Doa dan Bungkam yang Mulia

Semua ini berawal dari bungkam. Kita bungkam di hadapan semesta. Kita bungkan di hadapan Yang Kuasa. Pada akhirnya, kita pun sadar, bahwa kita selalu sudah bersama dia, Yang tak Terhingga…

Sabtu, 20 Juni 2020 | 08:19 WIB
0
334
Doa dan Bungkam yang Mulia
Ilustrasi bungkam (Foto: Oerban.com)

Di Indonesia, kita gemar sekali berdoa. Setiap ada bencana, kita berdoa. Setiap ada perayaan, kita berdoa. Doa dianggap mampu menyelesaikan segala tantangan kehidupan.

Gaya berdoanya pun macam-macam. Ada yang berdoa dengan berteriak-teriak ke seluruh penjuru arah. Ada yang berdoa sampai menangis-nangis. Bahkan, ada yang berdoa sampai pingsan, sehingga harus dibawa ke rumah sakit.

Di dalam doa, mintanya pun macam-macam. Ada yang minta, supaya cepat kaya. Ada yang minta, supaya enteng jodoh. Ada yang minta, supaya sehat selalu, dan tak pernah mati, walaupun ingin masuk surga.

Padahal, jika diperhatikan, alam ini sudah penuh dengan apa yang dibutuhkan manusia. Matahari bersinar. Udara segar setiap saat. Sumber daya alam yang kaya untuk menopang kesejahteraan hidup manusia.

Lalu, mengapa kita tak pernah puas? Mengapa kita masih merasa berhak untuk meminta sesuatu kepada Tuhan, bahkan sampai teriak-teriak, atau pingsan? Ini adalah kesalahpahaman mendasar di dalam hidup spiritual kita. Di abad teknologi dan ilmu pengetahuan ini, kesalahpahaman ini tak mau juga pergi.

Ruang Hampa Ilahi

Segala hal lahir dari ruang hampa. Ruang hampa adalah kemungkinan. Para ilmuwan astrofisika menyebutkan materi dan energi gelap (dark energy dan dark matter). Sepanjang sejarah, manusia menyebutnya sebagai Tuhan.

Entitas ini melahirkan segala sesuatu. Galaksi lahir darinya. Bintang dan planet juga lahir dari rahimnya. Manusia, dengan segala kompleksitasnya, pun lahir dari entitas yang misterius ini.

Segala yang dibutuhkan kehidupan pun sudah ada di alam semesta. Bumi menjadi tempat yang istimewa, karena ia mampu menopang kehidupan. Namun, ada kemungkinan juga, bahwa tempat lain pun bisa menopang kehidupan. Di bumi, manusia hanya perlu melatih akal sehat dan nuraninya, supaya ia bisa hidup damai, dan sejahtera.

Ironi dan Bungkam yang Mulia

Namun, karena ketololan dan kesombongannya, manusia tetap meminta. Ia tak pernah puas. Hidupnya penuh kerakusan. Bahkan, kerakusan, kebodohan dan kesombongannya itu, seringkali, dibungkus dengan jubah agama, supaya terlihat suci.

Tuhan dijadikan kacung. Tuhan bisa diperintah untuk mewujudkan keinginan-keinginan dangkal manusia. Bahkan, Tuhan dijadikan budak untuk kerakusan manusia. Sungguh penuh ironi dan tak masuk akal.

Jangan salah paham. Kita tetap harus berdoa. Namun, kita harus berdoa dalam bungkam. Kita menutup mulut kita, ketika kita berdoa.

Kita bungkam di semua tingkat. Kata lenyap. Pikiran tertunda. Ambisi dilepas. Bungkam yang mulia adalah doa yang tertinggi.

Moralitas Alami

Ketika kita bungkam, kita menjadi satu dengan segala yang ada. Doa tak lagi kata penuh kesombongan. Doa tak lagi memperbudak Tuhan. Doa menjadi saat kembalinya manusia ke jati dirinya yang asli, yakni satu dengan segala yang ada.

Apa yang perlu terjadi akan terjadi. Alam dan Tuhan yang menentukan. Manusia bisa bersyukur, sambil tetap berusaha. Usahanya tak datang dari ketakutan ataupun kerakusan, namun dari harmoni dengan segala yang ada.

Inilah dasar bagi moralitas alami. Baik dan buruk tidak lagi mengikuti tradisi secara buta. Baik dan buruk lahir dari batin manusia yang menyatu dengan segala yang ada. Moralitas pun melampaui kekuasaan politik yang dangkal, dan menjadi satu dengan semesta.

Ada kejernihan yang lahir. Kita pun bisa memilih. Ada waktunya diam, dan menerima segala yang terjadi. Ada waktunya bergerak, dan berjuang untuk kebaikan.

Semua ini berawal dari bungkam. Kita bungkam di hadapan semesta. Kita bungkan di hadapan Yang Kuasa. Pada akhirnya, kita pun sadar, bahwa kita selalu sudah bersama dia, Yang tak Terhingga…

***