Trump, Covid-19 dan Rasisme

Hal pasti dilakukan Trump mencuit lewat Tweeternya. Ia tidak ingin tangannya kotor, bajunya belepotan lumpur, tetapi lebih memilih menikmati kekuasaan. Ia memilih foto di depan gereja.

Selasa, 9 Juni 2020 | 09:45 WIB
0
373
Trump, Covid-19 dan Rasisme
Donald Trump (Foto: Detik.com)

Tak pelak lagi, Donald Trump akan dicatat dalam sejarah AS sebagai presiden yang mendatangkan tragedi bagi negerinya. Dikatakan “mendatangkan” tragedi karena “sifat membanggakan diri yang berlebihan (jumawa) atau percaya diri berlebihan” Trump telah  menyebabkan AS digulung tragedi Covid-19 dan rasisme.

Menurut catatan CNN, sejak Februari hingga minggu ketiga Mei (21 Mei), berkait dengan pandemi Covid-19, sudah 15 kali Trump mengatakan, “virus akan hilang”; Ia juga mengatakan, “Suatu hari virus itu akan hilang”; “Ini seperti mukjizat.” 

Sikap dan pernyataan Trump itu bukan sekadar fantasi yang tak dapat diterima, akal sehat. Bagaimana mungkin virus itu akan hilang dengan sendirinya. Trump benar-benar masuk dalam alam khayalan yang berbahaya; yang membahayakan bangsanya.

Oleh karena sikap “masa bodoh” seperti itu, menurut data Worldometer (8/6), korban Covid-19 sudah sebanyak 2.010.643 orang, dan 112.576 orang meninggal. AS, negara paling digdaya di dunia dalam segala hal, menjadi negara terparah karena Covid-19.

Akibatnya, bukan hanya sudah lebih dari 100 ribu orang meninggal dunia, tetapi hingga minggu ketiga bulan Mei, pengangguran di AS sudah naik menjadi 40 juta selama dua bulan. Dan diperkirakan puncak pengangguran Mei-Juni naik 20 persen hingga 25 persen. Angka pengangguran demikian tinggi ini tidak pernah terjadi sejak zaman malaise, tahun 1930-an.

Sikap “masa bodoh” Trump itu sudah dicatat Francis Fukuyama dalam Identity (2018). Ia memberikan catatan menarik tentang karakter Trump, yang dianggap tidak cocok menjadi presiden. Menurut Fukuyama nilai-nilai keutamaan yang dibutuhkan seorang pemimpin—misalnya, kejujuran, reliabilitas (hal dapat dipercaya), jiwa pengabdian dengan mengutamakan kepentingan publik, moralitas, kemampuan memberikan penilaian yang jujur—tidak ada. Trump adalah sosok yang lebih mempromosikan dirinya sendiri dan sangat senang menghalalkan segala cara demi tercapainya tujuan.

Karena itu, ketika demonstrasi dan kekerasan brutal disertai penjarahan sebagai akibat tewasnya George Floyd, seorang lelaki kulit hitam, karena tindakan Derek Chauvin, seorang polisi, Trump justru pergi ke Gereja St John yang terletak di Lafayette Park, depan Gedung Putih. Ia masuk gereja, berlutut,  dan berdoa? Tidak! Atau ia duduk berdoa khusuk mohon petunjuk dan kekuatan Tuhan untuk mengatasai situasi negara? Tidak juga!

Trump hanya berdiri di depan gereja, sama sekali tidak masuk gereja. Tangan kanannya mengangkat Kitab Suci, dan berfoto. Hanya itu! Pun pula sebelum Trump tiba di depan gereja, para demonstran di tempat itu diusir dengan kekerasan. Trump benar-benar menggunakan agama—dalam hal ini gedung gereja dan Kitab Suci–hanya sebagai backdrop, latar belakang, untuk menunjukkan bahwa dirinya orang beragama. Trump berkerudung agama; berjubah agama.

 Agama memang memiliki peran strategis dalam mengkonstruksi, dalam memberikan kerangka nilai dan norma dalam membangun struktur negara dan pendisplinan masyarakat. Tetapi, kerangka dan nilai seperti apa yang hendak ditampilkan oleh Trump, ketika meremehkan kematian massal rakyatnya. Agama hanya menjadi simbol formal saja, tapi minim instrumentasi nilai dan norma.

Maka itu, tidak berlebihan kalau mantan Menhan James Mattis mengatakan, Trump tidak mencoba menyatukan orang-orang Amerika—bahkan berpura-pura mencoba pun tidak. Trump justru mencoba memecah belah (The Atlantic, 3/6). Menurut  Mattis, Trump mencoba membuat rakyat saling bentrok satu sama lain. “Ini ancaman bagi Konstitusi,” kata Mattis.

Bahasa Politik

Kelle Carter Jackson menulis bahwa sejak awal sejarah AS, kerusuhan dan retorika kekerasan telah menjadi penanda patriotisme. Karena itu, sejak zaman perjuangan untuk meraih kemerdekaan, semboyan-semboyan yang bernuansa kekerasan sudah digunakan. Misalnya, “Hidup bebas atau mati”, “Beri aku kekebasan atau kematian”,  atau “Perlawanan terhadap para tiran adalah kepatuhan pada Tuhan” bergema hingga kini.

Kekuatan dan kekerasan selalu digunakan sebagai senjata untuk mempertahankan kebebasan.  Apa yang pernah dikatakan John Adams (1735-1826) yang menjadi presiden AS (1797-1801) merujuk pada perlakuan para penjajah oleh Inggris, bisa menjadi contoh. John Adams  mengatakan sebagai sikap perlawanan terhadap Inggris: “Kami tidak akan menjadi orang Negro mereka.” (The  Atlantic, 1/6). Pernyataan tersebut, jelas merendahkan derajat dan martabat orang-orang kulit hitam, walau John Adams dikenal sebagai seorang negarawan AS.

Meski kekerasan dan kekuatan digunakan sebagai senjata untuk mempertahankan kebebasan, namun protes dan gerakan perlawanan orang-orang kulit hitam, tidak pernah dikategorikan sebagai bentuk kesetiaan pada demokrasi.

Tetapi, itulah bahasa politik untuk menyatakan—terutama dari orang-orang kulit hitam yang selalu diperlakukan tidak manusiawi—kehendak dan isi hatinya. Kekerasan adalah bahasa politik. Bagi kaum kulit putih politik rasialisme, rasisme, politik apartheid; bagi kulit hitam, politik melawan penindasan.

Maka itu jika kekerasan adalah bahasa politik, orang Amerika kulit putih adalah penutur asli; bisa dilacak hingga sejak zaman perbudakan. Akan tetapi, orang kulit hitam juga fasih dalam melakukan perlawanan. Namun, tokoh perjuang hak-hak Martin Luther King Jr (1929-1968), yang menuntut hak sipil dengan cara non-kekerasan dan pembangkangan sipil, mencoba meredam “bahasa politik” itu dengan mengatakan, “kerusuhan adalah bahasa yang belum terdengar” (The New Yorker, 31/5).

Akan tetapi, bahasa politik itu (kekerasan) kini diucapkan dan terdengar di berbagai wilayah AS, diwarnai dengan bentrokan antara warga dengan polisi, penangkapan, penahanan, penjarahan, dan penembakan. Kekerasan itu dipicu oleh kematian George  Floyd. Ini mengingatkan kerusuhan setelah pembunuhan terhadap Martin Luther King Jr, 4 April 1968. Ketika itu, lebih dari 100 kota, rusuh!

Kerusuhan berbau rasial pecah lagi pada tahun 1992, yang terjadi menyusul penangkapan dan penganiayaan terhadap Rodney King, orang kulit hitam, oleh polisi. Tindakan polisi itu ada yang merekam dan beredar. Para polisi diadili, tetapi pengadilan membebaskan mereka (empat orang). Pembebasan ini memicu kerusuhan di Los Angeles yang menewaskan lebih dari 50 orang, lebih dari 2.000 orang terluka, dan 9.500 orang ditahan karena membuat kerusuhan, penjarahan, dan pembakaran bangunan.

Kekerasan bernada rasial tidak hanya berhenti sampai di tahun 1992. Meskipun, pada akhirnya AS memiliki seorang presiden kulit hitam (Barack Obama), tetapi tidak berarti bahwa persoalan selesai. Sekarang kondisi diperburuk oleh retorika Trump, lewat Tweeternya, yang tidak membuat adem. Misalnya,  “penjarahan berisiko penembakan”, “Kami akan melepaskan anjing-anjing ganas”, “Kendalikan ruang pertempuran.”

Hal itu menegaskan bahwa di Amerika, zaman Trump, rasisme telah disahkan pada tingkat pemerintahan tertinggi karena ia telah mengesahkannya sebagai Presiden Amerika Serikat. Kefanatikannya bukanlah hal baru tetapi lazim sepanjang hidupnya dan sebagai fondasi dari kampanye kepresidenannya. “Trump memindahkan rasisme dari eufemistik dan masuk akal untuk disangkal dan diklaim secara bebas”(Ta-Nehisi Coates, 2017)].

Sepanjang kampanye pemilu presiden, Trump membuat pernyataan rasis dan fanatik yang menunjukkan penghinaannya terhadap  orang kulit berwarna. Dia menyebut para imigran Meksiko sebagai penjahat dan pemerkosa. Dia menyatukan kelompok-kelompok rasial menjadi kelompok minoritas monolitik yang dia cintai, seperti, “orang-orang Hispanik”, “orang kulit hitam,” “orang-orang Muslim” sambil merendahkan kelompok-kelompok itu pada saat yang sama. Dia memaafkan serangan fisik terhadap seorang demonstran Afrika Amerika Black Lives Matter oleh para pendukungnya, mengklaim bahwa pria itu “seharusnya dihancurkan” (Mamie E Locke, 2018).

Tiga Pukulan

Dengan semua itu, maka tiga pukulan hebat menghujam Amerika saat ini: pandemi Covid-19, rasisme, dan tiadanya kepemimpinan. Pandemi Covid-19 yang berdampak buruk pada perekonomian, pengangguran melejit sangat dirasakan kaum minoritas, misalnya warga Amerika-Afrika. Tidak aneh, muncul rasa frustasi, rasa ketidakadilan yang semakin dalam. Dan, tragedi George Floyd, bagaikan bahan bakar yang menyiram api.

Hal semacam itu bisa terjadi di negara lain, bila terjadi ketidakadilan, bila perekonomian hancur dan banyak orang kehilangan pekerjaan, tidak punya uang untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Tidak tertutup kemungkinan, kondisi seperti itu, bisa dimanfaatkan orang yang “bertabiat dan berniat jahat” dengan sekadar melemparkan pernyataan yang membakar.

Dalam masyarakat yang sakit, apalagi negara sakit, maka rasa frustasi, marah, kecewa, ditambah dengan tidak adanya persatuan, akan berujung fatal. Tambahan lagi, kalau tidak ada pemimpin yang kuat, tegas, tapi berhati, siatuasi akan bertambah buruk.

Rakyat Amerika mencatat Trump tidak pernah menunjukkan niat atau kemampuannya untuk menenangkan suasana, atau mengeluarkan pernyataan yang  membuat suasana adem.

Trump tidak berdiri di garis depan sebagai orang yang berani bertanggung-jawab dan segera bertindak menyelamatkan keadaan, kecuali memerintahkan polisi bertindak lebih tegas, dan menurunkan Garda Nasional. Ia asyik dengan dirinya sendiri.

Hal pasti yang dilakukan Trump adalah mencuit lewat Tweeternya. Ia tidak ingin tangannya kotor, bajunya belepotan lumpur, tetapi lebih memilih menikmati kekuasaan. Ia memilih foto  di depan gereja. Karena itu, tidak aneh kalau, Francis Fukuyama mengaku kaget dan terheran-heran ketika Trump terpilih menjadi presiden.

Akankah dia terpilih lagi, November nanti? Hanya keledai, yang jatuh di lubang yang sama dua kali.  

***