Lockdown yang Serampangan

Pengambil kebijakan belum berpikir, mungkin karena sulit atau malahan tidak mau berpikir apalagi bertindak. Hingga yang muncul kekonyolan demi kekonyolan. Seperti lockdown-lockdownan itu.

Senin, 30 Maret 2020 | 06:13 WIB
0
470
Lockdown yang Serampangan

Yang dilakukan warga di Cipinang Melayu menutup akses di RW tertentu, adalah contoh kecil betapa pemahaman masyarakat tentang penyebaran Covid 19 masih sangat dangkal.

Perangkat pemerintah ditingkat kecamatan, kelurahan, RT dan RW gagal menjelaskan apa itu ODP atau PDP. Hingga yang muncul di warga adalah kepanikan dan kekonyolan.

Tindakan warga Cipinang Melayu ini sama dengan tindakan sok-sokan sejumlah perumahan elit di Jakarta yang melakukan disinfektan tapi pakai campuran pemutih bayclin pada setiap orang yang masuk ke komplek perumahannya. Akibatrya baju mahal mereka jadi belang blonteng. Kaya tapi bego.

Bukan warga Cipinang Melayu atau perkampungan orang kaya yang tergagap menangkal Covid 19.

Pemimpin daerah pun juga bertindak sama. Tegal, Semarang, Papua, Maluku, Toli-toli dan banyak daerah yang menerapkan kebijakan sendiri-sendiri tanpa memikirkan dampak luas bagi penghidupan denyut ekonomi rakyat jelata.

Kita tentu angkat topi pada daerah yang lockdown-lockdownan jika memberikan sembako gratis kepada seluruh rakyatnya. Tapi ini 'kan tidak.

Nampak jelas bahwa kebijakan begini berawal dari keresahan akibat tidak ada petunjuk pelaksanaan dan protap yang jelas dari pemerintah pusat.

Pemerintah pusatpun sama gagapnya menghadapi Covid 19.

Jelas pemerintah tidak siap menghadapi resiko terburuk karena sejak awal wabah itu dianggap enteng. Akibatnya, aneka kebijakan yang muncul bak pemadam kebakaran. Tidak komprehensif dan terkoordinasi dengan baik.

Misalnya saja rumah sakit darurat di Wisma Atlet. Mengapa tidak semua ODP di tempatkan saja disana selama 14 hari? Kan ada ribuan kamar disana. Kenapa ODP diminta untuk berkurung mandiri? Bukankah lebih baik mereka dikurung di tengah kesiagaan petugas medis di sana?

Ini baru salah satu sektor yang kita pertanyakan, selain perintah menjaga jarak. Mengapa social distance measures hanya bisa diterapkan di pusat perbelanjaan elit?

Di Kelapa Gading, sebuah super market memberlakukan pembatasan pengunjung. Jika dalam jumlah tertentu masuk ke super market maka pintu masuk ditutup. Pengunjung diminta antre di luar super market dan diberikan tempat duduk yang berjarak 1 meter.

Mengapa aturan ini tidak diterapkan di pasar tradisional. Sulit? Yang memang sulit. Kalau tidak dipikirkan secara serius.

Sama tidak seriusnya masyarakat kebanyakan yang menganggap Covid 19 itu penyakitnya orang kaya. Yang sering keluar negeri dan banyak duitnya. Jadi mereka merasa Covid 19 tidak bakal menjangkiti mereka. Karena tidak pernah keluar negeri dan kontak dengan orang asing.

Padahal persepsi ini salah.

Tapi adakah pejabat setingkat lurah, RT atau RW proaktif meluruskan salah kaprah ini?

Silahkan jawab dengan berkaca pada apa yang dilakukan oleh aparat pemerintah di daerah anda masing-masing.

Jangan ketawa jika mereka juga tidak tahu kecuali patuh pasang spanduk dan banner soal bahaya dan mengatasi covid 19.

Justru masyarakat kecil yang merasakan dampak hebat ekonomi akibat kebijakan pemerintah setempat. Jakarta misalnya.

Kebijakan keadaan darurat menyebabkan ribuan orang terpukul perekonomiannya. Adakah kita sadar akan hal itu?

Silahkan tanya kepada ribuan penjaga toko yang sekarang di rumahkan karena pusat perbelanjaan ditutup. Adakah majikan membayar penuh gaji mereka selama di rumahkan?

Kita mendengar banyak mereka yang hanya akan dibayar separoh gaji atau bahkan tidak diberi gaji karena mereka dibayar harian.

Kita tidak pernah mendengar solusi dari pengambil kebijakan mengatasi dampak ini. Apalagi turun tangan.

Tanyakan juga kepada para pekerja kontrak atau yang masih dalam taraf percobaan di perusahaan restoran siap saji yang untungnya milyaran sehari. Mereka sekarang di rumahkan. Tanpa gaji. Yang bekerja melayani pelanggan adalah karyawan tetap.

Kita tidak pernah mendengar pengambil kebijakan menegur para konglomerat itu.

Mereka yang dirumahkan, tidak digaji atau bahkan di PHK terpaksa harus mudik ke daerahnya. Mereka adalah orang kecil. Mereka kebanyakan kaum urban tidak sanggup membiayai uang kos tanpa bekerja.

Pedagang kecil yang terpukul karena pembatasan pergerakan manusia juga terpaksa pulang kampung. Untuk menghemat biaya hidup yang tinggi di Jakarta

Akibatnya ribuan kaum urban Jakarta pulang kampung dan dituding jadi super spreader.

Padahal kita yang awam belum pernah dengar pedagang cilok positif covid 19. Yang ada adalah mereka dari kalangan menengah atas.

Akibatnya stigmatisasi berlangsung liar. Masyarakat kini mulai tidak terkendali bertindak yang menurut mereka benar tapi salah total seperti kejadian di Cipinang Melayu.

Kita tidak ingin kerancuan demi kerancuan berlangsung hingga keadaan menjadi chaos. Tentu kita mendukung upaya jaga jarak dan kebersihan badan adalah tombak utama pencegahan wabah covid 19. Kita dukung penuh sosial Distancing measures.

Tapi kita ingin ada kebijakan solid yang tidak malah menyengsarakan masyarakat untuk mengatasi wabah ini.

Kita dalam masa sulit. Jangan ditambah dengan kebijakan yang makin nenyulitkan. Padahal banyak cara yang bisa ditempuh .

Misalnya, mengapa tidak mengadakan armada bis besar-besaran hingga satu bis isinya cuma 30 hingga pemudik bisa terpantau.

Mengapa tidak dilakukan kebijakan mewajibkan setiap orang yang mau meninggalkan wilayahnya dilengkapi surat sehat? Bukankah negara ini memberlakukan kebijakan ini untuk orang asing?

Mengapa tidak dikerahkan ribuan ASN untuk memantau setiap pendatang yang masuk ke daerahnya. Dan yang ODP dan PDP di tampung di rumah sakit darurat macam wisma atlet? Bukan disuruh karantina mandiri yang justru menimbulkan keresahan seperti yang terjadi di Cipinang Melayu.

Mengapa tidak digerakkan pedagang sayur keliling untuk mangkal di daerah tertentu hingga pasar bisa ditutup pada klaster tertinggi. Dan pemerintah menyediakan pasokan sembako, sayuran dan sebagainya dengan harga murah. Pembeli diberlakukan sistem antri dengan memberikan jarak aman antrian. Mengapa ini tidak dilakukan?

Mengapa pasar tradisional tidak diberlakukan sistem antri buka tutup dengan mengajarkan masyarakat di saat darurat seperti ini ke pasar dengan sudah menyiapkan daftar belanjaan hingga tidak berlama-lama di pasar. Sementara harga sudah terpampang di depan pasar hingga tidak perlu lagi nawar.

Pengambil kebijakan belum berfikir ke arah ini. Mungkin karena sulit atau malahan tidak mau berfikir apalagi bertindak seperti ini. Hingga yang muncul kekonyolan demi kekonyolan. Seperti lockdown-lockdownan itu. Main tutup jalan seenaknya.. Yang justru menimbulkan perasaan mencekam dan meresahkan.

Padahal kita semua ingin semua tenang dan tidak panik mengatasi wabah ini. Agar kita bisa berfikir jernih dan waspada.. Hingga Badai ini bisa segera berlalu.

***