"Herd Immunity" dan Puritanisme yang Sekarat

Kebijakan herd immunity yang berharap munculya imunitas kelompok dalam pengendalian COVID-19 dianggap bukan pilihan terbaik, ditentang para ilmuwan karena sangat tidak manusiawi.

Jumat, 27 Maret 2020 | 07:52 WIB
0
547
"Herd Immunity" dan Puritanisme yang Sekarat
Ilustrasi menangkal virus corona (Foto: kaldera.id)

Jika pertanyaannya, senjata apa yang paling tepat menangkal COVID-19, maka jawabnya adalah sang waktu [Diadaptasi dari status Nishal Kaur Dhillon].

Masa inkubasi Covid-19 antara 5-7 hari. Untuk menemukan formula yang aman, masa inkubasi dikali dua periode menjadi 14. Dengan mengetahui masa inkubasi virus strategi memutus penyebarannya bisa dirumuskan dengan tepat. Dari sini masa karantina 14 hari bagi suspect corona ditetapkan.

Begitu halnya dengan kebijakan liburan anak sekolah untuk menghindari kontak selama 14 hari demi memutus rantai penularan. Namun kebijakan 14 hari tidak akan berhasil jika masyarakat tidak membatasi jarak dan mengabaikan himbauan pemerintah. Akibatnya wabah bisa berlangsung lebih lama. Namun bukan berarti jika masyarakat mengabaikan semua seruan pemerintah lantas wabah tidak akan berhenti.

Secara alamiah tubuh manusia di hari ke-7 hingga 14 sejak terinfeksi akan memproduksi anti body untuk melawan virus. Artinya, andai tidak diintervensi sekalipun dan masyarakat hanya membekali diri dengan berbagai suplemen serta vitamin untuk meningkatkan imun tubuh, virus bisa disingkirkan. Risiko paling rentan adalah yang memiliki riwayat penyakit bawaan seperti, hipertensi, diabetes, kanker, gangguan fungsi paru-paru dan mereka yang berumur di atas 60 tahun atau mereka yang tergolong lansia.

Menyikapi wabah Covid-19 di Inggris, awalnya berkembang wacana untuk menerapkan kebijakan herd immunity untuk mencapai kekebalan massal. Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson dan Sir Patrick Wallance, Penasihat utama bidang sains pemerintah Inggris berada di balik wacana ini menyebutnya sebagai go-it-alone (sebuah tindakan pembiaran atas wabah virus corona). Dengan membiarkan masyarakat terinfeksi maka secara alamiah akan menciptakan komunitas kebal virus secara massal.

Menariknya pandangan mengenai herd immunity memiliki kesamaan dengan pandangan penganut teologi jabariyah yang percaya bahwa takdir telah ditetapkan Tuhan terhadap segenap alam semesta, tidak terdapat ruang kebebasan manusia untuk berkehendak dan berbuat menurut kehendaknya. Kapan seseorang meninggal dan dengan cara bagaimana sudah ditentukan sebelum seseorang dilahirkan ke bumi.

Meskipun demikian pandangan teori herd immunity tetap memproteksi mereka yang dianggap rentan seperti bayi yang belum memiliki sistem imun. Pada kenyataannya kaum jabariyah masih memberi ruang pada ikhtiar manusia, hanya saja derajatnya jauh lebih rendah dibanding mereka yang lebih mengedepankan rasio dan ilmu pengetahuan dalam merespon fenomena yang terjadi.

Membiarkan tubuh terinfeksi untuk memperoleh kekebalan massal memiliki efek jangka panjang yang akan mencegah wabah akibat virus yang sama berulang di masa depan. Dengan pilihan herd immunity aspek ekonomi tidak perlu mengalami goncangan keras seperti panic buying dan rush money akibat lockdown. Hanya saja strategi yang sempat diwacanakan di Inggris dihentikan karena mengikuti peringatan para ahli imunologi di Imperial College London dan London School of Hygiene and Tropical Medicine tentang dampak virus corona di Italia menunjukkan bahwa sebanyak 30 persen pasien yang dirawat di rumah sakit dengan virus itu memerlukan perawatan intensif.

Kebijakan semua negara dalam merespon penyebaran COVID-19 hingga saat seragam, dengan social distancing maupun lockdown. Pemerintah Indonesia masih terus mengkaji apa harus dilakukan lockdown atau cukup dengan social distancing. Korea Selatan memilih social distancing, halnya dengan Singapura yang diikuti pelaksanaan tes secara agresif. Hasilnya cukup menggembirakan dengan jumlah terinfeksi di Singapura sebanyak 631orang, korban kematian hanya 2 orang. Sebaliknya Indonesia per 26 Maret 2020 jumlah terinfeksi 893 orang, korban kematian mencapai 78 orang, atau 8,7%.

Pemerintah Italia, Inggris, Amerika Serikat, Belanda serta beberapa negara Eropa yang awalnya tidak melakukan lockdown dan hanya menghimbau masyarakat untuk tinggal di rumah dan tidak melakukan aktivitas di ruang publik, persis kebijakan yang dipilih pemerintah Indonesia saat ini.

Namun ketika penyebaran virus makin tak terkendali dan masyarakat sulit diatur, pemerintah negara bersangkutan menggunakan tangan besi untuk menertibkan masyarakat dan melakukan lockdown. Berbeda dengan China yang langsung melakukan lockdown terhadap Wuhan dan Hubei yang merupakan episentrum penyebaran wabah.

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sudah mendesak pemerintah segera melakukan lockdown untuk menghambat penyebaran virus yang makin meluas. Dari penjelasan beberapa menteri, kelihatannya pemerintah sedang mempertimbangkan mengikuti desakan IDI.

Kebijakan herd immunity yang berharap munculya imunitas kelompok dalam pengendalian COVID-19 dianggap bukan pilihan terbaik, ditentang para ilmuwan karena sangat tidak manusiawi. Kebijakan yang secara tegak lurus bersesuaian dengan pandangan kaum puritan yang meyakini segala sesuatunya sudah ditentukan dan manusia tinggal menjalaninya dengan penuh kesabaran sembari berdoa memohon ampun. Pandangan yang tidak mengedepankan rasio serta ilmu pengetahuan dalam menghadapi wabah maupun bencana makin tidak populer di masa depan.

Realitas ini seharusnya "memaksa" umat beragama, terutama umat islam menengok kembali kitab sucinya (al-Qur'an) serta berbagai literatur islam klasik maupun modern demi memastikan betapa sentralnya isu ilmu pengetahuan dalam islam sebagai ikhtiar menjawab tantangan masa depan umat manusia yang makin kompleks.

[Dari berbagai sumber]

***