snack-snack enak. Herannya, cerita tersebut diulang berkali-kali. Saya sampai berpikir, punya masalah pribadi apa dia dengan teman yang pesta ulang tahun it
Secara kebetulan, sebelum menulis ini, saya teringat salah satu artikel di kumpulan kisah sejarah tulisan Ong Hok Ham: Dari Priyayi sampai Nyi Blorong. Dalam kisah berjudul Pesta Emas dalam Sejarah: Suatu Renungan, dikisahkan tentang peringatan ulang tahun emas Indonesia tahun 1995. Peringatan istimewa, yang sering disebut ‘jubileum’ sering diperingati terhadap suatu titik penting sejarah. Kemerdekaan, perang dunia, atau peristiwa bersejarah lai
Ong Hok Ham melihat, di Indonesia, jubileum sering hanya berisi serangkaian seremoni, berbeda dengan di Eropa dan Amerika. Meski Amerika tercatat sebagai pemenang Perang Dunia II, dalam jubileum tentang peristiwa kemenangan Sekutu, sering muncul tulisan sejarah. Bahkan tak sedikit yang mempertanyakan apakah perlu bom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki. Baik dalam tinjauan moral-kemanusiaan, ataupun dalam kajian strategi peran
Ada penyesalan dan perasaan berdosa. Seperti juga Presiden Prancis Jacques Chirac yang mengakui kolaborasi orang Prancis dengan Jerman dalam usaha pemusnahan kaum Yahudi. Atau Belanda yang mengakui ekses-ekses yang dilakukan tentaranya selama Perang Kemerdekaan Indonesia (1945-1950). Sebaliknya, di jepang, penyesalan tentang peran jepang sebagai agresor yang kejam dalam PD II dilunakkan dalam buku-buku sejarahnya. Jepang selalu memberi tema yang sangat samar tentang peran mereka dalam pecahnya Perang Pasifik.
Tindakan ini banyak dikritik Barat dan negara-negara di Asia. Semua mengharapkan keterbukaan Jepang terhadap sejarah agresor tersebut agar para korban memiliki goodwill bahwa Jepang kini negara yang tentra
Menurut Ong Hok Ham dalam tulisan itu, bila Jepang hanya mau melihat masa lampau sebagai baik-baik saja, maka fokus Indonesia adalah pada masa kini, yang selalu dilihat sebagai baik sekali. Sedikit sekali ruang diberikan untuk renungan, perasaan berdosa, penyesalan kita atas kejadian-kejadian buruk di masa lampau. Perdebatan intelektual hampir tidak ada, dan renungan mengenai eksistensi bangsa sedikit sekali menjadi isu publi
Tulisan Ong itu ditulis di masa Orde Baru. Tak heran ia mengamati bahwa semua tulisan tentang Indonesia masa itu selalu baik-baik saja. Siapalah yang berani kritis terhadap Orde Baru? Hal berkebalikan dengan apa yang terjadi di masa kini. Media, media sosial, opini netizen justru dipengaruhi pikiran tentang buruknya keadaan masa kini, terutama ketika menyangkut bicara tentang pemerintah. Merindukan masa lalu karena jargon ‘enak jamanku tho’ banyak dibagika
Bagaimana dengan debat intelektual? Debat banyak, tetapi mungkin tak semuanya intelektual, atau bahkan yang tak intelektual yang berdebat. Entahlah. Hanya saya seperti merasa, dalam memandang relasi dengan negara (dalam hal ini pemerintah), banyak sekali yang berlaku seperti teman saya yang tersinggung tak dipersilahkan makan. Dendam kesumat yang tak jela
Menarik diulas juga Peringatan 100 Tahun terbebasnya Nederland dari Penjajahan Kaisar Napoleon pada tahun 1913 di Hindia Belanda. Sebagaimana pesta kenegaraan kolonial lainnya, termasuk pesta ulang tahun Sri Ratu, pesta ini hanya diperuntukkan bagi orang Belanda, khususnya pejabat. Kalangan pribumi yang diundang mungkin hanya para bupati dan istri-istri mereka serta pejabat tinggi pangreh praja.
Waktu itu ada 3 orang tokoh pemuda kita yang tersinggung: Tjipto Mangunkusumo, Suwardi Suryaningrat dan Douwes Dekker. Mereka tersinggung pada pesta tersebut karena menggunakan uang yang dikumpulkan dari rakyat, sementara rakyat hanya diminta menonton orang berpest
Jubileum tahun 1913 itu menjadi salah satu titik sejarah yang sangat penting bagi gerakan nasionalis, menjadi titik awal konfrontasi antara penjajah dan yang dijajah: pemerintah Hindia Belanda dan bumiputera.
Banyak sejarawan, akademisi yang mengkaitkan pesta jubileum itu dengan budaya Jawa yang menganggap ‘pesta’ adalah kata yang sensitif. Pesta sendiri berawal dari bahasa Portugis, Banyak sejarawan, akademisi yang mengkaitkan pesta jubileum itu dengan budaya Jawa yang menganggap ‘pesta’ adalah kata yang sensitif. Pesta sendiri berawal dari bahasa Portugis, tetapi kemudian disematkan untuk kata ‘jumenengan’ dalam bahasa Jawa. Jumenengan adalah upacara penobatan raja ataupun kegiatan serupa. Sebuah pesta tradisonal yang bersifat lebih massal dari pesta-pesta dalam tradisi Barat. Menghadirkan sebanyak mungkin masyarakat, serta mengharapkan partisipasi mereka baik berupa tenaga maupun mater
Kehadiran dan partisipasi dalam pesta tradisional ini sangat sensitif dalam budaya Jawa. Ketidakhadiran seseorang, terlebih pejabat ataupun pangeran, dapat dianggap langkah pertama dari pembangkangan. Daftar hadir akan diamati dengan teliti. Hal ini berlainan dengan tradisi Barat. Barat menganggap kehadiran atau partisipasi adalah suatu kehormatan, bukan kewajiban ataupun loyalitas.
Sampai di sini saya memahami apa yang membuat teman saya bereaksi berlebihan terhadap teman saya yang tak mempersilahkannya makan. Ia mungkin termasuk mereka yang memandang pesta dalam konsep sensitiDuh, cerita saya meleber ke mana-mana…
***
#vkd
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews