19 Detik Bersama Gisel

Dari sisi judul saja, sudah tampak. Kaum perempuan menjadi objek, dan pusat eksploitasi maskulinisme, dengan segala hasratnya.

Rabu, 6 Januari 2021 | 06:32 WIB
0
347
19 Detik Bersama Gisel
Gisel (Foto: Facebook/Sunardian Wirodono)

Benarkah Roy Marten menasihati anaknya, agar memilih pasangan yang jika bermasalah tidak lari ke laki-laki lain? Saya kok curiga, tepatnya tidak percaya, melihat bagaimana judul-judul dan dialog film Indonesia dekade 70-80an, di mana Roy Marten bersama Robby Sugara, Yenny Rachman, Yeety Octavia dan Doris Callebaut adalah The Big Five Indonesian Stars.

Di mana-mana, generasi muda belajar dari generasi tua. Baik dalam rangka mengikuti, atau justeru sebagai episode pemberontakan. Hanya sayangnya, sumpah mampus, Gisel hidup di jaman digital, di jaman medsos. Sama dengan bagaimana Jokowi hidup dan menjadi Presiden di jaman sekarang.

Apa hubungan antara Gisel dan Jokowi? Para pembenci Jokowi segera antri ingin menuntaskan tulisan ini. Tapii daripada kecewa, saya umumkan di sini; Nggak ada hubungannya. Kalau pun ada, pasti dihubung-hubungkan. Mangsud saya, kalau Gisel tidak hidup di jaman sekarang, maka dia hidup di masa lalu. Atau kalau tidak, di masa depan. Jangankan 19 detik, 19 jam seperti yang 19 detik itu, gpp tuh. Kalian aja yang suka kutap-kutip petatah-petitih Roy Marten.

Sama persis dengan Jokowi, yang bukan hanya 19 detik, bahkan mungkin 24 jam pun kurang. Bikin video sex? Bukan. Tapi 24 jam untuk kerja-kerja-kerja, sebagai presiden yang maniak kerja. Kasihan Ibu Iriana. Sampai pelupuk mata Jokowi mbendul pun, bagi para pembencinya, masih saja bisa disalahkan. Sampai NIK-nya pun dicari, ada nggak di daftar yang pertama disuntuk vaksin. Segitunya.

Terus ketika mereka menyebar hoax, serta fitnah, begitu berurusan dengan Polisi dengan pasal-pasal UU-ITE, dibilangnya demokrasi sudah mati. Kalau mati mbok dikubur. Mau pakai prokes Covid atau tidak, seterah situ. Jangan Cuma ngomdo, dupeh jadi narsum nggak dapat honor semangat banget. Hanya karena mendapat ruang untuk menghina-dina Pemerintah.

Tapi daripada membahas kadrun dan Rocky Gerung, membicarakan Gisel tetap lebih pancasilais. Karena selama ini, dia jadi bulan-bulanan banyak orang Indonesia, sembari ditonton dengan khidmat. Karena Cuma 19 detik. Semakin pendek sebuah video, semakin dibutuhkan kecermatan. Dipelototin mana yang kurang memenuhi hasrat kita, sebagai penonton.

Se-absurd apapun, bahkan mungkin bagi John Maybury yang membuat film avant-garde berjudul ‘Absurd (1990), mungkin dia akan boring juga melihat video Gisel itu. Dari sisi sinematografis, video 19 detik Gisel itu, kurang tergarap. Angle dan framingnya kurang kaya. Demikian juga aspek artistik, lighting. Sama dengan kualitas film-film yang dimainkan The Big Five di mana Roy Marten salah satu anggotanya.

Awal 1970, Roy Marten belum muncul. Ini masih era Ratno Timur dan Suzzanna, Sophan Sophiaan dan Widyawati yang merajai dan meratui film Indonesia. Ada judul film ‘Bernafas dalam Lumpur’, ‘Djalang’, Dibalik Pintu Dosa’, tapi ada pula judul ‘Si Bego Menumpas Kucing Hitam’.

Roy baru kondang sebagai debutan dalam ‘Cintaku di Kampus Biru’ (1976), barengan dengan Dorris Calebaute yang juga ngehit dalam film pertamanya, Inem Pelayan Sexy (yang dalam dua tahun muncul seri ke-3). Robby Sugara juga muncul tahun itu. Meski tidak sangat ngehit, tapi dia bisa jadi tandem Roy Marten. Sementara Yenny Rachman dan Yetty Octavia sudah lebih duluan muncul.

Judul-judul film di pertengahan dekade 70-an itu juga asyik-asyik saja. Ateng Mata Keranjang, Benyamin Tukang Ngibul, Pacar Pilihan, Pelacur, Rahasia Gadis (kemudian disusul film lain berjudul Rahasia Perawan), Sebelum Usia 17, Setan Kuburan, Tiga Cewek Badung, Ciuman Beracun, Cinta Rahasia, Gadis Panggilan, Gadis Simpanan, ganasnya Nafsu, Liku-liku Panasnya Cinta (makanya jangan bercinta di atas kompor nyala).

Ranjang Siang Ranjang Malam, Akibat Pergaulan Bebas, Assoy, Gara-gara Janda Kaya (emang kalau janda miskin nape?), Gara-gara Isteri Muda, Guna-guna Isteri Muda, Jalal Kawin Lagi (kok kaya Dien Samsuddin?), Nafsu Besar Tenaga Kurang, 9 Janda Genit, Betty Bencong Slebor, Binalnya Anak Muda, Godaan Siluman perempuan, Isteri Dulu isteri Sekarang, Kekasih Binal, Kuda-kuda Binal, Laki-laki Binal (dalam tahun yang sama, 1978, tiga film mengeksploitasi ‘binal’). Dan seterusnya.

Dari sisi judul saja, sudah tampak. Kaum perempuan menjadi objek, dan pusat eksploitasi maskulinisme, dengan segala hasratnya. Di mana kesalahan Gisel, jika bukan karena kelemahan teknologi, yang membuat HP-nya rusak? Terus kemudian dipegang pihak lain, dan kemudian tersebarlah video itu ke mana-mana? Dan kini ia bakalan dipenjara!

Itu sama dengan yang dialami Baiq Nuril, yang justeru dipenjara karena dilecehkan secara sexual oleh Kepala Sekolah tempatnya mengajar. Juga karena yang memposting orang lain. Memang kejam UU-ITE itu. Dan lagi-lagi karena HP rusak. Pesan moral dari kelemahan teknologi ini, jangan bikin video porno pakai HP.

Soal moral, paling nikmat memang menjadi penonton. Meski Cuma 19 detik. Apa sebabnya? Kalau Roy Marten ditanya, mungkin jawabanya seperti yang banyak dikutip itu. Carilah pasangan, yang jika bermasalah tidak lari di trackmil. Apalagi sambil ngemil. Terus bilang dietnya gagal. Terus diulang-ulang gitu. Emang enak jadi perempuan, yang jika stress terus ngemil, masih disalahkan pula!

@sunardianwirodono

***